Oleh: Sartika Rahayu
(Jurnalis Warga Banda Aceh)
Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi kompleksitas hubungan antara ambisi politik dan ekologi, terutama dalam konteks pohon-pohon yang terabaikan. Sebagai saksi bisu, mereka seolah menggambarkan narasi tragis dimana keinginan untuk kekuasaan telah menenggalamkan kebutuhan alam.
Melalui telaah mendalam, kita akan meresapi betapa ambisi politik hari ini sehingga dapat menjadi bencana yang tak terlihat, merayap diantara daun-daun yang gugur dan akar-akar yang mencari keadilan yang terpendam. Tulisan ini mencoba mengesplorasi kompleksitas emosi yang melibatkan hubungan antara manusia dan alam, mengajukan pertanyaan kritis tentang bagaimana kita memandang keberlanjutan dan tanggung jawab politik terhadap lingkungan.
Tentang pohon-pohon yang tersakiti oleh calon legislatif diatas kepentingan politiknya hari ini, melalui lapisan narasi dan analisis, kita diundang untuk merenung tentang tanggung jawab kolektif kita terhadap keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem ditengah arus ambisi dan kekuasan politik. Beberapa fenomena perusakan lingkungan yang sedang kita saksikan bersama, alat peraga kampanye (APK) politik yang ditancapkan di pohon-pohon tanpa adanya rasa bersalah, apakah hari ini kita memikirkan betapa mereka merasa ketika spanduk-spanduk kampanye melilit kuat pada batang mereka? Padahal jelas sudah adanya aturan khusus terkait penggunaan bahan kampanye atau alat peraga kampanye, bahkan ada regulasi yang mengatur tentang penempatan APK ini.
Sebagaimana yang tertuang dalam pasal 70 dan 71 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu. Pada pasal 71 disebutkan tempat umum yang dilarang ditempelkan bahan kampanye yakni, tempat ibadah, rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan, tempat pendidikan, gedung atau fasilitas milik pemerintah, jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana publik dan/atau taman dan pepohonan.
Maka hal ini dapat mengundang hati nurani dan pikiran jernih kita dalam mempertimbangkan kelayakan seorang calon pemimpin yang perduli atau tidak terhadap pentingnya menjaga lingkungan. Tulisan ini mencoba merentangkan makna dibalik tindakan sederhana tersebut, menyoroti ketidakpedulian terhadap ekologi yang sering kali dilupakan dalam gejolak kampanye. Mari kita refleksikan apakah tindakan sekecil ini mencerminkan sikap yang dapat diandalkan dari calon pemimpin, dan sejauh mana kita sebagai pemilih dapat menilai integritas dan tanggung jawab para calon legislatif terhadap lingkungan.
Tragedi yang terjadi dibalik ambisi politik tercermin dalam narasi pohon-pohon yang terlupakan. Sementara para calon mengejar kekuasaan, dan lingkungan menjadi imbas atas kerusakannya. Seharusnya kita bertanya, apakah kita bisa menerima pencalonan yang merusak ekosistem demi kepentingan politik? Sepertinya kita perlu mengevaluasi ulang nilai politik yang tidak sejalan dengan keberlanjutan alam dan mempertanyakan sejauh mana tanggung jawab politisi terhadap lingkungan. Kita menginginkan antara politik dan alam dapat beriringan.
Hingga pada akhirnya, mari kita melibatkan diri dalam perenungan mendalam. Tindakan sepele seperti menancapkan spanduk kampanye di phon menggambarkan lebih dari sekedar pelanggaran fisik terhadap alam. Hal itu menciptakan bekas yang lebih dalam, merajut narasi tentang keserakahan dan kurangnya kepekaan terhadap lingkungan.
Mari kita bawa refleksi ini dalam hati kita. Setiap pohon yang meratap adalah panggilan untuk menjaga keberlanjutan dan keadilan dalam setiap langkah kita. Memilih pemimpin yang menghargai lingkungan adalah langkah pertama menuju masa depan yang lebih hijau. Kita, sebagai masyarakat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap langka politik menciptakan jejak yang memberikan kehidupan, bukan merampasnya.
Mari kita hentikan sejenak dan dengarkan bisikan angin yang meniup lembut melalui daun-daun yang gugur. Mungkin, diantara suara hiruk pikuk kampanye, kita bisa merasakan denyut lembut kehidupan yang terselip dibalik ambisi. Pohon-pohon ini adalah penjaga setia yang menyaksikan kelahiran atau kejatuhan setiap penguasa. Mungkin, dengan lebih banyak kebijakan politik, kita dapat menciptakan narasi yang lebih harmonis antara aspirasi manusia dan kebutuhan politik.
Semoga menjaga kelestarian lingkungan menjadi renungan kita semua.
Leave a Review