Oleh Zulfata
CEO Media Katacyber.com
Rakyat cenderung menjadi objek dalam lintasan portal politik, apapun namanya; kerajaan, otoritarian maupun demokrasi. Dalam catatan sejarah politik Indonesia memang ada berapa titik peristiwa ketika rakyat pernah menjadi subjek kekuasaan, hal ini dibuktikan ketika itu rakyat mampu mendesak kehendak elite untuk menyatakan sikap politik kerakyatannya. Namun, hal ini telah sekedar ulasan sejarah detik-detik menjelang kemerdekaan Republik Indonesia.
Memang, untuk menghadirkan situasi dan kondisi rakyat sebagai subjek kekuasaan mesti menyicil berbagai pengorbanan kolektif. Artinya rasa kekompakan dalam memperjuangkan aspirasi dan kehendak rakyat itu membutuhkan komitmen rakyat yang tidak luntur oleh intervensi dan godaan jabatan-kekayaan apapun. Secara sosiologis pula komitmen kerakyatan sedemikian semakin hari semakin tidak memungkinkan ada. Pada posisi ini, rakyat telah terjebak, tersungkur dalam pelukan penguasa yang tidak lagi serius memperjuangkan hak-hak kerakyatan secara massif. Liberalisasi bahkan brutalisasi politik telah merenggut hak-hak kerakyatan tersebut. Sehingga bukan kedaulatan rakyat yang semakin menguat, justru mengelabui rakyat yang terus dirawat.
Apakah rakyat hari ini tidak mengetahui hal tersebut sedang dialaminya? Jawabannya tentu rakyat sadar, namun tidak bisa berbuat lebih. Sebab, perangkat bahkan instrumen negara cenderung digunakan oleh untuk menekan kedaulatan rakyat secara laten; target perencanaan undang-undang mengalami tren negatif pada kebutuhan rakyat, pengawasan anggaran dan menyusun anggaran mengalami ketumpulan pada kepentingan rakyat, hingga melaksanakan cita-cita proklamasi kemerdekaan hanya sekedar ajang politik populisme para penguasa.
Kekuatan politik elite mengalami penyuburan dengan ditandai dengan berbagai fenomena politik ekonomi, proyek-proyek besar yang digarap hanya mentereng bagi investor dan elite, tapi sulit menetes ke bawah. Rakyat sebagai pihak pemegang mandat awal bagi penguasa hanya bisa menonton sembari dikelabui, pada akhirnya rakyat tertunda dari hari ke hari. Rakyat menjerit, politik konstitusi parlemen dan visi penerintah tak mampu menjawab secara jujur atas apa yang terjadi pada rakyat.
Rakyat berkubang di dalam praktik manipulatif lintas sektoral. Dimanipulasi atas tren inflasi, virus, pendidikan, hukum, hingga persoalan skenario tong kosong, tanpa disadari padahal semual itu hanyalah pasar gelap yang disajikan kepada rakyat, dan rakyat dipaksa harus menyantap dengan lahap terkait sajian-sajian kebijakan yang ditelurkan oleh penguasa.
Akhirnya, kapan upaya upaya mengelabui rakyat tersebut berhenti di tengah arus brutalisasi politik semakin menga-nga di Indonesia. Koruptor-koruptor jebol menjadi pemimpin di berbagai daerah-pelosok Nusantara. Sistem demokrasi kekinian tampak lebih multi dampak kebrobrokan massal bagi masa depan negara; menggandakan otoritarian dan praktik oligopoli dari Sabang sampai Meurauke. Lantas, haruskah kita menoleh ke belakang, berdamai dengan sejarah, menempuh pilihan antara yang buruk-mungkin meminimalisir kesengsaraan rakyat dengan pilihan yang bermodus demokratis namun menghadirkan brutalisasi politik di setiap pelosok negeri.
Merefleksikan hal tersebut, haruskah kita kembali pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang ingin dijadikan pahlawan nasional hari ini? Jika tidak setuju, adakah celah pencerahan untuk mengendalikan politik brutal melebihi masa orde baru seperti yang terjadi hari ini?
Leave a Review