Sulap Kasus oleh Penguasa

Oleh Zulfata, CEO Media Katacyber.com

Andai saja boleh menduga-duga, ada berapa banyak kasus (korupsi) yang sengaja tidak dibuka di ruang publik. Ada berapa kasus berhenti di tengah jalan tanpa ada penyelesainnya. Ada berapa banyak kasus yang dibungkam oleh penguasa. Ada berapa banyak kasus kembali dibongkar setelah tak lagi bersahabat dengan penguasa. Ada berapa banyak orang-orang berkasus (mega-korupsi) kembali hadir di garda terdepan rakyat yang kemudian dipercayakan kembali untuk menjamin hajat hidup banyak orang.

Mesti hal ini diawali dengan dugaan, namun secara politik penegakan hukum di Indonesia hal tersebut adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat disangkal. Hari ini, kita telah menyaksikan yang awalnya tidak dapat dijadikan tersangka, namun saat tidak lagi menjadi bagian dari kekuasaan akan ditargetkan sebaga tersangka. Demikian sebaliknya, yang awalnya sudah tercium akan jadi tersangka, namun karena telah atau tetap menjadi bagian dari penguasa, maka tidak lagi menjadi target sebagai tersangka, bahkan kasusnya lenyap di telan bumi seketika.

Akrobatik sulap kasus oleh penguasa bukanlah hal baru di kolong bumi Indonesia, berbagai ahli hukum yang memiliki integritas metereng seperti Artidjo Alkostar pernah menyinggung saat dirinya ingin sekali memberantas koruptor di Indonesia, namun kendalanya adalah sistem pembuatan hukum di Indonesia menjadi faktor utama dalam memberantas koruptor. Tentu hal ini sangat berkaitan dengan siapa yang membuat Undang-Undang.

Undang-Undang sangat erat kaitannya dengan sistem penegakan hukum, dekat dengan sejauhmana keseriusan dalam membongkar kasus di lingkar kekuasaan. Ada banyak buronan korupsi yang masih bebas berkeliaran, ada banyak aktor intelektual korupsi masih menjadi publik figur bahkan pemimpin ekonomi rakyat. Dengan praktik sulap kasus, ada banyak tumbal berjatuhan, ada banyak korban yang diciptakan untuk melindungi tuannya.

Fenomena manusia kebal hukum di Indonesia masih menjadi tradisi elite, belum lagi putusan pengadilan yang dapat diorder sesuai pesanan. Misalnya, korupsi Rp. 300 Triliun kemudian dihukum penjara hanya 6,5 tahun, dengan pertimbangan yang melakukan korupsi tersebut berperilaku baik dan memiliki keluarga. Ada berbagai keanehan hukum yang semakin menjadi-jadi di negeri ini, ada banyak paradoks perilaku penegakan hukum secara massif di tubuh pemerintah, baik level pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Penguasa selalu menjadi pemenang, kolega dan mitra penguasa seperti selalu mendapat perlindungan atau kebal hukum. Berbagai rekayasa penekagan hukum dapat disulap melalui jejaringan penguasa yang dapat disalahgunakan. Akhirnya, adil dan makmur masih jauh panggang dari api.

Satu sisi, memang agak rumit mengurai benang busuk keadilan hukum dari hari ke hari, bergantinya pemimpin tidak menjamin adanya keadilan hukum yang masif dan merata. Justru praktik sulap kasus semakin banyak motif dan modusnya. Tanpa disadari, pasca pilkada 2024, ada berapa banyak pemenang pilkada yang berhasil lolos dari jeratan berbagai kasus korupsi. Secara otomatis, setelah menjadi pemimpin daerah, pemimpin korup tersebut justru mendapat “kekebalan hukum”, artinya semakin hari, semakin pola penegakan hukum semakin buta terhadap pemimpin atau calon pemimpin yang korup.

Tidak peduli rekam jejak, tidak peduli dengan dampak kesejahteraan masyarakat, yang jelas pemimpin yang bebas dari kasus tertentu bukan akan jera, melainkan akan terus ambisius mengincar jabatan politik. Motifnya bukan sekadar mendapat kewibawaan, melainkan untuk menyelamatkan nasib jika tak lagi menjabat.

Ada banyak contoh dan pembelajaran yang dapat dipetik terkait konteks ini, beberapa mantan pejabat yang telah bersebrangan dengan penguasa, kemudian satu persatu imunitas atau kekebalan hukumnya mengalami kebobolan, dan pada akhirnya lawan potik tersebut beruntun dipanggil oleh penegak hukum. Dalam istilah ilmu politik, itu disebut sebagai politisasi hukum. Namun demikianlah cara penegakan hukum, yang terjadi ketika politik menjadi panglima bagi menegakan hukum.

Secara kasat mata memang instrumen hukum dijadikan alat politik tidak mungkin dihindari oleh politisi yang ingin terus melanggengkan kekuasaannya. Pentas demokrasi terus didekorasikan sedemikian rupa agar berbagai orang yang berkasus bukan untuk ditindaklanjuti secara prinsip adil hukum, malainkan kasus tersebut akan menjadi kartu As dalam membangun negosiasi dan komitmen politik.

Pada akhirnya, secara bertahap dan lama-kelamaan penguasa semakin canggih dalam mengelola kasus yang kemudian dapat disulap sebagai energi tambahan bagi politik masa depan. Dalam kondisi politik hukum seperti ini pula, jangan harap hukum akan tajam ke atas, melainkan penegakan hukum akan selalu melayani dan mengakomodir siapa yang sedang duduk di atas.

Penulis adalah Zulfata, CEO Media Katacyber.com

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi