Aceh dan Dinamika Politik Nasional: Otonomi atau Konfrontasi?

Oleh: Teuku Rivan Mughayatsyah
Forum Pikee Atjeh

Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, yang diajukan oleh Partai Buruh dan Gelora. MK memutuskan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD

Dalam putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah dari jalur independen/nonpartai/perseorangan.

Selain itu, MK menegaskan bahwa syarat usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan yang bersangkutan sebagai calon kepala daerah oleh KPU Hal ini menjadi pertimbangan MK dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024

Penegasan MK ini berkebalikan dengan tafsir hukum yang dilakukan Mahkamah Agung (MA) belum lama ini. Melalui putusan nomor 24 P/HUM/2024, MA mengubah syarat usia calon dari sebelumnya dihitung dalam Peraturan KPU (PKPU) saat penetapan pasangan calon, menjadi dihitung saat pelantikan calon terpilih. MA menilai bahwa PKPU itu melanggar UU Pilkada.

Dalam menghadapi tantangan yang muncul dari Putusan MK, Aceh memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengatur pemilihan kepala daerah dan memiliki dinamika tersendiri yang membedakannya dari proses pemilihan di wilayah lain di Indonesia. Keistimewaan ini tidak terlepas dari sejarah panjang konflik dan perjanjian damai MoU Helsinki 19 tahun silam yang telah membentuk landasan hukum dan politik di provinsi tersebut.

Berdasarkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Aceh diberikan otonomi khusus untuk mengelola urusannya sendiri, menciptakan sistem pemerintahan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal termasuk dalam penyelenggaraan Pilkada, yang diatur dengan ketat melalui dua qanun penting diantaranya Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2016 tentang Penyelenggara Pemilu dan Qanun Aceh Nomor 12 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota.

Untuk Pilkada Aceh 2024, ambang batas pencalonan kepala daerah masih merujuk pada Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Qanun Pilkada Aceh. Partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki minimal 15% kursi di DPR Aceh atau DPRK, atau 15% dari total suara sah. Ini berarti, partai politik tanpa kursi di DPR masih bisa mengajukan calon asalkan memenuhi syarat suara tersebut. Aturan ini tetap berlaku karena belum ada perubahan atau judicial review. Aceh memiliki fleksibilitas untuk menyesuaikan aturan main dengan konteks sosial dan politiknya secara spesifik mengatur tahapan dan prosedur Pilkada, mulai dari syarat calon hingga proses pemilihan.

Dengan adanya kekhususan dalam penyelenggaraan Pilkada, Aceh harus terus berupaya menjaga keseimbangan antara otonomi daerah dan keselarasan dengan kebijakan nasional. Perubahan dan penyesuaian regulasi di tingkat nasional harus dihadapi dengan cermat agar tidak mengganggu kekhususan yang telah diatur. Hal ini menjadi penting agar Aceh dapat terus menjalankan pemerintahan dengan efektif tanpa kehilangan identitas dan otonominya.

Penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa Aceh memiliki kekhususan yang dijamin oleh undang-undang, termasuk dalam hal pelaksanaan Pilkada. Penundaan Pilkada Aceh dari tahun 2022 ke 2024, untuk mengikuti agenda nasional Pilkada serentak, menimbulkan pertanyaan mendasar tentang posisi dan kekuatan otonomi khusus (Otsus) Aceh. Keputusan ini bukan hanya soal teknis pelaksanaan pemilu, tetapi juga cerminan bagaimana kekhususan Aceh diperlakukan dalam kerangka kebijakan nasional. Apakah otonomi Aceh, yang menjadi simbol dari rekonsiliasi dan penghormatan terhadap identitas lokal, kini sedang berada di ujung tanduk?

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengamanatkan pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh Indonesia pada tahun 2024. Tujuannya adalah untuk menciptakan efisiensi dan sinkronisasi pemilu di seluruh daerah. Dalam kerangka kebijakan nasional, keputusan ini masuk akal. Namun, bagi Aceh, yang memiliki status otonomi khusus berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006), penundaan Pilkada ini memiliki implikasi yang jauh lebih besar. Apakah ini berarti kekhususan Aceh mulai terpinggirkan, atau bahkan melemah hingga diabaikan oleh pemerintah pusat? Keputusan ini mengundang pertanyaan apakah otonomi khusus Aceh masih memiliki kekuatan yang cukup untuk melindungi hak-hak istimewa yang dijanjikan dalam perjanjian Damai Helsinki.

Penundaan Pilkada hingga 2024 bukanlah tanpa konsekuensi. Kekosongan kepemimpinan selama dua tahun yang diisi oleh pejabat sementara (Pj) yang ditunjuk pemerintah pusat dapat mengganggu stabilitas politik dan sosial di Aceh. Hal ini bisa berdampak pada menurunnya partisipasi politik dan meningkatnya ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat melemahkan tatanan politik di Aceh yang sudah berjalan dengan kekhususan. Jika tidak diantisipasi dengan baik, penundaan ini bisa menjadi titik awal dari melemahnya kekhususan Aceh di masa depan.

Refleksi panjang ini mengingatkan kita bahwa penundaan Pilkada Aceh harus dilihat sebagai momen untuk kembali menegaskan komitmen terhadap otonomi khusus. Aceh tidak boleh hanya menjadi pelengkap dalam kebijakan nasional. Kekhususan Aceh harus dipertahankan sebagai bagian integral dari identitas dan kedaulatan daerah ini.

Kita tidak boleh lengah. Penundaan ini mungkin bisa diterima untuk saat ini, tetapi untuk ke depan, Aceh harus berdiri teguh menjaga hak-haknya. Otonomi khusus Aceh adalah jantung dari martabat dan kedaulatan rakyat Aceh. Jangan biarkan ia melemah karena penyesuaian kebijakan nasional yang tidak sepenuhnya memahami kekhususan daerah ini. Aceh harus terus memperjuangkan dan memastikan bahwa kekhususannya tetap kuat dan dihormati, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh seluruh rakyat Indonesia.

Ajakan ini bukan hanya sekadar seruan, tetapi panggilan untuk setiap lapisan masyarakat Aceh agar terus mengawal dan menjaga kekhususan ini. Kesadaran harus terus dipupuk, agar kita tidak terlena oleh kebijakan nasional yang bisa mengikis kekhususan sewaktu-waktu. Mari kita bersama-sama memastikan bahwa Pilkada Aceh tetap mencerminkan kekuatan dan kemandirian kita, tanpa harus terpengaruh oleh kepentingan yang datang dari luar. Jangan biarkan kekhususan ini melemah. Mari bergerak bersama, mengawal dan memperjuangkan, agar Aceh tetap berdiri tegak dengan kekhususan yang dihormati dan diakui oleh semua pihak.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi