Perkembangan demokrasi politik modern menjadi semakin menarik untuk dikaji, dianalisis secara keilmuan ditengah kondisi politik yang semakin kisruh, sengkarut, kacau-balau dan semrawut. Dalam aktivitas demokrasi moden bangsa dan negara pasca reformasi 1998, ternyata menbjadikan negara dibawah genggaman dan cengkeraman oligarki yang bersembunyi serta berlindung serta memanfaatkan pemangku kekuasaan politik untuk memenuhi keinginan serta kepentingan politik para oligarki. Ini dilakukan agar kekuasaan oligarki dengan memanfaatkan penguasa politik dengan kemampuan, kelicikan dan kapasitas politik dengan konspirasi jahat menjadi peluang besar untuk menguasai serta menipu rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan kekuasaan politik tertinggi negara. Sehingga cara yang paling efektif dilakukan merusak dan menghancurkan demokrasi dengan menghalalkan segala cara, agar kekuasaan politik demokrasi rakyat menjadi rusak dan hancur melalui konstitusi tidak konsisten dengan aturan hukum yang sebenarnya.
Dalam pemahaman demokrasi politik, bahwasanya Robert Dahl (1971) bahwa semakin tinggi tingkat sosial ekonomi suatu negara, akan semakin mungkin negara tersebut menjadi demokratis. Demikian pula Lipset (1969) analisis klasiknya bahwa, demokrasi hanya bisa berkembang baik apabila ditopang oleh warga yang berpendidikan memadai, serta kelas menengah kuat dan independen, dengan bertolak pada tesis yakni, semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin yakin dengan kedalaman nilai demokrasi mendukung praktek demokrasi.
Dengan demikian, demokrasi diasumsikan sebagai alat untuk menuju pencapaian pertumbuhan ekonomi, maka melalui pendidikan tinggi, juga dilakukan pengetasan dan kemiskinan, kemudian mengurai berusaha konflik sosial, menghilangkan kesenjangan antara pemerintah yang berkuasa secara politik dan rakyat yang diperintah dan lain sebagainya. Dengan demokrasi sebagai jalan menuju kearah kekadilan dan kesetaraan, juga lebih memudahkan menuju tujuan kepentingan rakyat, karena banyaknya akses untuk menuju pencapain tersebut. Ini semua dapat diraih dengan cara dan jalan demokrasi politik yang baik dan benar sesuai dengan konstitusi serta aturan hukum, juga menjunjung tinggi etika-moral sebagai usaha yang prinsipil dalam demokrasi politik.
Karena itu, kekuasaan politik melalui jalan demokrasi menjadi menarik untuk dikaji, jika hanya sekedar memanfaatkan ruang dan jargon demokrasi sebagai usaha mendapatkan kekuasaan. Hal mana menurut menurut Philippe C Schmitter dan Terry Lynn Karl (1991), demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan di mana warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dari wakil-wakil yang mereka pilih, bertanggung jawab atas tindakan mereka di ruang publik. Sehingga yang diinginkan adalah hak dan kebebasan individu untruk mengemukakan pendapat serta memilih, melakukan pilihan secara kompetitif pada ruang demokrasi dan bekerjasama terhadap pilihan wakil-wakilnya dan kekuasaan politik.
Namun demikian, pilhan mereka juga memiliki Kerjasama dengan kelompok dan pihak tertentu mampu mengatur, menetapkan serta mempengaruhi kebijakan serta keputusan politiknya. Sehingga sangat mendominasi kehidupan politik serta keuangan serta anggaran yang diperlukan para wakil-wakil yang memperoleh serta merebut kursi kekuasaan politik, karenanya sistem demokrasi politik juga menjadi hasrat, keinginan dan target-target politik yang dinginkan ikut mempengaruhi kehidupan masyarakat luas. Sehingga keputusan serta kebijakan politik yang krusial, penting dan memenuhi kepentingan politik rakyat juga dikuasai bersama, bahkan para politisi yang memiliki keiuasaan politik juga menjadi cuan mereka dalam konteks politik “patron and client” kondisi patriarki, demokrasi yang dibangun spara atau semi demokrasi dipengaruhi oleh para oligarki ekonomi dan politik.
Dalam hal ini para oligarki menguasai para pemangku kekuasaan politik, pengambil kebijakan serta keputusan-keputusan penting politik serta sumber daya alam (resources) sebagai modal ekonomi, ini juga sebagai penunjang kapitalisasi politik para pemegang serta pemangku kekuasaan dibawah bayang-bayang juga cengkeraman kekuasaan para oligarki ekonomi dan politik. Karenanya pemahaman keiasaan oligarki ini menurut Achmad Fachrudin (2002) yaitu, tingginya biaya politik dan ketergantungan pada donatur swasta dan oligarki menciptakan berbagai permasalahan, termasuk rendahnya dukungan finansial dari kelompok akar rumput kepada politisi, maraknya pembiayaan gelap, dan ketidaksetaraan akses terhadap sumber pembiayaan. Kemudian hal ini menjadikannya terhadap kekuasaan politik yang dimiliki adalah, modal utama, yang mana termasuk modal ekonomi, menjadi krusial dalam kontestasi pemilu, menciptakan relasi kekuasaan antara penguasa dengan oligarki.
