Oleh Syarifuddin Abe
Sekilas, judul di atas lucu, dan memang lucu. Aneh, dan memang aneh. Apalagi berhubungan dengan defines serta mendefinisikan sesuatu. Mendefinisikan sesuatu itu tidak boleh salah dan keliru. Kalau sampai salah dan keliru maka akan menghasilkan sesuatu yang salah dan keliru dan itu akan membahayakan orang yang akan mengamini apa yang kita definisikan. Saking tidak mampunya untuk mendefinisikan sesuatu, atau karena gugup tiba-tiba ada yang bertanya, atau adanya keinginan untuk diakui, atau adanya keinginan supaya tidak malu, atau adanya keinginan untuk dianggap pandai, sehingga dengan serta-mertanya membuat sebuah definisi secara sembarangan. Tidak hanya aneh, tapi sembrono?
Mendefinisikan humor, itu hal yang biasa, tapi menghumorkan definisi, ini yang aneh dan lucu. Apakah mungkin ‘definisi’ itu dihumorkan? Boleh saja, apalagi kalau seseorang menggunakan sebuah definisi terhadap sesuatu hal, tapi menggunakan definisi asal-asalan saja. Atau definisi yang dilakukan oleh seseorang pada sebuah komunitas, dan komunitas itu dianggap tidak paham terhadap sesuatu, lalu oleh seseorang itu membuat sebuah definisi asa-asalan saja. Bagi seseorang itu mungkin baik, tapi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, itu namanya pembodohan atau dalam ilmu logika disebut sesat piker. Itu bahaya.
Kalau hal yang demikian itu dilakukan oleh seorang intelektual, apalagi kalau S-nya sudah habis, itu menjadi hal yang luar biasa. Seorang intelektual sesat dan menyesatkan. Bahkan menyesatkan orang lain dengan definisi yang dibuatnya. Sebuah definisi tentu ada syarat-syaratnya, ada batasnya. Definisi itu pada hakikatnya untuk dapat menjelaskan dan membatasi sebuah kata atau kalimat untuk dapat dimengerti arti dan maksudnya. Sehingga ketika orang mengutip dan menjelaskan, tepat dan benar, sesuai dengan maksud dan maknanya. Artinya. Definisi itu bukan akal-akalan, apalagi pembodohan. Namun definisi itu adalah sebuah penjelasan agar maknanya tepat dan benar.
Definisi itu bukan sebuah ramalan, sehingga asal tebak saja ketika ingin menjelaskan tentang sesuatu hal. Kalau definisi sebuah ramalan, maka makna sesungguhnya akan tidak pernah sampai. Yang ada adalah terka menerka. bukan choup kali choup. Maka ketika definisi itu sampai dan tepat pada sebuah sasaran, tentu pemahaman orang tidak akan pernah keliru. Definisi yang baik adalah definisi yang dapat memudahkan orang dalam memahami apa yang ingin diketahui. Tersampaikan kata dan kalimat yang dimaksud, bukan justru menyesatkan orang yang memahaminya. Sebagaimana dijelaskan oleh Fahruddin Fais (2020), definisi itu tidak boleh terlalu luas, jangan susah dipahami, tidak boleh kontradiktif, karena itu akan menjadikan sebuah definisi yang salah dipahami dan menyesatkan.
Sekilas, definisi dalam KBBI memiliki arti sebagai sebuah rumusan yang berkenaan dengan ruang lingkup dan ciri-ciri dari sebuah konsep yang kemudian menjadi sebuah pokok pembicaraan atau menjadi sebuah studi. Secara bahasa dapat diartikan juga sebagai sebuah kata, frasa, atau berupa kalimat yang mencoba untuk menjelaskan makna, keterangan, berupa ciri utama dari benda, orang, aktivitas atau proses.
Menurut Heriyanto (2003), definisi adalah berupa penjelasan dari sebuah kata atau kalimat terhadap suatu objek atau suatu benda tertentu. Dapat juga diartikan sebagai suatu uraian dari sebuah pengertian yang memiliki fungsi untuk membatasi suatu objek, konsep, serta keadaan yang berdasarkan waktu dan tempat pada suatu kajian. Tanpa sebuah definisi, segala sesuatunya pasti akan berantakan bahkan akan menjadi keliru sepanjang masa. Pada akhirnya, kalimat definisi dapat dikatakan sebagai rangkaian kata yang memiliki tujuan untuk menjelaskan apakah itu berupa arti atau berupa makna dari suatu obyek. Maka tujuan dari definisi adalah sedapat mungkin dilakukan untuk mengurangi ketidakjelasan arti dari suatu kata. Akhirnya, siapa saja akan dapat mencapai sebuah keputusan tentang sesuatu yang berlaku pada suatu kata dalam situasi dan keadaan tertentu.
Dalam kehidupan, kita sering sekali mendengar kata-kata “sok tahu” atau “asal bunyi” atau “tahu juga tidak” atau ada nada yang mengancam “jangan asal ngomong ya?” “kalau ngomong, piker dulu?” dan sebagainya. Pengalaman ini menunjukkan bahwa, orang sering menjawab terhadap suatu masalah dengan asal saja, tanpa berpikir, tanpa pertimbangan, tanpa mengerti terhadap sebuah masalah yang sedang dihadapi. Akhirnya yang terjadi adalah ketimpangan makna serta semua yang diproduksi oleh otak seseorang adalah bencana bahasa yang penuh dengan kekeliruan.
Yang menyakitkan lagi, walau tanpa sadar kita senang dan biasa saja terhadap panggilan itu, dari semua yang kita jelaskan (tanpa mau tahu definisinya) orang-orang kemudian melakobkan kita atau memanggilkan kita dengan panggilan dari kebiasaan kita itu. Artinya dari kekeliruan kita itu kemudian menjadi sebuah nama panggilan. Misalnya ada yang menyebutkan, “itu, sis ok tahu itu”, atau “itu, siapa itu, yang asbun tempo dulu itu”. Atau kemudian malah menjadi panggilan khasnya, hal ini dalam kehidupan masyarakat sudah menjadi kebiasaan. Biasanya orang susah mengingat nama aslinya, tapi lebih mudah memanggilnya dengan nama dari pengalaman spontanitas seseorang. Akhirnya menjadi nama yang rada aneh untuk sepanjang hidupnya. Budaya kita di Indonesia, sesuatu yang aneh dan melekat dapat menjadi sebuah kebiasaan, termasuk dalam hal panggilan terhadap seseorang. Misalnya, “sama sis ok tahu itu”, atau “hei, asbun, mau ke mana?” dan sebagainya.
Orang suka atau tidaknya terhadap panggilan itu, karena sudah menjadi panggilan sehari-hari, walau jauh dalam hatinya yang terdalam tidak suka dengan panggilan itu, menolak terhadap panggilan itu, tapi orang kudu suka dengan panggilan itu. Menjadi sukar untuk mengubahnya. Dan kita yang menjadi objek panggilan, walaupun gondoknya mencapai ubun-ubun, boleh saja kita akan pasrah dan lama-kelamaan menjadi cuek atau menjadi biasa, akhirnya dengan terpaksa ikhlas, menerima saja terhadap panggilan itu. Pengalaman seperti ini, banyak terjadi dalam masyarakat, tergantung apa pengalaman dan apa panggilannya. Semoga tidak ada orang yang memberikan nama anaknya dengan nama dari kata yang belum dipahami definisinya. Apalagi orang sudah meyakini bahwa, nama adalah doa. Maka jangan ada orang yang memberi nama anaknya, tanpa memahami definisi terlebih dahulu, misalahnya orang memberi naman anaknya dengan ‘Humoruddin’, ‘Siti Humoriyah’ atau ‘Tawaruddin’, ‘Siti Tawariyah’.
Kembali ke kata “humor”. Saya pikir, tidak ada orang yang tidak mendengar kata “humor”, semua kita pasti mendengarkan kata “humor”. Orang akan terpana dan senang ketika mendengar kata “humor”. Dalam pikiran orang, apabila mendengar kata “humor” akan terbayang olehnya kata “tertawa’, karena antara “humor” dan “tertawa” adalah adik-kakak dari keturunan yang sama. Humor membutuhkan tawa, tawa membutuhkan alasan, dan alasan utama dari tertawa adalah karena humor.
Humor merupakan kata yang memiliki kharisma serta memiliki pengaruh pada diri seseorang, kemudian siap-siap menanti untuk tersenyum dan tertawa. Humor adalah kata yang mampu mengajak orang lain untuk memberi perhatian. Humor adalah kata yang membuat orang lain terkesan. Bahkan humor adalah kata yang memiliki sifat mengajak dan memanggil. Oleh karenanya, orang humoris itu orang yang disukai dan mudah diingat oleh orang lain. Maka jangan tertawa kalau tidak ada hal-hal yang membuat anda jadi tertawa, karena tertawa tanpa ada hal-hal yang membuat anda tertawa, anda akan dianggap miring alias sinting. Di sinilah tertawa dan humor menjadi sesuatu yang sehat, artinya humor menyehatkan (akan kita bahas pada artikel selanjutnya).
Sesuatu yang dapat menimbulkan tertawa, maka sesuatu itu adalah sesuatu yang aneh, lucu itu aneh. Makanya orang sering salah melihat dan memaknai terhadap orang yang humoris. Orang yang humoris kemudian juga dipandang aneh. Tegus Srimulat, suatu ketika pernah berkata, sesuatu yang lucu adalah sesuatu yang aneh. Baginya, menampilkan hal-hal yang lucu merupakan sesuatu hal yang tidak biasa, yang aneh, yang asing, apakah itu berupa tindakan, perbuatan, ucapan serta etiket, itu semua dapat mengundang kelucuan atau tawa. Agus Mulia (2014), menganggap bahwa pada tataran ini ada sesuatu yang dianggap standar bahkan normal, bahkan secara lebih jauh malah keluar dari standar dan normalitas, maka hal itulah dianggap aneh, sekaligus juga itu berarti lucu. Terlepas dari apakah yang aneh dan lucu itu benar atau juga salah secara sosial maupun moral.
Jaya Suprana, dalam bukunya Kaleidoskopi Kelirumolagi (1997), menganggap bahwa sesuatu yang lucu adalah sesuaru yang keliru. Hal ini pula yang membuat Jaya Suprana kemudian memunculkan istilah kelirumologi yang menghasilakn buku sampai lima jilid. Menurutnya, hampir semua lini kehidupan yang dijalani manusia atau dalam kehidupan sehari-hari banyak yang keliru yang dilakukan manusia bahkan telah dianggap benar, sehingga kelicikan manusia menjadi sebuah standar. Kekerasan menjadi sebuah kepicikan manusia yang melahirkan kekerasan bahkan intimidasi. Makanya oleh Jaya humor itu dianggap aneh dan lucu bahkan yang lucu itu keliru.
Leave a Review