Oleh Zulfata, CEO Media Katacyber.com
“Si koruptor-koruptor itu, si maling-maling itu, tidak rela, tidak rela ada pemerintah Indonesia ingin membenahi diri, kita akan digoyang akan dibikin isu ini itu,” Presiden Prabowo Subianto (28/12/2024).
Tidak begitu lama setelah Prabowo Subianto dilantik sebagai Presiden RI ke-8, peristiwa koruptor ditangkap terus meradang, bahkan dianggap itu sebagai prestasi Presiden Prabowo saat memulai pemerintahannya. Belum setahun masa kepemimpinannya, Presiden Prabowo masih saja menyorot berbagai upaya dalam memberantas koruptor. Belakangan ini, nyaris setiap tempat ia di berpidato (dalam negeri) cenderung menyinggung terkait perang terhadap koruptor.
Berbagai respons positif dan negatif pun berkembang biak, argumentasi politik Presiden Prabowo terdampar ke ruang publik secara terpenggal-penggal, tidak utuh yang kemudian membentuk berbagai spekulasi dan argumentasi politik masyarakat/netizen. Ada banyak perspektif yang dapat ditarik oleh pernyataan politik Presiden Prabowo terkait pemberantasan korupsi, di antaranya adalah Presiden Prabowo mampu membuka cakrawala publik terkait apa dan bagaimana upaya yang akan dihadapi saat misi pemberantasan korupsi diterapkan.
Munculnya polemik terkait adanya ruang pengampunan atau memaafkan koruptor yang mengakibatkan simpang siur klarifikasi dari beberapa menteri dan legislatif adalah bagian dari antusiasme Indonesia benar-benar ingin memberantas korupsi. Lantas bagaimana caranya agar niat baik itu berjalan efektif? Sementara itu Presiden Prabowo tidak mungkin sendiri dalam menggelar operasi perang terhadap koruptor di Indonesia. Di sinilah tantangan politik pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo yang semakin menarik untuk dicermati.
Satu sisi, memerangi koruptor yang telah mengakar kuat dalam sistem politik Indonesia bukanlah perkara mudah, ada berbagai pertimbangan di dalamnya, ada pertimbangan bagian dari tim donatur pemenangan politik, investasi, koalisi hingga bagian dari kekuatan internal partai politik. Ketegasan dan kebijaksanaan Presiden Prabowo memang sedang diuji oleh buplik hari ini.
Dengan ciri khas politik “jalan tengah” Presiden Prabowo, masih ada celah baginya untuk terus menempuh atau mengambil langkah bagaimana menyelamatkan uang negara yang terlanjur “bocor” sebelum ia menjabat sebagai Presiden RI. Berbagai siasat telah dilakukannya, mulai dari menghemat, mencoba menaikkan pajak (PPN 12%) hingga memaafkan koruptor dengan syarat tertentu. Penulis melihat startegi politik komunikasi Presiden Prabowo seperti ini masih dalam tahapan membuka atau ingin melihat respons publik sembari mengintip bagaimana gelagat koruptor yang masih berkeliaran di lingkar kekuasaan.
Diakui atau tidak, sejatinya dari kacamata politik istana, cukup mudah untuk melihat siapa koruptor kelas kakap dan siapa koruptor yang terus mengincar porsi kebijakan. Namun demikian untuk menangkapnya secara proses hukum tidaklah mudah, ada multiplayer efek semacam perang bintang jika itu dilakukan. Tentu dalam konteks ini penulis berpandangan bahwa Presiden Prabwo tidak ingin memberantas korupsi dengan pendekatan babat rumput, melainkan ada kecenderungan ia masih menggunakan pendekatan softpower.
Berbagai tawaran alternatif dari intelektual publik masih terus bergema, di antaranya adalah mendorong Presiden Prabowo untuk menerapkan Undang-Undang perampasan aset dari hasil kejahatan (korupsi), terlebih di parlemen koalisi pendukung Presiden Prabowo sangat memungkinkan. Jika legalitas itu ada, maka akan berdampak pada adanya efek jera bagi koruptor, demikian halnya dengan upaya memiskinkan para koruptor.
Tidak terhendi di situ, kaki tangan koruptor di republik ini tentu tidak duduk manis begitu saja dalam menonton misi pemberantasan korupsi. Berbagai upaya mempolitisi misi pemberatasan korupsi pun terus dilakukan. Sehingga wajah pemeberantasan korupsi di republik ini tampak abu-abu tanpa kejelasan. Jadi, perang korupsi yang dikobarkankan oleh Presiden Prabowo hari ini tampak mengalami perlawanan yang sengit dan berimbang.
Pertempuran sengit tersebut dapat cermati dari kasus ditetapkannya Hasto Kristiyanto Sekjen PDIP sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK). Di masa Presiden Jokowi, Hasto tampak aman bahkan tak tersentuh oleh penegak hukum mana pun, namun setelah Prabowo jadi Presiden dan menyatu dengan kekuatan politik Jokowi, maka ada kecurigaan publik bahwa tren pemberantasan korupsi tampak mengarah pada golongan tertentu. Paling tidak, secara politik, upaya pemberantasan korupsi bagi kalangan elite partai politik sedang berjalan. Soal mengapa harus membidik koruptor pada golongan tertentu itu adalah satu bagian dari serangkaian misi pemberantasan korupsi lainnya yang akan terus dirancang dan dicapai.
Bukankah upaya pemberantasan korupsi di negeri ini tidak bisa dilakukan secara cepat dan merata? Tentu ada tahapan dan skala prioritas tertentu yang harus dibidik berhubung politik korupsi nyaris telah mendarah daging di kalangan elite pemangku kebijakan strategis nasional? Dalam konteks ini pula, dapat dicermati bahwa telah tersirat adanya skema politik Presiden Prabowo dalam menjawab tantangan pemberantasan korupsi di era kepemimpinanya sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia.
Leave a Review