Selanjutnya pernyataan ini selaras dengan, Edward Aspinall dan Ward Berenschot (2019) yaitu, oligarki tidak hanya memainkan peran sebagai pengguna kebijakan publik melalui negara sebagai perantara, tetapi juga secara langsung memimpin partai, membentuk koalisi pemerintahan, dan menentukan jabatan publik. Hal ini juga menguasai bahkan didukung dalam konteks pembentukan undang-undang, dampak oligarki tercermin dalam beberapa peraturan hukum yang lahir secara kilat yang cenderung menguntungkan kelompok tertentu dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Demikian juga, mampu memutar balikkan serta merubah aturan hukum, undang-undang serta konstitusi hukum yang telah ditetapkan sebelum,nya untuk memnguntungkan kekuasaan politik dibawah kekuasaan oligarki, juga merusak pondasi hukum dan demokrasi yang sudah dibangun, ditetapkan serta menghancurkan etika-moral secara keseluruhan terutama para pemimpin kekuasaan politik demi kepentingannya (political will).
Sehingga kekuasaan politik demokrasi dari para pemimpin eksekutif dan legislatif sebagai pilihan rakyat dan representasi sebagai wakil-wakil rakyat terhadap kekuasaan politik, benar-benar berada dan atau dibawah kendali para oligarki, maka pemimpin kekuasaan politik hanya simbol berbalut demokrasi semu yang dikendalikan oleh para oligarki. Menurut Robert Michels (1984) yaitu, negara sebagai komite yang hanya menyelenggarakan kepentingan borjuasi diambil sebagai dasar oligarki, yang merupakan para pemodal, menggunakan negara sebagai perantara saat mereka ingin terlibat dalam kebijakan publik, juga oligarki menguatkan dimensi kapitalistik dalam politik dan negara, dengan menginvasi, menaklukkan, dan mengubah dunia politik menjadi dunia bisnis. Karena itu, dalam kajian Mietzner (2014), peran finansial oligarki dalam politik Indonesia menjadi sorotan, menunjukkan bahwa politisi sering kali terjerat dalam jaringan kepentingan yang kompleks.
Dengan demikian bahwa, secara jelas berlaku oligarki memerlukan pertimbangan dan peran strategis untuk menguasai secara mendalam terhadap dinamika hubungan antara politisi dan oligarki. Selanjutnya berhubungan dengan perumusan kebijakan yang dapat memecahkan interdependensi mesti dilakukan dengan membatasi tindakan tegas terhadap keberadaan kelompok ekonomi berkuasa tersebut, dengan berbagai tekanan tertentu terhadap para politisi yang berkuasa.
Selanjutnya pada era demokrasi politik modern saat ini, menurut Rachmina I Koho (2021), oligarki berubah, dari oligarki sultanistik menjadi oligarki penguasa kolektif, yang mendorong para pengusaha untuk bekerja sama dan membentuk komunitas jabatan yang otoritas. Pada saat ini secara dalam aktivitas demokrasi politik realistis tergambar bahwa, oligarki terus mengalami transformasi dengan menyesuaikan diri dalam setiap konteks politik di Indonesia yang dipengaruhi oleh Neoliberalisme dalam sistem ekonomi politik yang berlaku.
Dengan demikian kondisi demokrasi politik pemilihan umum saat ini, menurut beberapa pakar yaitu, Falguera, Jones, dan dan Ohman (2014) serta Bryan dan Denise (2005), mengidentifikasi berbagai isu terkait uang dalam politik. Sehingga kekuasaan politik melalui pemilihan umum menjadi semakin terang-terang dilakukan politik uang untuk memenangkan kontestasi yang merusak sistem demokrasi politik yang melibatkan dan juga dimainkan oleh oligarki untuk kekuasaan politik, juga demokrasi politik pemilihan umum berbiaya tinggi melibatkan oligarki. Dengan demikian diperlukan efektivitas penegakan hukum dan undang-undang agar oligarki tidak semakin merajalela, juga diperlukan partisipasi civil society dalam ruang demokrasi untuk mengurangi keiuasaan oligarki yang mampu merusak hukum dan demokrasi politik.
Penulis adalah Taufiq Abdul Rahim; Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC Aceh)
Leave a Review