Oleh Zulfata
CEO Media katacyber.com
Sepertinya gelagat politik Indonesia kekinian telah berdamai dengan praktik injak-injak semut; siapa yang di bawah terpaksa ikut yang di atas. Kenyataan politik sedemikian terlihat dari berbagai peristiwa/tragedi politik belakangan ini di mana alat-alat negara secara otomatis berfungsi untuk memuluskan tujuan penguasa semata. Sehingga dalam kancah perpolitikan nyaris tak ada sisi beda antara pemerintahan dengan gerbong penguasa.
Dalam kancah pemerintahan, baik level pusat maupun daerah, pemerintahan ibarat suatu wilayah pertaruhan penanda penguasa wilayah. Jika diibaratkan Harimau di belantara hutan, Harimau memberi tanda khusus yang dapat dibaca oleh hewan lainnya yang lebih rendah martabatnya dari pada Harimau, sehingga hewan-hewan yang lain tak mau ambil resiko untuk mencampuri urusan/wilayah Harimau. Alih-alih melawan Harimau (raja) justru hewan lainnya lebih memilih bersikap maklum terhadap Harimau.
Perspektif politik satwa kunci di atas secara tidak langsung memberi ilustrasi atau gambaran terkait jagad raya politik Indonesia kekinian, khususnya saat merayakan pesta politik Pilgub/Pilkada pascapilpres 2024. Diakui atau tidak, basis wilayah yang telah menguasai instrumen pemerintah secara tidak langsung tidak ada lagi poros yang berani mengganggu wilayah teraebut, sebab, dari pada mengganggu lebih baik ikut membantu. Resiko untuk menjadi penganggu dianggap lebih berbahaya dari pada ikut membantu.
Makin ke sini tampaknya praktik perpolitikan semakin serupa dengan ekosistem atau rantai makanan. Raja mengusai wilayah dengan berbarengan menaburkan tanda-tanda kekuasaannya yang kemudian membentuk rantai makanan politik; yang di atas “memangsa” yang di bawah, yang di bawah kemudian memangsa yang di bawahnya lagi. Begitu dengan seterusnya.
Politik predator sedemikian telah ramai diadopsi oleh pelaku politik dari berbagai level. Memperjuangkan aspirasi rakyat dianggap usang dan kolot, dan memanipulasi rakyat dianggap politik strategis dan potensial. Dalam konteks inilah makna predator politik itu patut dicerna dan dikontekstualisasikan. Bukan saja rakyat yang dimangsa, tetapi para prajurit politik pun dimangsa secara elite oleh para atasannya. Lebih lanjut, elite lebih canggih cara memangsanya dari pada Harimau. Jika Harimau memangsa korbannnya dengan memantau dan kemudian mengejar-menerkam, namun elite politik memangsa lintas sektoral. Kebijakan, rakyat, lingkungan hingga stabilitas masa depan terancam oleh daya predatornya para elite politik.
Kini, partai politik semakin mendapat panggungnya dalam meraih hingga mengelola pendulum kekuasaan. Praktik politik etis menjadi kemasan bagi barisan politik predator. Begitu juga agenda pembangunan dan kesejahteraan rakyat, hanya sekedar menjadi tema atau judul pencairan anggaran dari kantong negara. Namun dalam realisasinya justru berakhir pada kesenjangan sosial dan pembodohan politik kerakyatan. Sehingga yang terjadi hari ke hari adalah politik kemaslahatan menjadi ilusi, dan politik predator menjadi inspirasi generasi.
Lantas bagaimana menghadapi maraknya politik predator yang telah diaminkan hari ini? Memang tidak mudah untuk menjawabnya, namun masih ada harapan untuk menekan politik predator tersebut. Jika Harimau sebagai raja hutan saja dapat mengalami kelangkaan, menagapa tidak kaum politik predator tidak bisa dilangka-kan? Akhirnya, kisi-kisi jawaban ini terletak sejauh mana rakyat sadar agar tidak terlu jauh masuk dan terperangkap ke dalam jebakan yang dirancang oleh kaum politik predator dalam berbagai kesempatan tertentu, apakah itu kesempatan pada saat pengesahan kebijakan/konstitusi maupun pada saat transisi kepemimpinan (Pilgub/Pilkada) berlangsung. Sudah saatnya rakyat Indonesia serius menghadapi dan mengontrol belantara politik Indonesia dari rencana busuk para kaum politik predator yang semakin menjamur akhir-akhir ini.
Leave a Review