Oleh: Syarifuddin Abe
Sebelumnya, saya sudah pernah menulis tentang Humor dan Superioritas, di situ saya menjelaskan apa itu superioritas dan bagaimana superioritas itu dalam ranah humor. Dalam tulisan ini, saya seperti terpanggil untuk menulis kembali tentang superioritas ini dan juga dikaitkan dengan humor.
Tulisan ini berangkat dari kasus yang sedang viral saat ini. Semua mungkin tahu, apa yang terjadi pada Gus Miftah, nama lain dari Miftah Maulana Habiburrahman. Dikenal dengan ceramah penuh guyonan sekaligus sebagai pimpinan Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Yogyakarta. Laki-laki yang lahir di Lampung Timur pada 5 Agustus 1981 itu, kini menjadi salah satu petinggi negara sebagai pejabat Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Gus Miftah juga pernah belajar di sebuah uviversitas Islam di Yogyakarta dan juga orang mengenalnya sebagai dai dan pendawah yang berfokus pada masyarakat marjinal.
Apa hubungan tulisan saya tentang humor ini dengan Gus Miftah? Kenapa juga dengan superioritas? Sebagaimana diketahui, ‘superioritas’ merupakan salah satu teori dalam kajian humor. Teori ini menjelaskan tentang sikap seseorang dalam bentuk mentertawakan sebuah kemalangan atau kekurangan seseorang, berdasarkan sikap kita itu, kita terlalu merasa lebih baik daripada orang yang kita tertawakan. Atau kita sering melemparkan sebuah lelucon dengan menceritakan kekurangan orang lain sehingga membuat orang yang mendengar menjadi tertawa.
Menurut teori superioritas humor, lelucon akan muncul dikarenakan seseorang terlalu merasa lebih dari orang lain, kita seperti merasa asyik mentertawakan kemalangan dan kekurangan yang dialami orang lain, apalagi jika ada unsur bahwa kita merasa lebih dariorang yang ditertawakan, mungkin bagi kita apa yang kita lakukan merupakan hal biasa, atau sudah merupakan candaan yang biasa bagi kita. Tak terlintas dipikiran kita, bagaimana perasaan orang tersebut, apalagi kita melakukan candaan tanpa peduli harga diri seseorang, plus di depan orang banyak. Bagi kita, ketika orang tertawa, kita merasa berhasil, merasa puas, menganggap hal demikian lucu. Namun ketika orang yang kita tertawakan terlihat terpuruk, diam, tanpa reaksi, hal ini juga malah membuat kita semakin bersemangat, apalagi kalau hal yang kita anggap candaan malam semakin menjadi-jadi.
Pernahkah kita mentertawakan orang ketika seseorang terpeleset oleh kulit pisang? Atau ada orang kejedot pintu? Atau ada yang tanpa sengaja tiba-tiba masuk selokan? Di samping kita memandang aneh, apalagi kita merasa tidak pernah terpeleset karena kulit pisang, atau pada saat seseorang terpeleset kita lagi baik-baik saja, atau kita merasa orang yang terpeleset itu lagi sial dan kita mentertawakannya. Tanpa kita sadari, kita terlalu merendahkan sasaran yang kita tertawakan dan sebagai perbandingan, betapa tidak beruntungnya orang itu hari ini. Demikian juga ketika kita mentertawakan orang yang menurut kita berbeda dari kita; boleh jadi di kantor, lagi seminar, lagi rapat dan sebagainya, intinya seseorang boleh saja lagi tidak siap dengan apa yang dialami oleh kelompoknya, sehingga menjadi bahan tertawaan. Orang yang kita tertawakan biasanya akandiam dan menyimpan malu dalam-dalam.
Betapa semangatnya kita mentertawakan orang yang kita anggap lagi sial. Betapa bangga dan merasa lebih baiknya kita mentertawakan orang yang kita anggap lain dari apa yang kita alami (merasa lebih baik). Harus diakui, humor adalah salah satu kebutuhan setiap manusia dan tidak dapat dipisahkan dalam keseharian kehidupan manusia. Orang, tanpa tertawa sehari saja, pasti akan merasa jemu. Humor demikian akrab dengankehidupan manusia dan hal ini juga sangat mudah ditemukan lewat interaksi antar manusia, apakah berupa guyonan santai, lewat sebuah program di televisi, melalui buku atau majalah bacaan. Malah ada yang dengan sengaja ingin bertemu dengan seseorang hanya untuk tertawa saja. Yang pasti, tanpa tertawa, hidup seperti hambar.
Terhadap persoalan Gus Miftah yang secara kontroversial, benar-benar viral dalam beberapa hari ini. Gus Miftah adalah salah seorang pendakwah yang dikenal dengan banyak candaan dalam dakwahnya.Bukan ini saja candaan Gus Miftah, malah sebelumnya selalu dalam setiap ceramahnya beliau membuatcandaan, termasuk yang tiba-tiba muncul candaannya terhadap pesinden senior dari Solo, Ibu Yati Pesek dan menurut berita, sudah dua tahun lebih Ibu Yati Pesek memendam sakit hatinya dari penghinaan itu. Tidak sampai di situ saja, ada beberapa potongan video lainnya beredar, termasuk candaan yang boleh dibilang kasar terhadap istrinya dihadapan sebuah jamaah pengajian.
Kenapa baru sekarang menjadi viral? Dulu tidak ada reaksi apa pun, malah biasa saja, seperti tidak pernah terjadi apa-apa? Masyarakat sendiri menganggap kelakar dan lelucon sebagai sesuatu hal yang biasa. Terhadap hal itu semua, Gus Miftah yang sekarang beda dengan Gus Miftar yang dulu. Gus Miftah yang dulu masih boleh dianggap sebagai salah satu penceramah yang pengaruhnya biasa-biasa saja, tapi Gus Mistah yang sekarang, lain ceritanya. Gus Miftah yang sekarang adalah seorang pejabat publik, sudah menjadi petinggi negara. Merupakan pejabat negara setingkat dengan menteri. Merupakan Utusan Khusus Presiden bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan. Seluruh tingkah dan tindakannya akandinilai masyarakat, sudah menjadi milik masyarakat banyak.
Masalahnya berawal dari candaan yang dilontarkan Gus Miftah kepada salah seorang pedagang es teh dan air mineral pada sebuah acara pengajian, bernama Sunhaji (Kompas, Kamis, 5/12/20124). Berdasarkan kebiasaannya suka memborong dagangan penjual es tehdalam setiap acara pengajian yang dipimpinnya, sontak saja jamaah bertiak meminta Gus Miftah yang lagi ceramah untuk memborong es teh tersebut, tapi yang terjadi justeru sebaliknya. Gus Miftah bukannya membeli, melainkan mencandai pedagang es teh tersebut.
Candaannya menjadi viral, apa yang dilakukan oleh Gus Miftah dianggap oleh masyarakat luas sebagai sebuah tindakan yang kasar dan sangat tidak mendidik bahkan di luar batas-batas kemanusiaan. Di luar kepantasannya dan masyarakat pun bereaksi menganggap kejadian itu di luar batas kewajaran serta tidak pantas karena dilakukan oleh seorang pejabat negara yang sekaligus sebagai dai. Yang seharusnya membimbing dan merangkul masyarakat yang tidak mampu, yang terjadi justru lontaran hinaan yang penuh tawa ngakak. Tawa tersebut juga diikuti oleh orang-orang yang duduk di samping kiri-kanan-belakang Gus Miftah yang notabenenya dianggap sebagai pemuka agama bahkan ulama.
Kejadiannya riskan memang. Awalnya ingin menjadikan pengajian itu penuh keakraban dengan menghadirkan banyolan-banyolan segar. Ceramahnya tidak hanya pengajaran keagamaan saja namun ingin diimbangi dengan canda dan kelakar dengan menyisip humor dan lelucon di dalamnya. Namun humor dan candaan yang dipilih Gus Miftah dianggap keterlaluan dengan mencandai orang-orang yang ada di lingkungan acara pengajian.
Mungkin, awalnya oleh Gus Miftah menganggap biasa saja. Hal-hal yang demikian dapat membuat geer dan jamaah dapat terhibur, ceramahnya juga tidak tegang dan kaku. Tapi keadaannya menjadi lain, ketika potongan video candaan Gus Miftah beredar dan viral, sontak saja sumpah serapah, kecaman dan desakan meminta maaf serta mundur dari jabatan utusan presiden menggema. Tanggapan dan pembelaan saling bersahutan. Caci maki kepada Gus Miftah silih berganti. Mungkin nasi sudah menjadi bubur, terhadap masalah yang menimpa Gus Miftah ini harus menjadi pelajaran, serta harus hati-hati dalam memilih tema ceramah dan lelucon, sehingga tidak membuat tersinggung orang lain, apalagi masyarakat yang notabene dari akar rumput.
Menjadi pejabat publik merupakan rahmat Allah SWT.,yang harus pandai mensyukuri, bukan untuk kesombongan, bukan untuk membangga-banggakan diri, tapi untuk sebuah tanggung jawab dan kemaslahatan masyarakat. Harus berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan dan pendapatnya, pandai-pandai dalam menjaga sikap dan lisannya, terutama terhadap masyarakat, apalagi masyarakat yang kesehariannya berjuang mencari sesuap nasi untuk menghidupi anak, istri bahkan keluarganya. Sebagaimana dijelaskan oleh ‘Aadil bin Muhammad Al-‘Abdul ‘Aali melalui kitabnya Asysyabaabu wal Mizaahu (1993), canda dan tawa merupakan tabiat dan perangai manusia, namun perlu diatur dan harus sesuai dengan tuntunan agama dan tradisi dalam masyarakat.
Canda dan tawa, dalam kitab tersebut dijelaskan ada beberapa faedah, diataranya untuk menghibur diri setelah melakukan beberapa hal yang serius, seperti berpikir atau setelah melakukan pekerjaan. Canda dan tawa harus menjadi bagian untuk dicintai oleh orang lain, harus dapat membuat seseorang berakhlak, lembut, supel serta menjadi senjata untuk menciptakan keakraban dengan orang dan sahabatnya. Demikian juga, dalam canda dan tawa sebaiknya ada nilai-nilai tarbiyah, memiliki pesan. Tidak boleh ada unsur merendahkan apalagi unsur menghina. Canda dan tawa yang tercela adalah yang memiliki kebohongan, demikian juga dengan canda yang kotor, hal ini menjadikan seseorang menjadi tercela. Ketika kita bercanda dan tertawa hendaknya harus mampu menguasai diri, harus mampu mengendalikan ruh-nya dalam lingkaran syara’, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang, seperti harapan Rasulullah Saw; yang sangat menggemari pertengahan saja.
Rasulullah Saw., sendiri bukanlah sosok yang terlalu serius tanpa terkendali, hingga karena Beliau terlalu serius malah menjadikan dirinya tidak terkendali dengan perbuatan dan perkataannya. Akan tetapi, Rasulullah Saw., juga bukan orang yang senantiasa selalu bercanda dan tertawa hingga tidak menguasai dirinya dan hilang wibawanya. Sesungguhnya Rasulullah adalah sosok yang suka bercanda dan tertawa serta serius, yang dengan itu pula membuat para sahabatnya segan, menghormati dan memuliakannya. Beliau adalah sosok yang berada di antara keduanya, ada waktunya serius dan ada waktunya bercanda. Kalau ada orang yang berkesimpulan Rasulullah Saw., adalah sosok yang paling serius, yang tidak pernah bercanda dan tertawa, itu salah. Rasulullah Saw., adalah sosok yang sangat pandai mengelola antara serius, bercanda serta tertawa.
