Aku Jatuh Cinta Tapi Aku Tidak Qunut

Oleh : Eno Malaka

Suasana menegangkan mencuat dari ruang tamu yang berukuran cukup luas, dengan dua tiang besar di tengah-tengah ruangan yang memisahkan antara ruangan dekat pintu masuk sebagai penerima tamu dan ruangan diseberang sebagai tempat mengaji. Di ruangan yang digunakan untuk mengaji itu Ardi sedang bertatap-tatapan dengan seorang pria dewasa berusia 45 tahun. Dibarengi suara detak jam dinding klasik. “sruuuupppp ahhh” kopi disruput. “Jadi ini hasil ujian Mas Ardi” laki-laki berusia 45 tahun berkumis tebal dengan tampilan santai bersarung, baju oblong dan berkopiah mulai berbicara. “Pertama membaca Al-Quran.” Pria 45 tahun itu melanjutkan dan tepat ketika pengumuman hasil ekspresi Ardi menjadi sangat tegang. “Lulus.” Pria itu tersenyum pelit setelah mengumumkan hal tersebut. “Alhamdulillah, yesss”. Ucap Ardi dengan girang yang langsung buru-buru berubah kalem karena malu.

Ardi merupakan mahasiswa jurusan fisika astronomi yang berprestasi, dia pernah menyabet juara International Mathematic Olympic (IMO). Selama proses perkuliahan Ardi terkenal cukup pendiam namun kritis, hobinya selain membaca adalah berdebat dan hampir semua mahasiswa seangkatan ataupun dosennya pernah Ardi debat. Belum pernah ada yang menang debat dengan Ardi hingga tidak ada yang berani berdebat dengannya, namun pada suatu hari ada gadis yang bisa membuat Ardi kagum. “Menurut saya, saudara ini terlalu berlebihan dengan menyatakan bahwa Quasar dan Blazar adalah objek yang penuh misteri. Padahal sudah jelas bahwa penyebab utama dari fenomena itu adalah karena lubang hitam yang memakan gas atau Bintang dalam tata surya.” Ucap seorang gadis yang membantah ucapan Ardi saat siding skipsi Ardi.

Karena saking berprestasinya, siding skripsi Ardi sengaja dibuka untuk publik dan semua mahasiswa boleh menghadiri dan berpartisipasi untuk bertanya ataupun memberikan tanggapan tentang materi skripsi Ardi. “Sepertinya saudari yang salah menanggapi, saya hanya menyatakan bahwa Quasar dan Blazar adalah objek yang penuh misteri, saya tidak menyatakan bahwa Quasar dan Blazar tidak terjelaskan sepenuhnya. Karena penjelasan yang ada masih dalam tahap spekulasi ” terang Ardi dengan gaya khasnya, senyum tipis sedikit menyeringai. “Namun jika saudara mebaca lebih lanjut literasi masyarakat Arab maka akan saudara dapati penjelasan tentang Syi’ra, Bintang yang dulu diagungkan Masyarakat Arab. Lebih lanjut lagi dalam sura An-Najm ayat 49 dan Al-Anbiya ayat 30 maka akan saudara temukan lebih lanjt tentang terciptanya proses panjang hingga tercipta Quasar dan Blazar itu”. Bantah Perempuan itu dengan percaya diri. Ardi terdiam sesaat, dia bukan tidak punya jawaban tentang argumen perempuan itu tapi dia justru tertarik dengan apa yang perempuan itu sampaikan.

“Saya cukup kagum dengan bacaan Al-Quran kamu Mas.” Pria 45 tahun itu melanjutkan pembicaraan. “Terima kasih, Bapak” Ardi menjawab dengan tersenyum. “Dari mana kamu belajar membaca Al-Quran sebagus ini. Saya dengar dari Laila kamu adalah fisikawan muda yang berprestasi?” Pria 45 tahun bertanya dengan meletakan kertas hasil ujian bacaan sholat Ardi. “Saya memang sejak kecil selalu membaca Al-quran Pak. Ibu saya selalu ga bisa melihat anaknya tidak sholat subuh dan tidak membaca Al-quran.” Aldi menjawab pertanyaan dengan menjaga postur duduknya tetap tegak.

“Baguslah kalau begitu, saya lanjutkan ke hasil tes berikutnya.” Pria 45 tahun itu memasang muka datar sambil membuka kertas berikutnya dan melihatnya lamat-lamat. “Hasil berikutnya, khotbah sholat jumat.” Pria 45 tahun itu mulai berbicara.

Gadis itu bernama Laila, gadis jurusan tafsir al-quran dan merupakan seorang qori internasional.

“Kamu kenal Perempuan tadi Nal?” Tanya Ardi membereskan meja setelah sidang skripsi. “kalo ga salah namanya Laila deh, dari fakultas sebelah.” Jelas Zaenal. “Ohh, Angkatan berapa dia?” Ardi menenteng laptop dan buku-buku catatannya, bersiap keluar ruangan Bersama Zaenal. “Seangkatan sama kita, dia minggu depan juga sidang.” Jawab Zaenal. “Lah kamu kapan Nal, betah banget jadi mahasiswa?” Ardi mencoba bergurau. “Heyy lulus itu di waktu yang tepat, bukan tepat waktu.” Terang Zaenal. “Justru tepat waktu adalah waktu yang tepat.” Ungkap Ardi. “Hallah ayo cepet makan siang.” Ajak Zaenal.

Minggu berikutnya seperti yang disampaikan Zaenal, Laila betulan siding skripsi. Sama seperti Ardi, Laila yang seorang qori internasional juga sidangnya dibuka untuk umum. Ardi menghadiri siding tersebut untuk menyaksikan sebagus apa pengetahuan gadis yang mendebatnya itu. “Al-Quran adalah kitab suci yang sangat peduli dengan kesehatan mental manusia, Allah SWT memberikan banyak nasihat-nasihat dan stimulus psikologi untuk menguatkan mental manusia.” Laila menerangkan dengan penuh keyakinan. “Sebut saja dalam surah Al-Baqarah ayat 286.” Laila mentilawahkan ayat tersebut dengan suara yang merdu.

“Di ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa, Allah SWT tidak akan menguji suatu hamba melebihi kemampuannya. Ini menunjukan bahwa masalah-masalah yang dihadapi manusia, adalah masalah-masalah yang bisa ditangani oleh manusia itu sendiri. Dan dalam arti lain, manusia sebenarnya lebih besar dan lebih tangguh dari masalah-masalahnya sendiri.” Penjelasan Laila cukup memukau mahasiswa dan dosen yang hadir.

“Dalam ayat lain Allah juga memberikan panduan untuk menyelesaikan masalah-masalah Kesehatan mental, salah satunya dalam surah Al-Insirah ayat 6.” Laila Kembali mentilawahkan ayat tersebut, yang lagi-lagi dengan suara yang sangat merdu.

“Di ayat ini, Allah menerangkan bahwa bersama kesulitan ada kemudahan, artinya sebenarnya seburuk apapun masalah yang ada dalam hidup kita itu bisa menjadi sesuatu yang baik, tergantung sudut pandang kita dalam memahaminya.” Laila menjelaskan dengan penuh keyakinan. “Jika kita membaca buku-buku psiklogi, atau kita konseling dengan psikolog atau ikut seminar kesehatan mental, pasti satu yang disampaikan dalam psikologi untuk menguatkan kesehatan mental adalah merubah cara pandang dalam melihat kehidupan. Dan Al-Quran menjelaskan hal tersebut bahkan jauh sebelum ilmu psikologi modern berkembang.” Penjelasan Laila lagi-lagi membuat mahasiswa dan dosen menjadi kagum.

“Gimana Di, keren kan dia?” Zaenal tiba-tiba hadir di samping. “Anjiirrr, kaget gua.” Ardi terkejut, tubuhnya spontan tersontak dan melihat kearah kiri “Bener-bener bidadari surga ya.” Zaenal melanjutkan omongan dengan tersenyum kearah Laila.

“Biasa aja sih, dia malah terlihat hanya pintar beretorika saja. Aku yakin yang dia sampaikan bukan berasal dari jurnal atau riset.” Ungkap Ardi dengan sinis.

“Coba debat sana kalo emang kamu yakin.” Tantang Zaenal. “Ahhh Males banget, aku Cuma kebetulan aja dateng kesini. Bentar lagi juga aku pergi.” Ardi menggendong tas punggungnya dan pergi meninggalkan tempat siding skripsi Laila.

“Lolos” Pria 45 tahun itu menyebutkan dengan penuh keyakinan. “Allhamdulillah.” Ardi sangat bersyukur dengan hasil ujian khotbah jumatnya.

Tujuh bulan setelah wisuda Ardi bekerja di BRIN di bawah naungan Kemendikbudristek, dia bertanggung jawab untuk pengelolaan riset di bidang fisika. Kebiasaan Ardi masih seperti dulu, membaca buku, berdebat, hanya saja sekarang bertambah dengan olahraga dan minum kopi. Pekerjaan di bidang riset membuat Ardi hidup serba cepat dan terburu-buru, mentalnya bahkan selalu penuh tekanan. Ardi bahkan rajin membaca dan membeli buku kesehatan mental, namun sebanyak apapun buku dan teori psikologi ternyata tidak membuat mental Ardi membaik.

Tut tut tut, suara dering gawai. “Hallo Ar, gimana?” Zaenal mengangkat telefon dari Ardi. “aku pusing banget Nal, segala kerjaan senior aku yang harus ngerjain.” Ardi mengeluh dengan membolakbalikan tubuhnya di atas kasur. “Yaudah sih, sabar aja. Lagian gajinya gede juga kan?” Zaenal coba memberi nasihat. “Iya sih, cuma ini emang stress banget. Aku udah banyak beli buku kesehatan mental tapi ga ada pengaruhnya. ” ungkap Ardi yang masih mengeluh.

“Udah beli buku Al-Quran adalah kitab psikologi belum?” Tanya Zaenal. “Belum, buku apa itu?”Ardi terlihat lumayan penasaran dengan judul buku itu, dia langsung duduk dari posisi yang awalnya rebahan di kasur.

“Buku self improvement, coba beli aja deh.” Ucap Zaenal dengan wajah santai sambil menyeruput kopinya. Setelah perbincangan dengan temannya itu Ardi lantas mencari buku yang disarankan oleh Zaenal. Dia pergi ke toko buku dan menemukan buku itu, di covernya tertulis L.Sabrina.

Ardi mulai rajin membaca buku tersebut, Ardi merasa kagum dengan apa yang ditulis disalah satu bab di buku itu. “Pada dasarnya manusia membutuhkan stres dan rasa sakit, stres adalah sebuah tanda bahwa jaringan dalam tubuh sedang mengalami kerusakan, sedangkan rasa sakit adalah sinyal bahwa tubuh membutuhkan istirahat. Jika dalam kondisi stres lalu tubuh istirahat maka tubuh secara alami akan memulai proses perbaikan dengan cara mematikan jaringan-jaringan yang rusak dan menggantikannya dengan jaringan baru yang lebih kuat. ” Ardi membaca dengan khidmat kalimat itu.

“Seperti halnya ketika pergi ke gym, seseorang yang melatih ototnya pasti akan merasakan pada bagian otot yang dilatihnya sakit dan letih. Lalu beberapa lama kemudian melalui proses mengistirahatkan bagian tubuh yang habis dilatih tersebut akan tercipta otot baru yang lebih besar. Begitulah proses tubuh memperbaiki dirinya, sehingga seharusnya seseorang yang sedang stress tidak sepantasnya untuk terlalu mendramatisir hal tersebut, dengan berfikiran aneh-aneh. Karena ketika kepala sedang stress itu tandanya tubuh sudah bersiap untuk memulai pemulihan, dengan cara mematikan sel otak yang rusak dan akan menggantinya dengan sel otak yang lebih cerdas dan cepat dalam berfikir. ” Lanjut Ardi dengan lebih khidmat.

“Allah SWT sudah memberikan panduan untuk orang-orang yang sedang stress, dalam Surah An-Naba ayat 9 Allah Berfirman ‘Dan Kami jadikan tidurmu sebagai istirahat’ maka siapapun yang sedang stress maka istirahatlah, dan percayalah bahwa stress yang sedang dialami hanyalah sebuah proses perbaikan dalam diri. Jangan pernah mendaramatisir stress yang kau alami dengan menyebutnya sebagai penderitaan.” Ardi semakin kagum dengan kalimat yang tertulis di buku itu. Seolah-olah dia menemukan jawaban dari yang dialaminya.

“Keren banget buku ini, kira-kira sebijak apa ya orang yang menulisnya?” Ardi bergumam kagum.

Pria 45 tahun itu meletakan kertas hasil ujian khotbah jumat Ardi, dia menyeruput kopinya dan memandang Ardi. “Saya penasaran, kapan kamu bertemu dengan Laila?’ Tanya pria 45 tahun itu. “Saya bertemu Laila saat saya menhadiri acara jumpa penulis, saya hendak meminta tanda tangan untuk buku ‘Al-Quran adalah buku psikologi’ Pak.” Jawab Ardi yang masih menegakan posisi duduknya.

Pada suatu malam minggu yang tidak sesibuk malam minggu sebelum-sebelumnya, tepat dua tahun yang lalu. Ardi pergi mengunjungi salah satu mall untuk menghadiri acara jumpa penulis, Ardi ingin menjumpai penulis buku yang sudah membangkitkan semangatnya. Sesampainya di lantai 4 tempat berlangsungnya acara jumpa penulis, para pengunjung yang berjumlah sekitar 500 orang mulai berbaris untuk meminta tanda tangan. Pada acara itu, sanga penulis akan membedah mengenai pengalamaannya dalam menulis buku-bukunya. Disambung dengan sesi tanya jawab dan diakhiri dengan acara tanda tangan buku. Ardi yang datang terlambat melewatkan acara bedah pengalaman dan tanya jawab dengan penulis. Ardi mengantri cukup lama untuk meminta tanda tangan.

“WUIHHH ADA SI JENIUS SOMBONG” Ucap sang penulis dengan nada tinggi setengah berteriak ketika melihat Ardi menyodorkan bukunya. Sontak para pengunjung yang belum pulang dan para panitia langsung menoleh kea rah Ardi. “ahhh aku inget, kamu perempuan sok tahu pas siding skripsiku kan.” Ucap Ardi yang terkejut dengan sambutan tidak biasa yang dilakukan oleh sang penulis. Dia berusaha menjaga ekspresinya tetap tenang walaupun harus menahan malu yang sangat menghujam dirinya. Penulis itu ternyata namanya Laila Sabrina. “Biarin. Sok tahu begini, kamu minta tanda tanganku juga kan. Sini aku tanda tanganin yang besar banget di bukumu.” Laila membuka halaman pertama buku yang disodorkan Ardi dan langsung membubuhkan tanda tangan yang saking besarnya sampai halaman pertama buku itu hanya berisi tanda tangan Laila.

“Rese banget sih.” Ardi menarik buku yang sudah diberikan tanda Laila tersebut, Ardi cukup kesal dengan ulah Laila namun nampaknya bukan hanya kekesalan yang ada dalam hati Ardi sekarang. Sesuatu yang lain sedang merambat ke hati Ardi.

“Daaaaaadddaaaaahhhhhhh” Laila melambaikan tangan sambil senyum puas melihat Ardi yang kesal dan beranjak pergi. Ekspresi Ardi pada waktu itu memperlihatkan wajah yang sangat jengkel. Setelah peristiwa itu Ardi merasa dipermalukan, namun anehnya hatinya tidak marah. Justru hati dan kepalanya malah seperti bekerja sama terus-terusan menayangkan wajah Laila di memori Ardi.

Empat malam minggu terlewat, Ardi bergegas keluar dari kantornya untuk menuju suatu tempat acara. Sampai di lobby gedung kantornya BRAAAAAAGGGGGGGGG. Ardi ditabrak Laila. “Heyy pelan-pelan lah.” Tegur Ardi pada perempuan yang terburu-buru. “Ehh maaf-maaf saya terlambat datang ke acara Hijrahshow.” Ucap Laila dengan perasaan menyesal, nampaknya dia belum sadar yang dtabraknya adalah pria yang dia teriyaki sebagai si jenius sombong.

“Heyyy penulis sok tahu, Hijrahhshow bukan di sini gedungnya. Masih 5KM lagi di depan” terang Ardi. “Loh ko kamu di sini?” tanya Laila yang sudah menyadari Ardi. “Ini kan tempat kerjaku.” Ardi menjawab sambil melihatkan nametag yang ada di sakunya. “Lahhh terus gimana ini, aku tadi naik ojek online.” Laila mengeluh. “Ko bisa nyasar? Harusnya ojek online kan mengantarkan sesuai alamat tujuan.” Ardi bertanya dengan heran. “kayane aku salah nulis deh.” Laila masih marah-marah tidak jelas kedirinya sendiri. “Inget marah itu salah satu tanda mental seseorang lemah, buku Al-quran adalah kitab psikologi halaman 96.” Ardi berbicara dengan senyum meledek pada Laila. “Ihhh apasih ngga lucu deh, ini acara penting.” Ucap Laila yang memasang wajah jengkel dan menyipitkan matanya.

“AHH UDAH, aku pesen grab lagi aja.” Laila semakin kesal. “Aku antar aja, kebetulan aku ada acara juga di gedung itu.” Ardi menawarkan bantuan. “Ngga usah, aku bisa sendiri.” Tolah Laila dengan gerak tubuh yang judes. “Ahhh kenapasih ditolak terus, ini jam grab nganggur apa gimana.” Laila semakin marah-marah tidak jelas. “Masih mau nunggu grab, atau bareng aku aja?” Ardi kembali menawarkan bantuan pada Laila. “Yaudah, tapi di jalan jangan ajak aku ngobrol.” Laila kelihatan masih jengkel dengan Ardi.

Ardi dan Laila pergi bersama menuju gedung tempat acara Hijrahshow berlangsung, seperti yang dimintakan Laila. Selama perjalanan mereka tidak berbicara apapun, di dalam mobil hanya terdengar suara dering ponsel yang sesekali berbunyi baik ponsel milih Ardi ataupun Laila. Sesampainya di gedung, Ardi menurunkan Laila di depan lobby sedangkan dirinya lanjut ke tempat parkir. “Nanti pulangnya bareng aja sekalian.” Ardi menawarkan bantuan. “Inshaallah.” Laila menjawab dengan tergesa-gesa membuka pintu untuk keluar dari mobil.

Acara Hijrahshow berjalan dengan meriah, acara yang dihadiri ustaz muda kondang asal Aceh tersebut berhasil menarik ribuan orang untuk hadir. “Selain ustaz Hunan, acara ini juga menghadirkan perwakilan dari kementrian pendidikan yang turut membantu mensponsori acara ini.” Ucap MC. “Beliau seorang jenius astronomi yang berhasil menciptakan teropong angkasa yang saat ini diakui oleh banyak ilmuan sebagai teropong yang paling akurat, kita panggilkan, Ardi Canggih Nugroho” MC mengundang Ardi untuk naik ke atas panggung.

Laila yang duduk rada di belakang cukup kaget dengan apa yang dia lihat. “Hihhh orang sombong ko dijadikan pemateri.” Gumam Laila dalam hati.

“Nah sudah pas ini seimbang, satunya ustaz muda satunya lagi ilmuan muda. Dunia dapet akhirat juga dapet.” MC berbicara dengan basa-basi untuk mengakrabkan diri dengan pemateri.

Acara Hijrahshow berlangsung dengan tertib, sesi penyampaian materi berjalan lancar, sesi tanya jawab juga berjalan lancar walaupun sedikit tidak kondusif karena pengunjung berebut untuk bertanya kepada ustaz muda itu. Kebanyakan pertanyaan yang disampaikan oleh pengunjung adalah pertanyaan tentang urusan perasaan.

Pria 45 tahun itu cukup terkejut dengan cerita dari Ardi, pertemuan pertama dan kedua sang putri dan laki-laki yang sedang melamarnya ini ternyata berjalan tidak baik. Anaknya malah terlihat tidak menyukai laki-laki di depannya ini.

“Kenapa putriku seperti membencimu? Apakah kalian pernah ada masalah sebelumnya?” Tanya laki-laki 45 tahun itu dengan heran kepada Ardi. “Oh itu karena salah paham saja Pak.” Jawab Ardi dengan santai dan masih mempertahankan posisi duduk tegaknya. “Salah paham gimana?” Pria 45 tahun itu melanjutkan pertanyaan.

Setelah acara selesai Ardi dan Laila pulang bersama, di dalam mobil Ardi berusaha memulai pembicaraan. “Oh ya aku selalu penasaran.” Ardi mulai bicara. “Hemmm” Laila menanggapi dengan dingin sambil melihat kearah Ardi. “Kita kan sebelumnya tidak pernah bertemu, tapi kenapa kamu seperti memusuhiku?” Tanya Ardi.

“Karena kamu sudah jahat ke Ninda.” Laila menjawab dengan membuang muka kearah jendela. “Ninda? Siapa dia?” Ardi melanjutkan pertanyaan. “Ninda, anak jurusan ekonomi yang dulu pernah ngasih coklat ke kamu.” Jawab Laila yang masih judes dan pandangan masih ke luar jendela. “Ahh gadis itu, aku inget dia pernah dateng ke kosku pas aku ulang tahun.” Ardi mengingat pengalaman itu.”Terus salahku dimana? Aku terima ko coklat darinya?” Tanya Ardi yang heran. “Harusnya kalo ada yang ngasih hadiah itu bukan cuma diterima dan bilang terima kasih, ajak ngobrol atau apalah gitu. Jangan dicuekin terus lanjut ngobrol sama temen-temenmu.” Laila menjelaskan dengan wajah yang masih melihat ke arah luar jendela. “Kan waktu itu temen-temenku pada dateng, aku ga cuekin ko. Aku menyuruh dia duduk, terus nanti juga bakal akua jak ngobrol.” Ardi memberikan klarifikasi. “Aneh. Otak mah pinternya ga ketulungan, tapi kalo hati bebalnya melebihi bekantan.” Omongan gadis pinter emang kadang tidak bisa dibendung.

“Justru kamu yang sangat aneh.” Ardi mencoba memberikan perlawanan dengan suara yang riang. “Loh ko aku?” Laila langsung mengganti posisinya, dari yang tadi dia selalu memunggungi Ardi sekarang sekejap sudah menatap kearah Ardi. “Iyalah. Masa ada orang yang menulis tentang kesehatan mental, memberikan panduan agar hati bisa tenang, bahkan mengambil sumber-sumber dari Al-Quran yang jelas sangat meyakinkan para pembaca. Ternyata aslinya hanyalah gadis tantrum yang gampang ngambek, gampang marah, gampang salah sangka, gampa….” Ardi belum menyelesaikan kalimatnya tapi sudah keburu dipotong Laila.

“Gimping mirih, gimping ngimbik, gimping silih singki. Terus masalah buat kamu?” Laila sedikit membentak Ardi. Mereka bertatap-tatapan sebentar dan Laila langsung bergegas mengganti posisi duduknya. Sekarang dia kembali memunggungi Ardi. “Ehhh bentar, ini beneran rumahmu di komplek kuburan?” Tanya Ardi yang bingung dengan Alamat rumahnya Laila. “Yahhh salah arah Mas, gimana sih?” Laila terkejut dan menyalahkan Ardi. “Kan yang menuliskan alamat rumah di g.maps kamu.” Ardi protes karena disalahkan Laila.

“Ahhahaha Ahahahaha Ahahaahahhaa” Pria 45 tahun itu tertawa lebar mendengar cerita perseteruan antara Ardi dan Laila. “Ternyata kalian sangat lucu ya.” Lanjut pria 45 tahun itu. Kesan sebagai bapak-bapak horror sekarang sudah sirna. “Memang prilaku anaku yang nomor dua itu tidak ada anggun-anggunya. Sejak kecil sudah petakilan, dulu pas Laila umur belasan tahun pasti ada tetangga yang datang melaporkan mangga atau ayamnya dicolong sama Laila.” Pria 45 tahun itu menceritakan masa kecil anaknya dengan antusias.

“ABIIIII.” Terdengar teriakan Laila dari dalam.

“Iya iya Nduk, maaf.” Pria 45 tahun itu mengisyaratkan dengan jari telunjuk di bibir sebagai isyarat kepada Ardi untuk tidak tertawa dengan ceritanya.

“Terus bagaimana kamu menyatakan perasaanmu.” Sudah benar-benar hilang aura horror yang dimiliki pria 45 tahun ini. Dia sekarang berubah dari pria sangar menjadi bapak-bapak kepo.

Setelah peristiwa di dalam mobil, Ardi dan Laila menjadi sangat dekat. Mereka sering berkirim kabar, bahkan beberapa karya tulis Laila sering dibantu Ardi dalam melakukan riset khususnya jika Laila hendak menulis tentang hal-hal yang bersifat ilmiah. “Ini ko bulannya ga kelihatan yah.”Laila meneropong kearah langit dengan teropong buatan Ardi. “Ya jelaslah belum kelihatan, ini masih jam 17.20 WIB.” Jawab Ardi yang berdiri di samping Laila dengan membawa buku catatan. “Emangnya biasanya bulan baru munculnya jam berapa?” Tanya Laila yang melepaskan matanya dari eyepiece teropong.

“Tergantung, setiap tahunnya ada perubahan.” Jawab Ardi. “Kenapa seperti itu?” Laila melanjutkan pertanyaan. “Bukannya dulu kamu yah yang menyarankan untuk membaca literatur masyarakat Arab? Harusnya kamu paham lah hal beginian.” Ardi tidak menjawab pertanyaan justru malah meledek. “Dihhh” Laila memasang muka sebal dan kembali melihat kearah eyepiece teropong. “Ehhh ini hilal bukan Mas?” Laila penasaran dengan apa yang dia lihat dan mengkonfirmasi ke Ardi.

“Mana coba lihat?” Ardi buru-buru mendekat ke tropong dan bergantian dengan Laila. “Ah iya bener, ini hilal. Besok lebaran.” Ardi girang dengan apa yang dia lihat. Suara adzan tanda berbuka puasa dikumandangkan. Ardi buru-buru mengirim informasi ke organisasi pusat. “Mas dibatalin dulu puasanya, baru mengirim kabar.” Laila menyodorkan air mineral botolan ke Ardi untuk membatalkan puasa. “Ahhh Iya.” Ardi meraih botol minuman tersebut. Setelah Ardi mengirimkan informasi ke organisasi pusat, mereka berdua melanjutkan berbuka dengan menyantap takjil yang dibuat oleh Laila. Mereka duduk bersandar tembok menara masjid diketinggian puluhan meter. Mereka juga menonton siaran langsung siding isbat pemerintah fdan ternyata pemerintah juga menetapkan bahwa besok tanggal 13 Mei 2021 adalah hari raya idul fitri 1442 Hijriah. Gema takbir dan gelegar gembang api datang silih berganti, membuat mereka yang sedang berada di atas merasakan suasana yang menakjubkan. Laila bergegas menuju depan ditepi menara menyaksikan pemandangan itu. “Ini seperti habis berperang.” Laila berkomentar.

“Laila, kamu tahu ngga?.” Ardi berdiri di samping Laila. “Tahu apa Mas?” Tanya Laila. “Di Jepang jika ada dua orang bersamaan, terus salah satunya bilang bahwa bulan malam ini indah. Artinya orang itu cinta dengan orang satunya.” Ardi mengutarakan kalimatnya. “Iya kah Mas?” Laila mengkonfirmasi. “Iya” Ardi mengangguk.

“Malam ini bulannya indah yah.”(Laila) “Malam ini bulannya indah yah.” (Ardi)

Ardi dan Laila tekejut, mereka bertatap-tatapan lalu tersenyum bersamaan.

Pria 45 tahun itu merasa heran dengan cerita Ardi. “Jadi kalian mengucapkan kalimat itu bersamaan?” Pria itu mulai bertanya. “Betul Pak, kasih kompak mengucapkannya dan kompak juga tatap-tatapnnya.” Jawab Ardi. “Tapi bukankah bulan tidak kelihatan di malam takbiran?” Lanjut pria 45 tahun itu bertnya. “Betul Pak, yang kelihatan waktu itu hanyalah cinta saya pada anak Bapak.” Ardi tersenyum percaya diri ketika mengucapkan itu.

“Baguslah kalo begitu, jika memang kalian saling mencintai.” Ungkap pria 45 tahun itu. “perjalanan cinta itu lebih banyak tidak enaknya, Jenderal agung Thian Feng pernah berkata. Begitulah cinta dari dulu deritanya tiada akhir.” Pria 45 tahun itu mengucapkan kalimatnya dengan ekspresi sok kalem, seperti gaya mafia-mafia setelah menyelesaikan kalimatnya dia menyeruput kopinya. “Benar kata Laila, Abinya emang suka nonton film kera sakti.” Ungkap Ardi dalam hati.

Lima hari yang lalu ketika Ardi memutuskan untuk datang ke rumah orang tua Laila untuk melamar, Ardi sangat percaya dengan dirinya sendiri. Karir bagus, otak cemerlang, badan bagus, mobil bagus, sudah punya rumah, semuanya sangat mendukung untuk menjadi menantu ideal.

“Ini rumahmu kaya pesantren ya.” Ungkap Ardi

Ardi dan Laila berjalan memasuki komplek rumah Laila yang terlihat cukup luas dengan masjid besar di tengah-tengah komplek. Rumah Laila berada di samping masjid yang juga tidak kalah besarnya.

“Dari dulu memang banyak yang ngaji pada Abi, setiap sore pasti ada anak-anak kampung yang datang ke rumah.” Terang Laila. “Ayo masuk.” Laila dan Ardi sudah berada di depan pintu, Laila mengajak untuk segera masuk.

“Assalamualaikum.” Laila mengetuk pintu dan memberi salam dengan nada lembut.

“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.” Terdengar suara tegas dan kemunculan sosok tinggi besar.

“Ini yakin bapakmu guru ngaji bukan petinju.” Bisik Ardi.

“Hallo Putriku yang cantik.” Pria itu menyalami Laila dan menciumi kening putrinya itu.

“Pak kenalin ini Ardi.” Ucap Laila yang mengarahkan tangannya kearah Ardi

“Jadi kamu ingin melamar putri saya?” Tanya pria itu. “Betul Pak, saya ingin melamaar putri Bapak.” Jawab Ardi dengan yakin.

“Yaudah sekarang kamu pulang, besok hari jumat kamu kesini pagi-pagi. Saya akan lakukan tes ke kamu.” Ucap Pria 45 tahun itu.

“Tes? Tes apa ya Pak?” Ardi bertanya bingung. “Tes meembaca Al-Quran, Khotbah Jumat, dan jadi imam sholat subuh.” Ungkap pria 45 tahun itu.

Ardi pulang dengan keadaan yang bingung, selama ini seharusnya ketika ada calon menantu datang. Pertama kali yang ditanyakan adalah tentang pekerjaan, property yang dimiliki, atau kendaraan yang dikendarai, ini wajar karena sudah seharusnya orang tua memperhatikan kesejahteraan putrinya. Tapi ini justru ada ujian praktik keagamaan, Ardi menjadi bingung dia harusnya melamar jadi menantu bukan calon Dai.

Hari jumat datang, Ardi juga sudah tiba di rumah Laila. Ardi mengucapkan salam dan langsung diterima masuk. Di dalam Ardi segera diperintahkan untuk wudhu agar bisa segera memulai tes membaca Al-Quran.

Tes dimulai. Ardi membaca Al-Quran dengan cukup baik, mulanya dia diberikan kebebasan untuk memilih surah yang ingin dibaca. Ardi memilih surah Al-Waqiah. Ujian itu disaksikan oleh ayah dan Ibu Laila, juga Laila bersama anak-anak yang sering mengaji ke rumah Laila. Ketika sampai di ayat ke 22, Ardi melihat kearah Laila dan memberikan senyum sebentar lalu melanjutkan pembacaanya. Ayat itu sangat menggambarkan Laila.

Selanjutnya masing-masing pihak, ayah, ibu, Laila, dan perwakilan anak-anak silih berganti memberikan request surah yang harus dibaca oleh Ardi. Tes itu selesai ketika masjid di komplek rumah Laila menyetel tilawatil sebagai penanda bahwa sekarang hari jumat.

“Baiklah kamu istirahat dulu, jika belum sarapan silahkan sarapan di dalam. Setelah itu langsung siap-siap menjadi khotib.” Ujar pria 45 tahun itu yang beranjak dari tempat duduknya.

Ujian khotbah jumat dimulai, Ardi yang diminta untuk menyiapkan materi kotbahnya sendiri kemudian memilih materi tentang pernikahan.

“Bapak-bapaak yang dirahmati oleh Allah. Rasulullah SAW pernah bersabda, jika datang laki-laki yang baik akhlaknya, baik agamanya. Ingin melamar putri kalian, maka janganlah kalian tolak.” Ardi mengucapkan kalimat itu dengan heroik.

Laila tersenyum mendengarkan kotbah itu dari dalam rumah.

Ujian kotbah jumat selesai, Ardi diminta untuk istirahat di kamar tamu yang disediakan di rumah Laila. Ardi akan tinggal di rumah Laila hingga esok hari.

Solat subuh akhirnya tiba, Laila dan keluarga bergegas bersiap-siap ke masjid. Ardi yang sudah sejak tadi bersiap nampak percaya diri dengan ujiannya. Iqomah dikumandangkan, semua warga sudah beerbaris rapih mengatur shaf solat. Ardi yang menjadi imam memulai sholat.

Tepat pukul 10 siang di sabtu yang sangat cerah, pembacaan hasil ujian praktik keagamaan dibacakan.

“Baiklah sekarang hasil tes terakhir.” Pria 45 tahun itu mengambil kertas berikutnya dan melihatnya lamat-lamat. “Sebelum itu saya mau bertanya ke kamu Mas.” Pria 45 tahun itu memandang Ardi dengan ekspresi yang serius. Ardi yang sudah nyaman dengan sikap riang pria di depannya ini menjadi kaku kembali.

“Kamu memang tidak qunut yah?” Pria 45 tahun itu bertanya.

Seketika Ardi menjadi tegang, pertanyaan itu menghujam dengan kecepatan tidak terkendali. Detak jantung Ardi mengalami kenaikan kecepatan, telapak tangan dan kakinya mulai dialiri bintik-bintik kringat dingin. Namun dia harus tetap menghadapi pertanyaan itu.

“Betul Pak, saya memang tidak qunut. Dalam kepercayaan saya doa Qunut hanya digunakan untuk beberapa hal dan bukan kewajiban dalam solat subuh.” Ardi menjelaskan.

“Ternyata begitu, kamu lulus.” Pria 45 tahun itu meletakan kertas hasil ujian praktik ujian itu di meja. “Kenapa mukamu tegang gitu? Kamu kira tidak akan lolos karena tidak qunut?” tanya pria 45 tahun itu. “Iya Pak.” Ardi mengangguk.

“Gini nang, mau qunut atau tidak qunut. Selama ada dasar fiqihnya itu tidak masalah. Solat subuh dengan qunut itu baik, solat subuh tidak dengan qunut juga baik. Yang tidak baik itu jika tidak solat. Saya bertanya hanya untuk memastikan, kamu tadi tidak qunut karena lupa atau gimana.” Pria 45 tahun itu menjelaskan. “Karena tadi kamu tidak melakukan sujud sahwi, makanya Bapak bertanya.”  Pria 45 tahun itu menerangkan leih lanjut.

Pria 45 tahun itu menyeruput kopinya, membenarkan posisi kopyah miliknya juga merapihkan sarungnya. Dia memanggil Laila.

“Laila, sini Nduk.” Pria 45 tahun itu memanggil Laila

“Ya Abi.” Laila bergegas menuju Abinya, dia beranjak dari balik tembok tempat menguping pembincaraan Ardi dan ayahnya.

“Nduk, nang Ardi loloss semua ujian dari Bapak, sekarang terserah kamu. Mau menerima atau menolak.” Tanya pria 45 tahun itu.

Laila memandang kea rah Ardi dan dibalas hal yang sama oleh Ardi. Mereka senyum bersamaan dan Laila akhrinya menjawab.

“Saya terima lamaran dari Ardi, Bi.” Jawab Laila dengan tegas. “Alhamdulillah.” Reflek Ardi, wajahnya terlihat lega dan bahagia. Dia sontak ingin memeluk Laila namun langsung mendapat deham dari Ayah Laila. Ardi urung melakukan rencananya dan meminta maaf.

“Sekarang kalian dengarkan Bapak.” Pria 45 tahun itu menyela kebahagiaan Ardi.

“Alasan Bapak mengadakan tes ini adalah untuk menguji cinta yang kalian miliki, menikah bukanlah hal yang mudah. Ini adalah ibadah yang sangat panjang waktunya, ibadah seperti membaca Al-Quran dan solat itu waktunya sangat sebentar. Tapi masih banyak yang merasa berat melakukannya, apalagi menikah yang waktunya snagat lama.” Pria 45 tahun menerangkan.

“Selain itu, Bapak juga ingin tahu. Kalian mencintai itu dilandasi perasaan murni atau hanya nafsu belaka. Karena kalo kata penulis dari Brazil, Paulo Coelho; ada banyak cara yang bisa digunakan manusia untuk menyakiti dirinya sendiri, tapi yang paling terburuk adalah dengan cinta.” Pria 45 tahun itu lanjut menerangkan.

“Nah setelah melewati tes ini, Bapak harap kalian menjadi pasangan yang saling mencintai. Minggu depan kalian akan menikah, semuanya akan segera disiapkan.” Pria 45 tahun itu membuat kaget Ardi dan Laila.

Di hari pernikahan yang meriah dan kental dengan nuansa Islami, Ardi dan Laila terlihat sangat bahagia. Setelah ijab qobul dan disusul dengan kata sah, Ardi mencium kening Laila. Ardi bergumam dalam hati dengan syair dari Kafka.

“Ohh gadis NU kesayanganku, ketahuilah jika ada sejuta laki-laki mencintaimu, maka aku salah satu diantaranya. Jika ada yang menyangimu, itu adalah aku. Jika tidak ada yang menyukaimu, pasti karena aku sudah mati.”

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi