Oleh Zulfata
CEO Media Katacyber.com
Seorang warga Aceh yang dianggap tak paham politik oleh politisi. Saat itu bertanya kepada saya; “Bagaimana kasus Wastafel? Bagaimana kasus Badan Reintegrasi Aceh (BRA)? Bagaimana kasus dugaan kapal bekas? Bagaimana kasus korupsi beasiswa?” Begitulah rentetan pertanyaan tersebut bersarang kepada saya. Agar pertanyaannya tidak terus melanjutkan pada kasus-kasus lainnya, saya langsung menyelip pertanyaan dengan menyatakan kelakar bahwa jangan cari jawaban tersebut, sebab itu katada kaitan dengan pemimpin Aceh.
Pembicaraan kami tersebut memang tidak untuk menjustifikasi calon pemimpin Aceh hari ini yang sedang berusaha mengelabui rakyat Aceh melalui mekanisme dan tahapan pilkada 2024, meskipun pembaca terkadang memahami tulisan ini memang sedang mengarah ke sana. Artinya pembaca adalah raja saat membaca, karena makna dan maksud yang ditangkap sesuai dengan frekuensi nalar pembaca.
Kemudian, saya pun tak mau kalah setelah diberikan pertanyaan. Saya balik tanya ke warga Aceh tersebut terkait “Seandainya pemimpin Aceh jebolan Pilgub 2024 adalah koruptor yang dilindungi bagaimana?” Tanpa menjawab serius pula, teman diskusi saya tersebut hanya menjawab dengan tawa secara terbahak-bahak sembari geleng-geleng kepala.
Ada yang menarik dari dua potret diskusi yang tersampaikan di atas. Di antaranya adalah secara tidak langsung nama-nama calon Gubernur Aceh di pilkada 2024 pernah ikut terseret dalam kasus korupsi berserta dengan kroni-kroninya. Jika ada yang beranggapan bahwa sebelum mencalonkan sebagai pemimpin Aceh lebih baik korupsi dulu untuk mengumpulkan pundi-pundi modal perjuangan, maka pandangan politik seperti ini seperti ini jika dianggap benar, justru pandangan sedemikian sangat berbahaya bagi nasib masa depan politik Aceh. Artinya, postur politik korupsi di Aceh makin menjadi-jadi jika benar aktor intelektual praktik korupsi tersebut bersarang di “mesin uang” calon pemimpin Aceh yang dimaksud.
Bayangkan saja misalnya, sebelum menang Pilgub saja ia berhasil ditutupi kerja kotornya dalam mencuri uang negara atau “uang para korban konflik”, bagaimana mungkin setelah menjabat sebagai Gubernur Aceh ke depan akan benar-benar membawa kebaikan bagi Aceh? Sungguh naif jika amanah diberikan kepada seorang atau sekelompok maling kelas kakap bukan? Jangankan untuk menjalankan amanah “MoU Helsinki”, amanah mengelola sebagian kecil rakyat Aceh saja belum sanggup.
Disadari atau tidak, melihat sosok-sosok calon gubernur Aceh yang didesain muncul hari ini, justru mengarah pada menjebak Aceh tersendiri di tangan pemimpin yang tidak sesuai dengan indikator kebutuhan perbaikan Aceh dari sisi kepemimpinan strategis untuk Aceh. Aceh semakin terperosok ke dalam kemepimpinam daerah yang korup berkepanjangan.
Apa yang disinggung di atas bukan tanpa sebab, sebab sosok calon pemimpin Aceh tersebut memiliki rekam jejak kinerja politik. Parahnya rekam jejak kinerja politik mereka mayoritas tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Aceh sebagai provinsi khusus pasca MoU Helsinki. Jika tidak percaya, coba misalnya jawablah pertanyaan secara jujur siapa dalang di balik dalang atas korupsi Wastafel dan korupsi BRA? Memang secara hukum belum ada kekuatan politik hukum di Aceh yang berani dan serius membongkar kasus tersebut, apa lagi membongkar semua kasus yang melibatkan nama besar gubernur Aceh. Akhirnya, kita semua bisa menjawab di hati masing-masing terkait jawaban serius dan jujur terkait pertanyaan apa jadinya Aceh “seandainya Aceh dipimpin oleh koruptor?”.
Leave a Review