Oleh Danu Abian Latif
Founder Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa
Sebagai seorang yang bergelut dalam dunia kepenulisan, saya sangat prihatin dengan dunia pendidikan di Indonesia saat ini, terkhususnya di sektor kelakuan guru besar, doktoral hingga magister yang diidentikkan dengan akademisi. Pasalnya guru besar seolah seperti cermin yang retak, kondisinya sangat memprihatikan terhadap sosok-sosok profesor yang seharusnya dihormati dan menjadi suri tauladan.
Mungkina benar adanya menyebut guru besar hanya sebuah nama saja. Pernyataan tersebut lahir dari kegelisahan saya, lebih apa yang sudah diperbuat oleh guru besar saat ini. Memang benar bahwa bahwa guru besar adalah seorang pengajar, tetapi setelah menjabat menjadi guru besar itu melakukan apa? dengan tidak menyebutnya berlagak bagaikan dewa di ruang-ruang pendidikan.
Tulisan ini saya buat bukan untuk maksud menyinggung, melainkan adalah sebuah pemantik kontemplasi untuk para guru-guru besar , doktor dan magister yang ada di Indonesia. Coba renungkan segala problematika dan huru hara persoalan yang ada di Indonesia saat ini.
pandangan saya sangatlah sederhana, saya ingin para guru besar, doktoral, magister menulislah di koran-koran lokal/nasional, di media-media pers, tulisan yang akan mencerahkan pemikiran masyarakat Indonesia, tulisan yang hadir sebagai penunjuk arah ditengah huru hara gejolak pemerintahan, intinya saya sangat merindukan seorang profesor menulis. bukan sebaliknya, terjebak pada penghambaan publikasi yang sryarat praqmatis memenuhi kebutuhan dapur keluarga dengan target poin dan jabatan.
Satu hal yang saya yakini hingga saat ini adalah bahwa guru besar atau seorang yang disebut akademisi yang diberikan secara penuh juang maupun sembarangan atau asal-asalan. Saya menghimbau kepada kaum yang mengaku sebagai akademisi yang ada di Indonesia sudah saatnya untuk kalian turun dari menara gading tulisan-tulisan jurnal ilmiah dan buku-buku yang hanya bisa dikonsumsi oleh sebagian orang saja, lalu sebagian lainya hanya tesis dan disertasi yang berahir menjadi arsip dan bungkus gorengan pinggir trotoar dan selokan.
Mengevaluasi karya publikasi kampus penting dilakukan agar tulisan-tulisan benar benar memerdekakan publik, dan akademisi bukan sekedar titel tanpa karya ide dan gagasan dalam penyelesaian tantangan publik, bukan ide dan karya yang kaku, namun tak mampu mengisi ruang peradaban dengan karya yang gesit, dialogis dan mencerahkan publik.
Seharusnya para akademisi mampu menulis di berbagai media masa seperti lembaga pers atau koran, sehingga dapat menyampaikan pesan yang lebih gamblang tentang kondisi dinamika persoalan yang ada di Indonesia saat ini. Jangan terpaku pada tulisan yang kaku hanya bisa diakses oleh kaum akademisi praqmatis dan bercorak menara gading. Sudah saatnya para akademisi sadar dan hadir untuk semua kalangan dalam mencerdaskan masyarakat Indonesia di tengah turbulensi kekuasaan yang semakin mengancam kemaslahatan rakyat. Bukan pasrah pada kenyataan meningkatnya para akademisi yang pengecut dan berlindung di dalam ruang ber-AC yang didanai kampus.
Apakah kemerdekaan menulis para akademisi sudah direnggut oleh belenggu jabatan? Atau sudah dibutakan dengan rutinitas administrasi belaka? Sehingga tidak lagi memiliki kesempatan untuk memberikan subangsi pikiran tentang problematika Indonesia saat ini.
Apakah faktor media yang tidak ada gajinya, setiap artikel hanya dibayar hingga Rp 100.000 sampai Rp 250.000 saja, sehingga mempengaruhi persepsi dan motivasi spara akademisi terhadap keuntungan menulis di media publik, memang benar bayaran tersebut tidak sebanding dengan waktu yang dikeluarkan seorang profesor untuk meluangkan waktu menulis sebuah artikel.
Mungkin lebih baik untuk mengisih kuliah umum, menjelaskan makalah di forum publik atau menulis jurnal umum dan ilmiah yang dibayar Rp 500.000 sampai Rp1.000.000, jangankan menulis diundang untuk mengisi acara atau berdiskusi saja pun mereka dibayar.
Tetapi, sangat disayangkan apakah lebel akademisi hanya berakhir dengan bandrol harga akan ilmu-ilmunya. Seharusnya para akademisi paham akan fungsinya bahwa kehadirannya untuk menjadi sebuah sejarah dalam membebaskan, yaitu membebaskan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan publik. Apali lagi berkontribusi merawat pembodohan publik/mahasiswa seperti kebanyakan kampus di Indonesia hari ini.
Jelas tugas akademisi adalah harus menyebar luaskan gagasan keilmuannya untuk memecahkan permasalahan di masyarakat. Apabila hingga saat ini masih ada para akademisi yang terpaku dalam tulisan kaku dan terjebak dengan honorium semata, mereka adalah orang-orang yang dapat sebagai sampah intelektual yang mesti didaur ulang.
Apabila mereka sadar dan paham akan nama yang mereka emban sebagai akademisi, seharusnya gesit dalam menulis, bukan buntu menulis, bukan hanya untuk diri mereka sendiri, pelengkap administrasi belaka atau mencari uang tambahan. Seharusnya mereka harus ambil andil menuangkan ilmu mereka melalui tulisan kreatif dan progresif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat.
Melalui tulisan ini senantiasa dapat merangsang para akademisi di seluruh Indonesia untuk berani keluar dari zona penulisan yang kaku, penulisan yang hanya mengejar skor untuk administrasi dan naik jabatan saja. Coba beralihlah menulis di media pers dan koran seperti perang pemikiran dan partipasi publik di masa orde lama/melawan penjajahan (baca fungsi pers dan propaganda melawan penjajah). Sehingga dapat dilihat oleh kalangan publik yang lebih banyak. Dalam konteks ini para akademisi dapat terjalankan sebagaimana mestinya, bukan sebaliknya menjadi beban melawan pembodohan yang diciptakan oleh para akademisi sendiri.
Leave a Review