Humor adalah sesuatu yang digemari manusia, namun demikian perlu mengolahnya dengan benar, sehingga tidak kelewatan dan tidak menyakitkan bagi orang yang menjadi objek humor. Harus mampu menjaga wibawa dirinya serta menjaga juga kehormatan dan harga diri orang yang menjadi objek humor. Humor yang merendahkan orang lain merupakan humor yang hanya mementingkan dirinya, bahkan merasa hebat dan kuat untuk mentertawakan orang lain, bisa-bisa akanmenganggab orang lain rendah dan menjadi tidak berdaya. Untuk itulah, Plato yang merupakan filsuf Yunani sangat merasa jijik terhadap humor. Bagi Plato, humor itu jahat, kejam malah menyakitkan, baginya humor salah satu bentuk dari cemo’ohan.
Humor bagi Plato, secara umum adalah sesuatu yangkonyol dan merupakan suatu jenis kejahatan tertentu.Secara khusus, sifat buruk yang ditimbulkan oleh humor itu sendiri, yaitu kegemaran mentertawakan orang lain. Secara lebih khusus, humor merupakan ketidaktahuan seseorang akan dirinya, orang-orang yang mentertawakan orang lain, mereka membayangkan dirinya sebagai orang yang kuat, merasa kaya, merasa lebih tampan bahkan merasa diri mereka lebih berbudi luhur daripada orang yang mereka tertawakan. Oleh karenanya, menurut Plato, dengan mentertawakan mereka, kita telah menikmati sesuatu yang jahat, menjadi orang yang tidak tahu diri dan bahkan sifat dengki pada diri yang mentertawakan orang merupakan sifat yang tidak dapat diterima secara moral.
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengutip pendapat Abdurrahman Wahid alias Gus Dus (1940-2009), mantan Presiden Republik Indonesia ke-4 dan mantan Ketua PBNU. Gus Dur merupakan orang yang menyukai humor, sangat akrab dengan humor, malah kerap menjadikan sosok dirinya sebagai contoh humor(Kompas, Kamis, 5/12/20124). Gus Dur selalu mau merendah hati dengan menelanjangi kelemahan dan kekurangan dirinya. Gus Dur sendiri melakukan hal yang demikian nyaris tanpa reservoir. Karena arah dan tujuan humor adalah dirinya sendiri, hal ini juga yang membuat orang-orang menjadi simpati pada dirinya. Itulah sebabnya, Gus Dur paham betul bagaimana memposisikan humor, sehingga humor tidak menjadi bulan-bulanan terhadap orang lain.
Menurut Gus Dur, humor terbaik adalah mentertawakan diri sendiri, humor terburuk adalah mentertawakan mereka yang dhaif, lemah dan tak berkuasa. Memanusiakan manusia berarti memuliakan penciptanya, sedangkan merendahkan dan menistakan manusia, berarti merendahkan dan menistakan penciptanya. Demikian juga suatu ketika yang dilakukan oleh Socrates, ia terkenal memiliki wajah yang jelek. Suatu hari berseru kepada sekelompok orang, Socrates mengakui bahwa dirinyalah merupakan pria yang paling menarik di Athena saat itu. Hal itu oleh siapa saja pada waktu itu menganggap sebagai sebuah lelucon, tentunya semua orang tertawa dan mencibirnya, namun demikian tidak ada suatu pernyataan ‘superioritas’ yang jelas pada pernyataan Socrates itu, Socrates seperti mentertawakan dirinya sendiri. Hal ini juga menunjukkan, bagi sebagian besar pakar humor, bahwa teori superioritas selalu tidak tepat sasaran. Bagaimanapun, terkadang sesuatu menjadi lucu tanpa disebabkan oleh superioritas, dan beberapa perasaan superioritas tidak menjadikan sesuatu menjadi lucu.
Wallaahu’aklam.
Leave a Review