Oleh: Syarifuddin Abe
Dari judulnya saja, anda pasti tertawa. Tidak mau tertawa, juga tidak apa-apa. Dunia humor tidak mesti membuat anda tertawa, anda mau berpikir saja karena humor, itu sudah melebihi dari makna dari humor itu sendiri. Karena dalam dunia humor, berpikir sudah merupakan bagian dari dunia humor. Persoalan kemudian anda tertawa, juga bukan masalah, karena tertawa juga bagian dari dunianya humor. Walaupun dunia humor mengharapkan anda untuk tertawa.
Apakah tertawa perlu humor? Jawabannya pasti; ya. Sebab, kalau anda tertawa tanpa sebab sesuatu, anda akan dianggap gila. Maka tertawa, perlu media, yaitu humor itu sendiri. Dulu, teman saya, setiap dia ada masalah, pasti mencari saya. Alasannya sepele saja, dia ingin tertawa. Pekerjaan yang ia jalani, sangat sumpek, membuatnya emosi dan sering membuatnya bosan. Makanya dia mencari saya, hanya untuk tertawa. Saya enjoy saja, yang penting teman saya itu bisa gembira dan dapat melanjutkan pekerjaan di kantornya dengan tenang dan santai.
Sebenarnya banyak hal yang dapat ditertawakan. Semua perilaku pemerintah, apakah kebijakannya atau tingkah lakunya, semua adalah bahan humor yang dapat kita tertawakan. Entah itu sadar atau tidak sadar mereka lakukan. Apalagi menjelang pilkada pemilihan kepala daerah saat ini, semua berperilaku aneh dan aneh. Ini baru tingkat lokal dan nasional, semua adalah bahan tertawaan. Belum lagi secara global, dunia, tapi tidak usah, nanti terlalu luas tertawanya. Cukup tertawa dalam lingkup lokal dan nasional saja.
Menjelang pemilihan kepala daerah saat ini. Banyak orang antara sadar dengan tidak sadar. Antara melek dengan sengaja dibangunkan. Yang merasa diri popular atau yang di sanjung-sanjung oleh teman-temannya. Yang merasa memperkenalkan diri atau yang sudah merasa terkenal? Yang merasa anak muda atau banyak pengalaman? Masak ada calon kepala daerah, katanya hanya melawan tong kosong? Aneh itu? Bangga lagi, ke mana-mana berkoar-koar melawan tong kosong. Wajah boleh seram, tapi lawan kok tong kosong? Apa tidak sanggup melawan manusia lagi? Sampai-sampai tong kosong pun mau dilawan? Betul-betul tong kosong berbunyi nyaring? Mendingan langsung saja diadu dengan sapi atau kerbau? Diadu dengan domba atau kambing nanti terlalu tendensius? Apalagi selama ini di Aceh sudah jarang, bahkan hampir tidak ada lagi adu sapi atau kerbau?
Hidup ini sudah terlalu serius. Tidak ada waktu lagi untuk rekreasi. Dibilang manusia menjadi robot juga tidak cocok. Nyata-nyatanya banyak yang kekurangan energi. Hidup banyak ditopangi dan dibangkitkan semangat oleh suplemen seperti tongkat ali atau obat kuat lainnya. Hidup menjadi tidak kreattif. Yang kreatif hanya tinggal menipu dan membangga-banggakan diri. Kalau itu juga tidak ada kemampuan, ke dukun adalah jalan kreatif lainnya. Yang penting keinginan tercapai, popularitas dapat diciptakan oleh team kreatif dengan iming-iming; kalau menang pilkada nanti akan menjadi ini dan itu. Kalau sudah duduk dan tidur dalam istana kekuasaan, apa yang tidak dapat kita kuasai? Semua dalam genggaman kita? Semua kita yang mengatur?
Bagi orang-orang yang kreatif dan memiliki kepekaan untuk tertawa, mereka tidak akan bingung, duduk sambil menikmati kopi atau teh, lalu tinggal tersenyum melihat tingkah laku segelintir hamba Allah itu. Atau sambil menikmati secangkir teh dan kopi, ia tertsenyum atau tertawa sambil membaca buku humor, katakanlah buku yang ia baca, “Mati Tertawa Cara Berpikir Orang Aceh”. Di sinilah hebatnya humor, dapat membuat orang tersenyum atau tertawa. Di sini juga, setiap orang memiliki rasa humor bahkan masing-masing kita memiliki kekhasan humornya. Suka humor atau tidak, itu tidak penting, tapi rasa humor tetap ada; anda sadar atau tidak sadar. Bagi yang sadar ia akan tahu dan akan mengelola humornya dengan caranya sendiri. Bagi yang tidak sadar, tahu atau tidak, memakruhkan humor atau mengharamkan humor, ia tetap akan ditertawakan lewat tingkah laku dan perkataannya.
Saya ingat kata Ella Wheeler Wilcox, “tertawalah, maka dunia akan tertawa bersamamu”. Humorlah satu-satunya media yang dengan segala kemampuannya membuat manusia tertawa. Humor pula yang mampu menjungkirbalikkan manusia untuk tertawa. Apakah hanya tersenyum atau terbahak-bahak. Humor pula yang memberi ciri kebahagiaan bagi manusia dengan tertawa. Tertawa adalah bagian dari kehidupan dan tertawa merupakan bagian dari bentuk komunikasi manusia, telah ada sejak manusia itu ada. Tertawa juga yang mengidentikkan manusia sebagai rasa bahagia, riang gembira dan rasa senang. Sekali lagi, humor telah membawa manusia untuk tersenyum dan tertawa, walaupun humor tidak mesti harus tertawa.
Humor adalah sebuah kewarasan, kata Abdurrahman Wahid yang sering dipanggil Gus Dur. Hanya orang waraslah yang mampu memahami apa itu humor. Dengan kewarasannya, masyarakat dapat mengarahkan orientasi hidupnya dengan benar bahkan santai. Humor tidak pernah menyengsarakan siapapun, justru humor menjadikan orang senang, riang gembira bahkan bahagia. Kenapa humor dikatakan sebagai sebuah kewarasan? Karena orang akan tertawa dalam kewarasannya. Orang tahu; kapan ia mesti tertawa dan kapan mesti tidak tertawa. Humor menjadi media tertawa bagi orang yang waras. Orang waras tidak mungkin tertawa apabila tidak ada hal yang mesti ditertawakan. Beda dengan orang yang tidak suka dengan humor, mereka akan tertawa ketika mereka tidak sadarkan diri. Mereka akan tertawa tidak pada waktunya. Mereka akan tertawa sepanjang jalan oleh imajinasi yang membayangi pada dirinya.
Dengan humor orang akan mampu untuk menjaga diri mereka dari suatu keadaan yang mengarahkan mereka ke arah yang tidak benar. Sebagaimana yang disampaikan Gus Dur, yaitu adanya sikap pretensi, yang dalam kehidupannya tidak sesuai dengan sebuah keadaan. Pada sisi ini, manusia selalu memperlihatkan kebodohannya, malah manusia merasa bahagia dengan sikap bodohnya itu. Orang-orang seperti ini merasa bangga dengan apa yang dimilikinya yang seolah-olah orang lain tidak ada atau belum memilikinya. Seseorang merasa bangga dengan sebuah merek yang dipakainya dan menganggap orang lain tidak mampu memilikinya. Ia hanya merasa hanya ia seorang yang memilikinya. Padahal kalau dipikir-pikir, orang lain sudah muak memakai sebelum orang itu memakainya. Mungkin yang orang lain pakai sudah menjadi rongsokan.
Pretensi selalu memperlihat sebuah ketololan pada diri seseorang, apalagi kalau seseorang itu memakainya dalam kedaan tolol juga. Seperti kita juga yang merasa tahu sesuatu, menceritakan pada seseorang yang seolah-olah orang itu tidak tahu, padahal orang bukan tidak tahu, melainkan menghargai orang yang lagi penuh membara bercerita. Apakah orang ini tertawa? Tetap tertawa, untuk menghibur orang yang bercerita saja. Yang capek kita hadapi adalah orang yang sok tahu, kita belum selesai bercerita, sudah dipotong duluan. Kita bercerita suatu pengalaman, ia malah duluan sudah pernah melakukannya atau mengikutinya. Pokoknya, semua pengalaman yang kita cerita, orang ini selalu menyela bahwa ia sudah pernah mengalami. Ketika dua hari kemudian kita bertanya padanya, jangankan ingat, tahu pun tidak tentang apa yang ia anggap sudah mengalaminya.
Oleh karenanya, kita jangan terlalu nampak bodoh pada diri orang lain, sedangkan kita sendiri tidak menyadari. Orang sudah capek tertawa melihat ulah dan perilaku kita, tapi kita biasa saja, antara sadar dengan tidak sadar, bangga lagi, bahkan bangga pada diri sendiri tidak pada tempatnya. Malah kita ikut tertawa lagi. Orang sudah capek mentertawakan kita, kita malah penuh bangga mentertawakan diri kita sendiri dalam kebodohan itu. Bukan mentertawakan diri sendiri dalam sebuah kesadaran? Orang tertawa melihat kita karena menganggap kita seperti orang bodoh, tapi kita malah tertawa karena tidak sadar bahwa kita tampak botol alias bodoh plus tolol.
Kenapa humor tidak mesti harus tertawa? Karena sesuatu yang lucu memang tidak harus tertawa. Banyak tindakan manusia yang aneh dan lucu. Kalau kita tertawa, kemungkinan besar kita akan tertawa sendiri. Kalau kita tertawa dihadapan yang bersangkutan, jangan-jangan yang bersangkutan akan marah. Malah kita sering melontarkan suatu perkataan ketika lagi duduk-duduk dengan seseorang misalnya, “lucu sekali bapak itu…”, tapi kita tidak tertawa. Maka sesuatu yang lucu dan tidak mesti harus tertawa, sah-sah saja. Apalagi tidak semua yang memiliki unsur humor memang tidak harus tertawa. Semua yang memiliki unsur humor terkadang mengajak kita untuk berpikir dan berpikir. Kita boleh tidak sadar dengan ketololan kita, tapi kita juga harus ingat, ketololan kita jangan kita tampakkan seperti sebuah papan pengumuman. Ke mana-mana kita selalu membawa papan pengumuman itu. Ketika orang tertawa melihat kita, jangan marah, yang harus kita lakukan adalah bertanya, “kenapa orang tertawa melihat kita?”.
Arwah Setiawan, yang merupakan Presiden Humor Indonesia di era 1990-an, suatu ketika menanggapi pendapat yang disampaikan Jaya Suprana, bahwa “humor tidak harus lucu”. Menurut Arwah, humor memang harus lucu, bahkan humor yang efektif memang harus lucu. Kedua pendapat ini tidak ada yang salah, sama-sama benar. Walaupun ada yang beranggapan, bahwa pendapat yang mengatakan humor tidak harus lucu, itu juga lucu. Di sini saya ingin mempertegas bahwa, humor sifatnya memang harus lucu, kalau tidak lucu bukan humor namanya. Namun harus diingat, sesuatu yang lucu memang tidak harus tertawa. Dalam kelucuannya, humor terkadang mengajak kita untuk merenung dan berpikir. Ada juga humor dalam kelucuannya, orang tidak langsung akan tertawa, di sini bahasa humor yang disampaikan tidak dapat secara langsung ditangkap oleh yang mendengar, perlu beberapa detik atau menit untuk orang berpikir. Sah-sah saja, kemudian orang akan tertawa atau hanya sekadar tersenyum atau bahkan menjadi tercengang.
Tentu anda mengenal orang yang bernama Umberto Eco, seorang filsuf sekaligus sebagai novelis asal Italia. Eco terkenal ketika menulis novel The Name of The Rose dan beberapa essay yang ia tulis lainnya. Eco lahir di Alessandria tahun 1932 dan meninggal di Milan tahun 2016. Banyak novelnya digemari di seluruh dunia. Dalam sebuah novelnya, Eco pernah menjelaskan bahwa, humor dapat dibahas secara filosofis, tidak ada orang yang tertawa yang disampaikan Eco itu, bahkan orang-orang dibuat bingung olehnya ketika mencoba membaca penjelasan secara filosofis tentang humor itu.
Orang boleh larut dalam novel Eco, namun dalam memahami apa yang disampaikan Eco secara humor dalam novelnya itu, kebanyakan orang tidak ada yang tertawa atau memang tidak ada kemampuan orang untuk tertawa. Atau mungkin orang tidak dapat memahami, ada unsur humor dalam novel Eco itu. Entah yang disampaikan Eco orang tidak dapat menangkap atau memang perlu berpikir sehingga orang tidak sempat untuk tertawa. Lagi pula, kalau humor semuanya mesti orang tertawa, menurut saya akan hilang esensi dari humor itu. Orang akan asik-masyuk tertawa, sampai-sampai orang lupa berpikir. Secara filosofis, kalau orang tertawa melulu, kapan orang akan berpikir? Bagi saya, humor yang cerdas adalah di samping mengajak orang tertawa, juga mengajak berpikir bahkan merenung, atau sebaliknya.
Leave a Review