Oleh Zulfata. Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Erick Thohir melalui stafnya Nezar Patri pernah mengadukan Tempo pada Juli 2023 tahun lalu. Aduan tersebut terjadi lantaran Erick Thohir merasa dirugikan melalui salah satu produk jurnalistiknya atau konten dengan judul “’Manuver Erick Thohir Lewat PSSI dan BUMN yang Tak Disukai PDIP (Bocor Alus Politik)’. Akhir dari proses aduan tersebut Tempo kemudian melalui salah satu jurnalis Tempo menyatakan permintaan maaf kepada Erick Thohir dan pembaca Tempo pada Agustus 2023.
Apa yang dialami dan dilakukan tim Erick Thohir tampaknya juga terjadi pada Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) saat menjadi topik pembicaraan pada konten Bocor Alus dan majalah Tempo. Melalui staf khususnya Tina Talisa, Dewan Pers pun mengeluarkan surat pernyataan penilaian dan rekomendasi (PPR) terkait aduan Menteri Bahlil. Berdasarkan keterangan dari Tina Talisa, Bahlil menyayangkan konten atau produk jurnalitik Tempo dengan judul “Main Upeti Izin Tambang” yang terbit pada 3 Maret 2024.
Berkesinambungan dengan editorial Katacyber.com 10 Maret 2024 dengan judul “Bahlil Tempo dan Politik Pers”, dua peristiwa sosok yang berpengaruh di republik ini seperti Erick Thohir dan Bahlil cenderung “kebal” dari apa yang disorot melalui karya jurnalistik, khususnya bidang investigasi. Situasi dan kondisi penguasa yang “kebal” dari sorotan media tentunya menjadi problem akut bagi upaya menyulut partisipasi publik dalam mengontrol kekuasaan agar tidak rusak dari dalam.
Mencermati relasi penguasa dan pemodal media memang tak pernah habis menariknya, selain dua hal tersebut (penguasa dan pemodal media) ibarat dua sisi mata uang, berbeda tetapi menyatu. Di luar logika hitam dan putih, terkadang sulit menemukan mana yang benar antara kenyataan perilaku penguasa yang disorot media dengan karya jurnalistik media. Terkadang kedua hal tersebut bisa saja tebang pilih dalam menentukan sikap. Termasuk ada kesan pers masih tebang pilih dalam mengurai problem publik. Begitu juga Dewan Pers, potensi, gejala, rawan “melunak” di hadapan sosok sekaliber Erick dan Bahlil.
Berangkat dari fakta menyikapi dampak juralistik yang menimpa Erick Thohir dan Bahli di atas, secara kritis dapat dipandang bahwa Dewan Pers terlah berpijak pada aturan mainnya melalui Undang-Undang Dewan Pers Nomor 40 Tahun 1999. Sisi kode etik jurnalistik adalah faktor utama yang menjadikan Tempo diminta untuk meminta maaf pada beberapa produk jurnalistik/investigasinya. Sehingga Dewan Pers menyatakan Tempo tidak akurat dan mengangkangi kode etik jurnalistik. Sehingga sosok penguasa yang mengadukan ke Tempo merasa dirugikan dan menyebut pemberitaan di ruang publik yang dilakukan Tempo atas dirinya adalah fitnah.
Jika dicermati secara mendalam, terkadang melalui sisi kode etik jurnalistik justru membuat karya jusrnalitik mengalami penyempitan dengan tidak menyebutnya mati suri atau layu sebelum berkembang. Misalnya, mengenai konfirmasi secara berimbang dan hak jawab. Dapat dibayangkan bagaimana ketajaman liputan investigasi dapat dibangun sementara harus membocorkan atau mengkonfirmasikan kepada yang bersangkutan bahwa ia sedang diinvestigasi? Belum lagi soal tidak akuratnya jawaban dari yang diinvestigasi saat diminta konfirmasi? Belum lagi soal “politik korea” dapat terjadi saat memberi keterangan pers. Pada posisi inilah sejatinya Dewan Pers dihadapkan varian pilihan, sehingga tidak semata secara hitam putih, mesti memiliki terobosan melampaui itu, bahwa di atas hitam dan putih masih ada namanya kebijaksanaan dan keadilan.
Namun demikian, memang tidak sepatutnya untuk membangun jurnalistik yang mengedepankan kepentikan publik serta partisipasi kritis publik tidak bisa diserahkan seutuhnya kepada Dewan Pers. Sejarah pers di Indonesia sendiri telah membuktikan bahwa konflik kepentingan dan praktik kompromi politik dengan pemodal/penguasa juga belum terurai baik sepanjang republik ini masih berdiri. Belum lagi soal kredibelitas pers saat ini dan masa depan. Jika diibaratkan, posisi peguasa, pelaku pers dan demokrasi bagaikan nasi telah jadi bubur. Sulit dipisahkan, namun masih dapat dimanfaatkan.
Terlepas apakah Tempo (tidak) mendapat sanksi sosial dari yang direkomendasikan oleh Dewan Pers padanya, atau terlepas sosok penguasa (menteri) dapat menyangkal produk jurnalistik investigasi, namun semua itu adalah tantangan besar bagi pelaku pers hari ini dalam memperkuat kerja-kerja jurnalistik yang mengarah pada kredibelitas dan partisipasi publik dalam menciptkan prinsip kedaulatan rakyat secara demokratis, menciptakan kontrol publik atas penyalahgunaan jebatan publik. Meskipun hal ini terkesan teoritis, namun demikian ini adalah sebuah keniscayaan tantangan yang dihadapi oleh pelaku pers hari ini. Jika tidak, pers adalah salah satu pilar yang membuat demokrasi Indonesia nyaris punah.
Leave a Review