RUU Penyiaran 2024; Upaya Mengebiri Kebebasan Pers

KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Editorial 18 Mei 2024

Dunia pers Indonesia dikejutkan dengan adanya pasal aneh yang sengaja diseludupkan ke dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran Pers 2024. Berbagai penolakan  RUU tersebut terus mengalir dari insan pers agar pembahasan pasal-pasal aneh tersebut mesti ditunda dan tidak disahkan. Namun demikian, semakin hari arah kekuasaan saat ini tidak searah dengan cita-cita pers sesuai UU No. 40/1999 tentang Pers, sebab kebebasan pers adalah syarat mutlak dalam melahirkan produk jurnalisme berkualitas.

Adapun di antara pasal aneh tersebut adalah Pasal A Ayat (1) Huruf q, berbunyi”KPI dalam menjalankan tugas sebagaimana Pasal 8 Ayat (1), berwenang “q. menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran “. Kemudian, Pasal 15 Ayat (1) UU pers menyatakan “Dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, dibentukklan Dewan Pers nasional” sehingga Dewan Pers tidak diposisikan sebagai penasehat layaknya di masa orde baru. Juga Pasal 50B Ayat (2) huruf c. terkait larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Sehingga kehadiran pasal aneh ini lagi-lagi bertentangan dengan UU Pers No.40/1990 sebagai ciri khas kebebebasan berekspresi pasca runtuhnya orde baru. UU Pers tersebut telah jelas menetapkan “terhadap Pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Mencermati adanya upaya untuk mengebiri dasar hukum terkait produk pers ini secara tidak langsung penguasa masih mewaspadai manuver dari gerakan pers, terutama dalam hal menyiarkan produk jurnalistik investigasi yang belakangan ini sering membocorkan niat, akal bulus hingga rencana buas dari pejabat nagara setingkat menteri.

Meskipun dunia pers hari ini telah babak belur dengan mendominasinya praktik atau bias kecederungan isu orderan politik pemodal, namun upaya menggebuk pers tidak saja sampai di sini saja, upaya mengendalikan pers secara legal pun tak memundurkan semangat penguasa untuk melemahkan fungsi pers sebagai pilar ke empat dalam penguatan demokrasi di Indonesia.

Hari ini, prospek pasal aneh atau pasal kontroversial tersebut menandakan adanya benturan fungsi antara Dewan Pers dengan KPI telah di depan mata. Dua ruang pintu dalam penyelesaian pers tentunya tidak efektif, jika tidak sesuai dengan keputusan Dewan Pers, maka berpeluang sesuai dengan KPI, demikian sebaliknya.

Meskipun daya taring dan sengat Dewan Pers masa kini belum begitu prestisius dalam meyelesaikan konflik pers yang diakibatkan dari konten-konten publikasi media pers yang berada di ketek kekuasaan, namun demikian paling tidak dengan menolak pengesahan pasal-pasal aneh dari RUU Penyiran Tahun 2024 masih membuka harapan legal untuk tetap menjaga kualitas jurnalisme di tanah air.

Ini artinya, tantangan Dewan Pers tentunya tidak mudah, ketika mengharapkan dukungan kekuatan dari penguasa atau pemerintah pusat tentu akan terus membuka dominasi intervensi terhadap Dewan Pers sendiri. Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi Dewan Pers selaian mengharapkan dukungan publik atau lembaga-lembaga pers yang masih peduli terhadap nasib keselamatan bangsa dan negara dari upaya penyalahgunaan kekuasaan. Ditambah lagi dengan realitas politik kekinian seolah-olah mejadi bagian dari penguasa adalah identik dengan tren permainan penyalahgunaan kekuasaan dan mempermainkan aspirasi rakyat.

Terlebih soal adanya larangan terkait jurnalistik investigasi, padahal karya juralistik investigasi yang disiarkan adalah unjung tombak dari produk pers yang dapat menyelamatkan negara dari kerugian negara yang diakibatkan oleh penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya.

Memang, sejarah pers di Indonesia telah memberi pembelajaran kepada kita bahwa tidak selamanya pers dan penguasa itu dapat hidup akur berdampingan, ada kalanya penguasa dan pers mengalami benturan ketika penguasa dalam menjalankan roda pemerintahan atau amanat rakyat tidak sesuai dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Kini, suka atau tidak, demokrasi telah dikorupsi, demikian halnya dengan kerja-kerja jurnalistik yang terus dikebiri sehingga melemahkan fungsinya dalam memberikan kontrol kekuasaan berbasis kinerja pers.

Jika sektor strategis dari pers nasional telah dimatikan peran dan fungsinya secara konstitusi, apakah kekuasaan dapat dikontrol oleh rakyat seiring perwakilan rakyat terus memberikan tanda-tanda pengkhiatan bertubi-tubi terhadap rakyat? Sungguh dengan upaya pengebirian pers melalui draf RUU Penyiaran 2024 dapat membahagiakan pengusa dan mengancam keselamatan rakyat di dihadapan besi keropos yang bernama kebebabasan pers hari ini. [zulfata]

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi