Perihal Politik Mahasiswa 2024

Foto: Mahasiswa baru yang sedang menjalani kegiatan ospek di ITB. (Akun Instagram oskm.itb)

Editorial 06 Januari 2024

Tidak bisa dipungkiri, mahasiswa merupakan aset bangsa dan negara. Sejarah bangsa ini pun berserakan membenarkan fakta terkait bagaimana mahasiswa diakomodir mampu merubah postur kekuasaan dalam negara maupun luar negara. Jauh sebelum Indonesia mengenal bonus demografi, gen-Z dan berbagai rupa tentang mahasiswa, yang jelas ada tangan-tangan tak terlihat yang berpengaruh membidik mahasiswa.

Sanking berpengaruhya mahasiswa, Presiden Soeharto pada masanya memberlakukan apa yang disebut sebagai (politik) normalisasi kehidupa kampus guna menjadikan kekuatan mahasiswa untuk berkontribusi dalam menciptakan stabilitas politik negara. Meskipun ada ribuan bahkan jutaan mahasiswa hari ini tidak kenal (tidak paham) apa yang dimaksud dengan kebijakan normalisasi kehidupan kampus tersebut, yang jelas ekosistem mahasiswa akan selalu menjadi ruang tarung terjun bebas. Mahasiswa yang dilirik bukan saja karena cirinya sebagai sedang mencari jadi diri, tetapi juga proses pembetukan cara pikir dan karakter juang pada dirinya masih gegap gempita dengan tidak menyebutnya rentan kepolosan berpolitik.

Kini, tepatnya momentum politik 2024, setelah pilkada serentak dikobarkan, setelah Presidential Threshold (PT) terus diincar partai politik, setelah mahasiswa terkonsolidasikan menjadi ranting-ranting partai politik, setelah mahasiswa berada dalam pusaran badai politik nasional dan daerah, mahasiswa cukup signifikan mempengaruhi suara kemenangan politik di Indonesia. Lebih dari 46% suara generasi muda sedang diperebutkan dalam kontestasi pemilu 2024. Secara politik penggalangan masa kini, dalam konteks tertentu mahasiswa telah terkendalikan oleh poros tertentu (terutama dalam kancah politik nasional).

Mahasiswa tidak dapat lagi dilihat dari kacamata kuda, melainkan mahasiswa mesti dilihat secara holistik, termasuk ditelusuri dari simpul-simpul politik teretntu. Dalam ciri kerentanan latah dalam berpolitik, mahasiswa mesti terus digodok dengan memberikan pencerahan politik secara sadar, sehingga ia tidak menjadi seperti bebek dalam terminologi sotoloyonya Soekarno.

Memang menjadi mahasiswa tidak begitu lama meskipun ada mahasiswa yang nyaman menjadi apa yang disebut sebagai “mahasiwa abadi”. Namun demikian, transformasi pendidikan politik mahasiswa mengharuskan dirinya paham terkait momentum kehidupan nyata. Artinya, saat menjadi mahasiswa, sadar atau tidak ia mesti menemukan bahwa bergelut dalam dunia kampus adalah minianur dinamika negara. Sehingga mahasiswa mesti mampu memposisikan dirinya bukan sebagai aktor politik, melainkan sebagai trigger politik.

Mitos bahwa intelektual kampus yang dianggap mampu menjadi pusaran bisikan kekuasaan mesti terus dibongkar. Kesadaran semu intelektualitas kaum kampus mesti cepat “dislepet” untuk dihadapkan ke gelanggaang dunia nyata terkait betapa derasnya arus kekuasaan korporasi politik yang semakin menggurita dari masa ke masa. Demikian halnya dengan peta jalan mengelola mahasiswa mesti tidak boleh didasari apa yang digalangkan dalam internal kampus, melainkan mahasiswa mesti dikiblatkan kea rah problem dunia nyata; yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Bukan sebaliknya, dipaksakan untuk memaklumi mitos kemerdekaan politik mahasiswa dalam kungkungan keilmuan yang sempit dan tak sesuai konteks zaman.

Untuk itu, memberikan perangkat pikir dan kesadaran bagi mahasiwa untul lebih kreatif, visioner serta militan dalam menentukan sikap adalah sebuah upaya yang mendesak agar panggung politik mahasiswa di Indonesia semakin sengit dan mencerahkan. Meski politik mahasiwa tidak pernah menjadi corong kekuasaan, namun harapan untuk menjadikan mahasiwa sebagai motor penggerak perubahan merupakan sebuah keniscayaan politik.

Adanya praksis yang melarang mahasiswa berpolitik dalam makna yang sempit adalah sebuah hal yang amat naif dengan tidak menyebutnya men-jijik-kan. Justru memberikan pendidikan dan kesadaran porsi politik mahasiswa adalah sebuah kewajiban pendidikan tinggi yang sejatinya. Mahasiswa tidak perlu diajarkan tentang teratur atau tertib jika perangkat berpikir secara sehat dalam menentukan masa depannya (juga daerah dan negaranya) semakin terarah. Mahasiswa juga tidak perlu ditakuti saat ia terus-terusan diberi materi politik. Justru jika mahasiswa terus-terusan menjadi buta politik, maka ia akan selalu menjadi benalu bangsa ini dalam menciptakan poros kekuatan yang mengarah pada politik untuk kesejahteraan, bukan politik pembodohan. Tri Dharma Perguruan Tinggi tidak boleh dikerdilkan geraknya oleh sistem internal sendiri, justru harus diledakkan dan dikelola untuk menjawab tantangan yang dialami rakyat di sekitar kehidupan mahasiswa.

Akhirnya, bagi yang mengaku dirinya mahasiwa mesti sadar bahwa dirinya tak boleh selalu terombang-ambing di atas buih yang diciptakan gelombang sebagai akibat dari angin atau badai yang menerpa kehidupannya. Sadar atau tidak, mahasiswa mesti mampu menemukan jalannya sendiri untuk membekali diri dan dibekali agar tidak menjadi benalu-benalu kebangsaan di republik ini. (zf)

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi