Setelah Demokrasi Mati

Foto: Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

Bukan sekadar reformasi dikorupsi, melainkan demokrasi telah mati. Satu sisi, menguatnya kecemasan publik karena matinya demokrasi merupakan pertanda baik dari pada mati rasa tentang kondisi demokrasi. Kecemasan publik tersebut dapat disebut ciri atau pertanda publik masih responsif dalam memahami perkembangan bangsa dan negara. Dengan kondisi seperti ini, paling tidak publik mendapat stimulus sosial dalam menentukan sikap untuk masa depan.

Matinya demokrasi yang ditandai dengan tigginya manipulasi partisipasi publik, oligarki menguasai cara kerja politik dan ekonomi, hukum dapat ditawar, pemburu rente meraja lela, koncoisme meningkat berbandig lurus dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Pilar-pilar demokrasi ambyar, runtuh tak beberbekas. Demikianlan cara sederhata mengilustrasikan kematian demokrasi.

Lantas apa yang terjadi setelah demokrasi mati? Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa sejatinya situasi demokrasi di Indonesia megalami layu sebelum berkembang, alias mati secara dini. Sebab, merujuk dari berbagai pemerhati demokrasi mengatakan bahwa melihat kondisi rakyat Indonesia hari sejatinya belum siap menerapkan sistem demokrasi, alasannya bahwa demokrasi membutuhkan tingkat kesadaran atau pendidikan warga negaranya yang belum layak dalam berdemokrasi. Pada posisi seperti inilah Indonesia disebut sedang belajar uji coba dalam berdemokrasi. Bahasa sederhananya, demokrasi bagaikan uji laboratorium, kelinci percobaan, meskipun dampaknya merusak sendi-sendi kesejahteraan dan kemanusiaan.

Faktor utama yang membuat demokrasi Indonesia mati adalah faktor politik dan ekonomi. Politik dalam arti kekuasaan, dan ekonomi dalam arti penguasaan aset dan menumpuk kekayaan yang dirampas secara elegan dari negara. Gerak perpolitikan di Indonesia tidak relevan lagi dengan mengedepankan etika, justru yang ditekankan adalah kemampuan atau seni adaptif, kolaboratif, dan kompromi. Tiga prinsip perilaku politik ini secara tidak langsung telah mempengaruhi sikap politik dan ekonomi di Indonesia. Hasilnya dapat dilihat bagaimana relasi politsi, pejabat dengan pengusaha kelas gurita yang menyatu dalam menjalankan roda pemerintahan.

Kondisi pascademokrasi mati sedemikian tentunya  tidak membuat rakyat mengalami jalan buntu. Secara bertahap, rakyat menempuh jalan alternatifnya sendiri, bukan cara melawan pemerintahan, melainkan mengikuti penguasa yang dominan. Sebaliknya, penguasa yang dominan terus menciptakan segala program agar rakyat terus mengalami ketergantungan pada kebijakan penguasa dominan.

Berbagai mobilisasi birokrat dikerahkan, berbagai aturan pemerintah disulapkan agar demokrasi yang mati dapat diganti dengan bersahabat dengan oligarki berserta dengan konco-konconya. Ketergantungan rakyat terhadap penguasa dijadikan sebagai investasi politik eleketoral. Berbagai bantuan sosial memiliki maksud politis. Kesenjangan ekonomi dibiarkan menganga sebagai strategi pengendalian ekonomi sepihak. Pembodohan generasi diciptakan agar energi kontrol publik melemah. Setelah itu, raykat mesti mampu keluar dari semua jebakan itu. Rakyat mesti terbiasa mengurus dirinya sendiri sembari gesit berjalan di atas permainan mata dadu oleh penguasa di republik ini.

Demikian halnya pilar-pilar demokrasi seperti parlemen (DPR-RI, DPD), Mahkamah Konstitusi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kementerian atau selevel dengannya, industri pers, penegak hukum, pemimpin perguruan tinggi, pemimpin ormas, hingga kepala desa menjalin kuasa dengan apa yang disebut sebagai jejaringan partai politik. Setelah demokrasi mati, peta kebijakan negara dapat dilihat dari cara main partai politik yang dominan (minimal kategori lima besar partai besar).

Tidak ada lagi yang namanya perujangan atau pengabdian atas nama ideologi Pancasila. Pancasila bukannya mati bersamaan demokrasi, melainkan ia mengasingkan diri dan akan muncul dalam waktu yang tidak ditentukan. Basa-basi dalam pemerintahan semakin menguat, rasa tidak saling percaya dalam menjalan program pemerintah secara efektif atau tepat sasaran adalah sesuatu sebatas memaklumi.

Setelah demokrasi mati, tidak ada lagi oposisi, semuaya mengarah pada kompromi politik yang mengatasnamakan solidaritas kebangsaan. Daya kreatif publik untuk cara bertahan di Indonesia sangat menentukan kehidupan rakyat. Sebab setelah demokrasi mati, kehidupan rakyat dalam tanggung jawab negara menyesuaikan kepentingan kuasa lima tahunan. Upaya  negara menyikapi rakyat cenderung berada dalam kacamata pemilu. Begitu juga perangkat penyelenggara pemilu, dengan segala akrobat netralitasnya terus berusaha meyakinkan publik bahwa pemilu adalah penentu nasib rakyat. Padahal bukan, sebab pemilu hanya sekadar formalitas. Sebab setelah demokrasi mati, siapa pemimpin di Indonesia telah awal ditentukan sebelum pesta rakyat digelar.

Tidak perlu mengutuk situasi keindonesiaan seperti ini, apa yang dialami Indonesia hari ini adalah sesuatu harus dihadapi dengan cerdas. Situasi dan kondisi dinama rakyat mesti cerdas berbisnis dengan pemerintahnya adalah celah selamat dalam mengarungi bangsa dan negara pascademokrasi mati. Di tengah kegamangan ini pula muncul sebuah tantangan, hanya saja tidak banyak di antara kita menemukan ada peluang yang dapat ditempuh setelah demokrasi mati, dari pada berkubang dalam perjuangan palsu yang disoraki oleh kelompok yang mengaku paling demokratis.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi