Oleh: Marwan
Mahasiswa Hukum UBB/Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat UBB
Pangkalpinang, Rabu/05-Juni-2024
Sebuah dinamika dalam proses peralihan hak waris menjadi beberapa perdebatan dikalangan masyarakat awam. Pada hakikatnya memang menafsirkan atau menerjemahkan hukum positif bukan bidangnya masyarakat. Secara garis besarnya, stigma yang terbangun dikalangan masyarakat seringkali membudaya (menjadi kultur) yang sifatnya turun temurun.
Paradigma (cara pandang) masyarakat terdahulu tentang waris mewaris, saat ini dijadikan referensi atau acuan bagi masyarakat dalam praktik pewarisan. Namun saat ini kita melihat bahwa hal semacam ini justru menjadi pemicu konflik atau perkara hukum selanjutnya. Sebab praktik semacam ini justru menjadi dilema hukum bagi masyarakat itu sendiri.
Beberapa hal yang masih menjadi dilema dikalangan masyarakat adalah hak waris bagi anak angkat. Sebab kita memandangan terdapat perbedaan ketentuan yang diatur dalam hukum positif, hukum islam dan hukum adat. Dalam pandangan hukum yang berkembang saat ini, bahwa hak waris mewarisi sudah tertuang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Baik dalam hukum positif maupun dalam perspektif hukum Islam.
Secara normatifnya, Perihal praktik mengenai hak dan kewajiban terkait hukum waris telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) atau dalam bahasa belandanya dikenal dengan istilah Bugerlijk Wetboek. Peraturan ini menjadi dasar atau ketentuan umum dalam menganalisis suatu perbuatan yang termasuk dalam sengketa keperdataan. Kemudian dalam proses penyelesaian sengketa keperdataan pada umumnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPer). Kemudian dalam perspektif hukum islam, tentunya proses waris mewaris ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Ketika penulis terjemahkan, bahwa mengangkat anak angkat dalam perspektif hukum Islam dilakukan dengan tujuan untuk memindahkan kewajiban mengasuh dan mendidik (yang dimaksud dengan mengasuh dan mendidik ini ialah perihal menggantikan kewajiban orang tua kandungnya untuk membiayai pendidikan, memberikan nafkah untuk kebutuhan perkembangan anak dan memberikan kasih sayang layaknya orang tua kandung). Namun dengan satu kutipan yang menjadi batasan, yakni tidak dengan menghilangkan Nasab anak tersebut dengan orang tua kandungnya.
Dalam perspektif Kompilasi Hukum Islam/KHI, dalam pasal 209 menegaskan bahwa dalam proses pengangkatan anak hanya memindahkan kesejahteraan anak tanpa memutuskan Nasab anak dengan orang tua kandungnya. Kemudian seorang anak tentunya tidak dapat menjalin pewarisan dengan orang tua angkatnya begitu juga sebaliknya. Anak angkat hanya dapat menjalin pewarisan dengan orang tua kandungnya.
Dalam hukum islam sendiri memuat ketentuan bahwa hanya untuk orang yang ada dalam
hubungan keturunan, darah serta pernikahan yang bisa dikelompokkan dalam ahli waris. Namun dalam KHI menguraikan bahwa ada yang namanya Wasiat Wajibah bagi anak angkat.
Wasiat wajibah ini merupakan suatu wasiat yang diperuntukkan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara. Dalam wasiat Wajibah ini maka seorang ahli waris yang merupakan anak angkat dapat diberikan wasiat untuk menerima harta warisan dari pewaris dengan ketentuan tidak melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta pewaris.
Namun dalam paradigma hukum perdata (hukum positif) menyatakan bahwa seorang anak yang diasopsi mempunyai hak warisnya sesuai dengan hak anak kandungnya, sesuai dengan Staats Blad 1917 No. 38 pasal 12 menjelaskan anak memiliki kedudukannya sama pada anak kandung umumnya, dalam adopsi anak dinilai melakukan penyamaan pada posisi anak angkat dan yang kandung, baik merawat ataupun warisan yang diperoleh.
Dalam beberapa ketentuan mengenai hak waris mewaris dalam hukum perdata dan hukum Islam terdapat perbedaan. Sehingga penulis memiliki sudut pandang bahwa pada dasarnya hal ini akan menjadi kewenangan pengadilan baik itu pengadilan agama ataupun pengadilan negeri dalam mengadili suatu perkara tersebut. Sederhananya sengketa waris terhadap anak angkat yang akan diadili dipengadilan negeri tentunya mengacu pada ketentuan hukum perdata (KUHPer), sedangkan penyelesaian sengketa waris mengenai hak waris anak angkat akan mengacu pada aturan yang mengarah pada ketentuan hukum islam (Kompilasi Hukum Islam/KHI).
Namun perbedaan ini masih menjadi dilema penegakan hukum dalam konteks kepastian hukum. Sehingga perlunya ada ketentuan hukum yang pasti terkait dengan hak dan kewajiban dalam pewarisan terhadap anak angkat. Kalau penulis berpandangan bahwa pentingnya aturan khusus untuk perihal pengaturan pewarisan yang mengadopsi ketentuan-ketentuan hukum Islam, hukum adat dan hukum positif. Sehingga menjadi dasar hukum khusus (Lex Specialis) dalam aspek hukum waris.
Leave a Review