Bercerita tentang pelayanan publik, terutama dalam hal pengurusan administrasi seperti perpanjangan SIM, terkadang kita dihadapkan pada realitas yang menunjukkan adanya disparitas perlakuan. Pengalaman pribadi seseorang dapat menjadi cerminan yang mengekspos ketidakmerataan dalam sistem tersebut. Begitu juga dengan pengalaman yang Yani alami saat mengurus perpanjangan SIM di Satuan Lalu Lintas Babussalam, Aceh Tenggara.
Saat itu, Yani (30 tahun) dengan penuh harap mengajukan permohonan perpanjangan SIM kepada petugas yang bertugas. Namun, tanpa disangka, Yani mendapati bahwa SIM nya telah lewat masa berlakunya pada tanggal 16 Maret yang lalu. Petugas dengan tegas menyatakan bahwa SIM yang telah lewat masa berlakunya tidak dapat diperpanjang dan Yani harus membuat yang baru. Meskipun kecewa, Yani menerima keputusan tersebut dengan lapang dada dan bersedia membuat SIM baru.
Namun, apa yang kemudian Yani saksikan menimbulkan pertanyaan dan kebingungan dalam pikiran Yani. Sesaat setelah Yani, datanglah sepasang suami istri. Suami tersebut mengenakan seragam dinas yang menunjukkan kedudukannya sebagai anggota polisi atau pejabat lainnya. Mereka juga hendak mengurus perpanjangan SIM, namun dengan perbedaan perlakuan yang mencolok.
Sang suami, yang mengenakan seragam dinas, hanya diminta untuk menyerahkan fotokopi KTP tanpa disertai surat keterangan sehat seperti yang diminta kepada Yani. Yani tidak bisa menahan diri untuk bertanya kepada istrinya, yang duduk di sebelah Yani, tentang perbedaan perlakuan tersebut. Jawaban yang diberikan oleh istrinya cukup mengejutkan. Katanya, karena sang suami membutuhkan istirahat, maka petugas hanya meminta KTP asli untuk difotokopi, tanpa perlu surat keterangan sehat.
Kejadian ini membuat Yani merenung, mengapa harus ada perbedaan perlakuan yang begitu mencolok? Apakah karena Yani tidak mengenakan seragam dinas seperti sang suami, sehingga Yani diperlakukan lebih ketat? Ini menjadi pertanyaan yang menggelitik dan menyoroti adanya priviledge yang diberikan kepada orang-orang tertentu dalam pelayanan publik.
Yang menjadi inti dari cerita ini bukanlah sekadar keluhan tentang perlakuan yang tidak adil yang Yani alami, melainkan panggilan untuk adanya kesetaraan dalam pelayanan publik. Pelayanan publik seharusnya tidak memihak kepada golongan tertentu atau mereka yang berada di atas, namun seharusnya merata dan merangkul semua lapisan masyarakat tanpa pandang bulu.
Sebagai bagian dari masyarakat, kami, sebagai warga negara yang sama-sama memenuhi kewajiban, juga berhak mendapatkan pelayanan publik yang sama baiknya. Perlakuan yang berbeda-beda hanya akan menimbulkan ketidakpuasan dan menumbuhkan rasa ketidakpercayaan terhadap lembaga pemerintah.
Oleh karena itu, kami mengajukan suara ini sebagai panggilan kepada pihak-pihak yang berwenang, terutama dalam hal pelayanan publik, untuk lebih memperhatikan prinsip kesetaraan dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Sudah saatnya kita bergerak menuju sistem yang lebih inklusif, yang tidak hanya memudahkan mereka yang memiliki kekuasaan atau kedudukan tertentu, tetapi juga memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil dan setara di mata hukum.
Kita tidak boleh membiarkan disparitas perlakuan terus berlanjut dalam sistem pelayanan publik kita. Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, kita memiliki tanggung jawab untuk menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan dalam semua aspek kehidupan kita, termasuk dalam hal pelayanan publik. Hanya dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan inklusif bagi semua orang.
Leave a Review