Humor dan Superioritas

Oleh: Syarifuddin Abe

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), superioritas diartikan sebagai keunggulan dan kelebihan. Superioritas adalah kepercayaan diri seseorang secara berlebihan, sehingga selalu merasa lebih dan merasa di atas orang lain, orang lain malah tidak ada apa-apanya. Seseorang kadang merasa bangga dengan superioritasnya dan menganggap ia akan sukses dengan itu semua. Superioritas pada seseorang juga dapat timbul dengan tujuan ingin mencapai sesuatu hal yang selama ini atau sudah lama ingin diraihnya.

Arti lain dari superioritas adalah ketangguhan. Ketangguhan asal kata dari tangguh. Kata ‘tangguh’ dapat diartikan sebagai kata yang utuh, yaitu kata yang mewakili kekuatan dan kemampuan bertahan. Hubungan dengan humor, dengan tertawa, dan tanpa sadar orang ingin menunjukkan kekuatannya, ingin menunjukkan kelebihannya dan kelebihan itu tidak dimiliki orang lain. Dengan tertawa, orang ingin menunjukkan superioritasnya. Di sini ada sikap menjatuhkan, melecehkan, menganggap orang lain lemah, berada dibawahnya. Pokoknya seseorang merasa lebih dibandingkan orang lain. Bahkan ‘cuek’ terhadap orang lain dengan kelebihan dan kemampuan yang dimilikinya, juga dapat masuk dalam kategori ini.

Superioritas juga erat kaitannya dengan keunggulan. Seseorang merasa unggul dari yang lain. Orang yang merasa unggul dari yang lain, biasanya agak sedikit atau lebih, sinis ketika memandang yang lain. Ada rasa lebih ketika berhadapan dengan yang lain. Kalau di sekolah, anak-anak yang merasa unggul dengan teman-temannya yang lain, ia akan sedikit sombong pada kawan-kawannya yang lain. Apalagi kalau berhadapan dengan kawannya yang dianggap di bawahnya, atau yang dianggap bodoh olehnya, ini bisa tidak mau peduli kepada yang lain. Makanya, keunggulan itu asal kata dari ‘unggul’, memiliki makna merasa lebih tinggi dari yang lain. Yang dalam pengalaman kehidupan bisa berbahaya karena terlalu “merasa”. Merasa lebih dari yang lain.

Menurut Alfred Adler (1870-1937), superioritas adalah usaha yang dimiliki oleh seseorang dalam rangka untuk mencapai kekuatan diri. Dengan agresifitasnya, manusia ingin mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Tidak ada manusia yang ingin dipandang lemah. Bahkan, ketika manusia itu sudah jatuh sekalipun, ia ingin tetap bertahan dan tetap ingin terlihat kuat, ia ingin menutupinya sekuat tenaga.

Manusia selalu ingin tampak kuat dan lebih dari yang lain. Manusia ingin selalu sempurna. Ketika kemampuan itu tidak tercapai, maka persoalan kurang bahkan tidak percaya diri menjadi timbul. Seseorang untuk mencapai kepercayaan orang lain tentang dirinya, biasanya diperlihatkan melalui gaya hidup. Memperlihatkan kekayaannya, kelebihannya, kepintarannya serta segala sesuatunya yang menurutnya lebih dari yang lain. Semua dari apa yang diperlihatkan seseorang terhadap orang lain, belum tentu merupakan pencapaiannya yang nyata, kamuplase semata. Oleh karenanya, orang yang ingin tampak superior, selalu tak segan untuk merendahkan siapa saja yang dianggap lawannya.

Lawan dari superioritas adalah inferioritas. Inferioritas kebalikan dari superioritas. Kalau superioritas terlalu merasa di atas, inferioritas terlalu merasa di bawah dan terlalu merasa kekurangan pada dirinya, sehingga selalu merasa rendah dengan yang lain (Nugrahaningtyas, 2014). Oleh Supraktinya (1993), inferioritas timbul sebagai suatu kondisi yang dirasakan oleh seseorang karena persoalan psikologis bahkan sosial. Menjadi kurang percaya diri. Memiliki kelemahan dibandingkan orang lain. Bisa-bisa orang seperti ini banyak diam dan menutup diri apabila berhadapan dengan orang lain. Sikap inferioritas ini kebanyakan disebabkan oleh pengalaman negatif yang dialami seseorang di masa lalu, seperti sering mendapat penghinaan di komunitasnya, pola asuh orang tua yang membangkitkan kurang percaya diri pada anak serta sering merasa berkekurangan dibandingkan orang lain.

Bambang Suryadi (2019), sebagaimana mengutip dari buku The Psycology of Humor, karya R.A. Martin (2007), menjelaskan bahwa superioritas dalam humor merupakan sesuatu yang hadir berdasarkan aspirasi, yang muncul ketika seseorang adanya perasaan lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan orang lain. Pada saat seseorang melihat dan menemukan kelemahan dan kekurangan pada diri seseorang, maka kondisi itu dijadikan oleh seseorang sebagai obyek dan bahan humor dengan melontarkan cibiran dan cemoohan kepada yang bersangkutan.

Manusia di samping sebagai makhluk individu, juga sebagai makhluk yang gemar berkelompok. Sebagaimana kita sering ketemu, apakah di jalan-jalan, di kantor, kantin-kantin, atau di café-café atau bahkan dalam suatu majlis bahkan di dunia yang nyata. Ketika mereka duduk-duduk dalam sebuah komunitas, orang-orang yang berkelompok selalu merasa superioritas terhadap orang lain. Ada juga sebuah kelompok merasa lebih superior dengan kelompok yang lain. Mereka suka bercanda, tertawa, dengan suara besar bahkan tidak peduli terganggu orang lain. Inilah sikap superior atas inferioritas. Kita dengan mudah tertawa ketika melihat orang lain mengalami sesuatu, seperti terjatuh karena terpeleset menginjak kulit pisang, ada teman kita tanpa sengaja menabrak pintu kaca, dan sebagainya.

Thomas Hobbes (1588-1679), filsuf Inggris, dalam Leviathan-nya (1651) menulis, tawa merupakan ‘kejayaan mendadak’ atas kemenangan diri terhadap ketidakhormatan penderitaan yang di alami orang lain. Orang menjadi tertawa walau hanya sebentar terlepas dari kesadaran yang dimilikinya atas ketidakmampuan mereka sendiri. Bagi Hobbes, humor menjadi bagian dari bentuk ejekan bahkan penghinaan. Boleh jadi, dalam hal ketika kita menyerang orang lain, sebagaimana orang yang menegakkan kekuasaan dan statusnya dengan cara menertawakan.

Bagi Hobbes, orang yang biasanya tertawa, adalah orang yang menyadari sedikitnya kemampuan dalam dirinya. Mereka memaksakan dirinya agar selalu berada dalam posisi yang menguntungkan mereka, hal itu dilakukan dengan mengamati ketidakmampuan dan ketidaksempurnaan orang lain. Mereka menertawakan karena menganggap orang lain lemah. Pada sisi yang lain, orang menganggap dirinya lebih beruntung daripada orang lain. (Seno Gumira Ajidarma, 2012).

Oleh Yulio Eko Priyambodo (2014) pada tataran ini disebut dengan keinginan menunjukkan kekuasaan terhadap orang lain. Manusia suka menunjukkan kepada orang lain sesuatu yang dimilikinya, seperti kepintaran, harta, kekuasaan, bahkan kecantikannya. Di antara semua yang dominan yang dimiliki manusia, kekuasaan lebih dominan nampaknya, sebagaimana perkembangan politik sebelum, selama dan pasca pemilu 2024 di Indonesia. Tidak hanya oleh tim pilpres, para pendukung, termasuk yang diperlihatkan oleh tim hukumPrabowo-Gibran di Mahkamah Konstitusi terhadap tim hukum Anies-Muhaimin dan tim hukum Ganjar-Mahfud. Pada satu pihak kekuasaan mengangkat harkat dan martabat manusia, di lain pihak, telah merenggut harkat martabat orang lain. Yang merasa kuat boleh semena-mena bahkan mencibir dan mencemoohkan, sedangkan yang dianggap lemah terus menerus dipojokkan dan ditertawakan.

Walau manusia memiliki kebebasan dalam berekspresi dan berkreasi, tapi terlalu merasa superior terhadap orang lain juga perlu dijaga. Sebagai bangsa Timur, adab dan etika selalu dijunjung dan diagungkan. Ketika manusia mempertontonkan sesuatu yang jauh dari adab dan etika, maka sejak itu manusia akan menuju kepada kenistaan dan kerendahannya bahkan kejatuhannya.

Sebagai manusia, banyak cara yang halal untuk menonjolkan diri terhadap orang lain dengan tertawa. Selama manusia menjaga dan terjaga dalam adab dan etikanya, selama itu pula harkat dan martabatnya menjadi baik. Manusia yang baik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain.

Tertawa dapat menjadi sebuah ekspresi bagi seseorang, tergantung orang mempergunakan ke arah mana tertawanya itu; apakan ingin menjatuhkan atau ingin merendahkan atau melecehkan orang lain. Apalagi kalau sikap merendahkan dipergunakan terhadap orang yang dipandang lemah, kecil, di bawahnya, serta terhadap orang yang lagi menderita. Sebagaimana yang disampaikan oleh Abdul Majid S (2004), “tertawa adalah satu rasa jiwa”, bahwa kepuasan dan kemenangan karena menunjukkan kekuasaan merupakan sebuah kepuasan tersendiri ketika diperlihatkan dihadapan orang lain.

Diakhir tulisan ini, saya ingin mengutip tulisan Goenawan Mohammad dalam Catatan Pinggir, jilid 1, yang berjudul Di Bawah atau dengan Kekuasaan (2012). Ada seseorang datang bertemu dan bertanya kepada seorang sufi bernama Idries Shah, “Manakah yang lebih baik, berada di bawah kekuasaan seseorang atau menjadi penguasa?”.
Kemudian, dengan bijaksana, sang sufi menjawab, “Lebih enak berada di bawah kekuasaan orang”.
Orang itu bertanya lagi, “Mengapa?”
Sang Sufi kemudian menjelaskan, “Orang yang berada di bawah kekuasaan orang lain, akan senantiasa diberi tahu oleh yang berkuasa bahwa ia salah, apakah ia memang benar-benar salah atau tidak. Hal ini memberinya kesempatan untuk memperbaiki diri dengan menelaah terhadap dirinya sendiri, apalagi terkadang ia bisa saja bersalah.

Sementara orang yang berkuasa, hampir selalu membayangkan dirinya atau peraturannya benar, hingga ia pun hanya sedikit punya kesempatan untuk menyiasati tingkah lakunya sendiri. Itulah sebabnya, orang yang berada di bawah kekuasaan orang lain, pada gilirannya akan menjadi penguasa, dan para penguasa akan jatuh ke status orang yang dikuasai”.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi