Oleh: Anissa
Aktivis Sosial Kemanusiaan di Kota Langsa/Part of Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa.
Aceh kembali diramaikan dengan kabar yang membuat kita tertawa. Lima geuchik dari beberapa desa di Aceh mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tuntutan memperpanjang masa jabatan dari 6 tahun menjadi 8 tahun. Mereka berdalih bahwa aturan ini tidak sejalan dengan daerah lain di Indonesia, seolah lupa bahwa Aceh memiliki kekhususan tersendiri.
Jika ditelaah lebih jauh, perpanjangan masa jabatan ini benar-benar demi kepentingan rakyat atau hanya untuk kenyamanan mereka sendiri? Jika benar demi kemajuan desa, seharusnya ada bukti nyata bahwa mereka telah membawa perubahan signifikan selama enam tahun menjabat. Namun, jika perkembangan desa mereka biasa saja, maka permintaan tambahan dua tahun ini patut dipertanyakan.
Aceh memiliki Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) sebagai simbol keistimewaan dan hasil perjuangan panjang rakyatnya. Jika aturan ini mudah digugat hanya karena ada sekelompok kecil yang tidak puas, maka marwah UUPA bisa luntur. Judicial Review ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga soal menjaga keistimewaan Aceh agar tidak terus-menerus dipermainkan demi kepentingan pribadi.
Gugatan ini diajukan oleh lima geuchik dengan pokok perkara pengujian Pasal 115 ayat (3) UUPA terhadap beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan mereka didampingi oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), yang secara mengejutkan mau terlibat dalam upaya ini. Pertanyaannya, mengapa YARA bersedia membantu hanya lima orang ini? Apakah murni demi keadilan hukum atau ada agenda lain yang sedang dimainkan?
Jika aturan bisa diubah dengan mudah, bukan tidak mungkin Aceh perlahan kehilangan keistimewaannya. Judicial Review ini menciptakan preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan daerah. Jika ada satu kelompok yang berhasil menggugat aturan demi keuntungan mereka, maka kelompok lain akan mengikuti. Akhirnya, aturan yang seharusnya menjadi benteng keistimewaan Aceh justru menjadi sesuatu yang bisa diutak-atik sesuka hati.
Sebelum meminta tambahan waktu memimpin, ada pertanyaan mendasar yang harus dijawab. Apa yang sudah mereka capai selama enam tahun menjabat? Apakah desa mereka berkembang pesat? Apakah pelayanan publik lebih baik? Apakah dana desa sudah dikelola secara transparan dan berdampak nyata bagi masyarakat? Jika jawabannya tidak, maka tambahan dua tahun hanya akan menjadi ajang memperpanjang kenyamanan mereka sendiri. Jabatan bukan hadiah yang bisa diperpanjang seenaknya.
Provinsi Aceh memiliki ribuan geuchik yang memimpin desa-desa di seluruh wilayahnya. Namun, hanya lima orang yang mengajukan Judicial Review ini. Atas dasar apa mereka merasa mewakili seluruh geuchik di Aceh? Jika benar mayoritas menginginkan perpanjangan jabatan, seharusnya ada gerakan besar-besaran, bukan hanya lima orang yang menggugat aturan ke MK. Banyak geuchik lain justru tidak tahu-menahu soal ini, bahkan menolak gagasan tersebut karena merasa masa jabatan enam tahun sudah cukup.
Jika benar peduli terhadap kepentingan rakyat, maka yang seharusnya diperbaiki adalah kinerja, bukan masa jabatan. Aceh masih menghadapi banyak persoalan serius, seperti infrastruktur minim, pengelolaan dana desa yang belum sepenuhnya transparan, kurangnya lapangan kerja, serta akses layanan kesehatan dan pendidikan yang tertinggal. Daripada mencari cara agar bisa berlama-lama menjabat, bukankah lebih baik fokus menyelesaikan persoalan ini?
UUPA bukan aturan yang bisa diubah demi kepentingan kelompok tertentu. Judicial Review yang diajukan lima geuchik ini bukan hanya mencederai hukum, tetapi juga mempertaruhkan marwah Aceh di tingkat nasional. Jika mereka benar-benar ingin membangun desa, buktikan dulu bahwa dalam enam tahun mereka telah membawa perubahan nyata. Jika tidak, tambahan dua tahun pun tidak akan ada gunanya. Jabatan bukan soal siapa yang bisa bertahan lebih lama, melainkan soal siapa yang bisa membawa perubahan. Jika layak, rakyat pasti akan memilih mereka kembali. Jika tidak, ya sudah, sadar diri.
Leave a Review