Oleh: Apriadi Rama Putra
Politik adalah seni bernegosiasi, berstrategi, dan mengambil keputusan. Di dalamnya terdapat manuver-manuver yang tidak selalu terlihat oleh mata awam. Sayangnya, dalam pertarungan kekuasaan yang sering kali berujung pada perebutan posisi tertinggi, rakyat Indonesia, yang seharusnya menjadi tujuan akhir dari segala kebijakan dan keputusan, justru kerap menjadi korban. Pertanyaannya, mengapa perselisihan di antara para elit politik harus dibayar oleh rakyat?
Dalam konteks pemilihan presiden terakhir, kita melihat persaingan tajam antara dua tokoh besar: Jokowi dan Megawati Sukarnoputri. Jokowi, presiden yang telah memimpin Indonesia selama dua periode, dengan dukungan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, melawan kubu Megawati yang mengusung Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Di sisi lain, pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar tampak hanya sebagai pelengkap dalam dinamika politik ini, seolah-olah menjadi kambing hitam dalam perputaran roda politik yang terus berputar tanpa henti.
Namun, kemenangan akhirnya jatuh pada Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, meskipun proses pemilihannya menuai kontroversi. Terlepas dari bagaimana mereka menang, apakah kita pernah berpikir tentang dampak dari persaingan ini bagi rakyat? Mengapa perselisihan antara dua kubu ini harus berujung pada penderitaan rakyat?
Megawati Sukarnoputri, sebagai tokoh besar di partai politik yang pernah menjadi presiden, seharusnya mengingat bahwa kemenangan Jokowi dalam pemilihan presiden 2019 bersama Ma’ruf Amin juga tidak lepas dari dinamika politik yang penuh dengan berbagai spekulasi. Namun, alih-alih menghargai proses demokrasi, hubungan antara Megawati dan Jokowi tampak semakin memburuk dari waktu ke waktu. Hampir setiap pertemuan besar negara, Megawati tidak segan-segan mengolok-olok Jokowi, seakan-akan ingin menegaskan bahwa tanpa jasanya, Jokowi tidak akan bisa berdiri sebagai presiden.
Keadaan ini semakin memanas ketika Jokowi mulai menunjukkan bahwa dirinya bisa berdiri sendiri tanpa dukungan Megawati. Salah satu buktinya adalah upaya Jokowi untuk menempatkan hampir seluruh elemen keluarganya di posisi penting, bahkan hingga jabatan wakil presiden. Tindakan ini jelas menabrak berbagai aturan yang ada. Misalnya, perubahan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian memutuskan bahwa seseorang yang belum berusia 40 tahun bisa maju sebagai calon presiden atau wakil presiden selama memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, dan ini membuka jalan bagi Gibran untuk mendampingi Prabowo Subianto.
Tidak berhenti di situ, hampir saja Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, mendampingi Ahmad Luthfi di Pilkada Jateng, setelah Mahkamah Agung (MA) mengubah ketentuan usia calon gubernur dan wakil gubernur serta bupati dan wali kota. Keputusan ini dianggap sebagai langkah progresif untuk memperkuat demokrasi, namun di sisi lain juga memicu kemarahan publik yang melihatnya sebagai upaya memperluas pengaruh politik keluarga Jokowi.
Di sisi lain, Megawati dan partainya tampaknya tidak tinggal diam. Mereka terus mengkritik Jokowi dengan berbagai cara, bahkan dalam berbagai kesempatan. Hubungan antara dua tokoh besar ini semakin memperlihatkan betapa rapuhnya kesatuan di antara para elit politik kita. Namun, siapa yang sebenarnya menanggung beban dari perselisihan ini? Rakyat.
Rakyat Indonesia kini berada dalam posisi yang serba sulit. Mereka seolah-olah dijadikan pion dalam permainan catur politik yang penuh intrik. Apa yang seharusnya menjadi hak rakyat—yakni, pemimpin yang benar-benar memperjuangkan kesejahteraan mereka—malah tergantikan oleh kepentingan pribadi dan kelompok. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai kesejahteraan bersama kini tampak seperti alat untuk memperkuat posisi kekuasaan dan mengamankan warisan politik.
Solusi untuk mengatasi situasi ini tidaklah mudah. Namun, satu hal yang jelas adalah bahwa rakyat harus mulai menunjukkan ketidakpuasan mereka terhadap situasi politik yang semakin memprihatinkan ini. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan mencoblos kotak kosong sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap para elit politik yang ada. Ini adalah cara rakyat untuk mengatakan bahwa mereka tidak lagi percaya pada sistem politik yang ada, yang lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kesejahteraan rakyat.
Selain itu, rakyat juga harus mulai lebih kritis dan aktif dalam mengawal proses politik di negara ini. Mereka harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil oleh para elit politik benar-benar untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Rakyat juga harus menuntut transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin mereka.
Pada akhirnya, kita semua harus ingat bahwa demokrasi bukan hanya tentang pemilihan pemimpin, tetapi juga tentang memastikan bahwa mereka yang terpilih benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat. Jika para elit politik terus-menerus berselisih dan mengabaikan kepentingan rakyat, maka rakyatlah yang harus mengambil alih dan menunjukkan bahwa mereka tidak akan diam saja. Sudah saatnya kita bergerak bersama, menunjukkan bahwa negara ini adalah milik kita semua, bukan hanya milik segelintir elit politik.
Mungkin, dengan gerakan yang kuat dari rakyat, kita bisa mengubah arah politik Indonesia menuju yang lebih baik. Kita bisa memulai dengan langkah sederhana: menolak untuk menjadi korban dari perselisihan para elit, dan mulai berdiri untuk kepentingan kita sendiri. Sebab, pada akhirnya, kitalah yang harus memastikan bahwa demokrasi benar-benar bekerja untuk kita semua.
Leave a Review