Editorial ǀ 13/01/2025
Meski kepastian hukum tidak mampu mengur dan membuat efek jera para pejabat, maka viralitas adalah satu-satunya jalan edukasi sekaligus strategi pengawasan publik. Buah manis dari perkembangan dampak digital sedikit banyaknya telah mampu menjadi energi tambahan bagi pemerintah/penguasa untuk berbenah, menahan diri dari berbagai perilaku yang berada di luar kewajaran sebagai pejabat yang layat diteladani.
Dengan viralnya arogansi patwal mobil berplat RI 36 yang dimiliki oleh utusan khusus presiden yakni Raffi Ahmad, secara tidak langsung telah membuka cakrawala publik bahwa di zaman yang begitu canggih hari ini masih saja para pejabat bertingkah “aneh-aneh” dengan berlindung di balik berbagai keistimewaan. Ada banyak stereotip yang dilekatkan kepada pejabat bahwa pejabat mesti selalu diistimewakan di manapun dan kapanpun, baik di kantor pemerintah, di tempat undangan, hingga berbagai tempat fasilitas umum lainnya. Padahal, kinerja dengan pelakuan/fasilitas umum lainnya. Padahal, kinerja dengan pelakuan/fasilitas yang diberikan kepada pejabat tidak berbandin lurus. Ironisnya, dari sisi kinerja justru pejabat cenderung membuka ruang penderitaan rakyat.
Lantas apa penyebab arogansi dan imeks pejabat tersebut seolah-olah telah menjadi budaya birokrasi di negeri ini? Kemudian mengapa ketika pejabat yang pada dasarnya berkarakter buruk tetapi kemudian masih saja dipaksa untuk disulap agar tercitra seperti malaikat? Jawaban dua pertanyaan inilah menjadi benang merah bahwa Indonesia hari ini mesti ada suatu dobrakan agar tidak memperkuat budaya yang menjadikan pejabat mendapat martabat lebih di atas martabat rakyat.
Berkaca dari negara negara-negara maju, mereka tidak lagi memandang pejabat itu sebagai sesuatu yang spesial, melainkan pejabat dipersepsikan sebagai pelayan publik dan tidak mendapat hak yang luar biasa seperti di Indonesia. Contoh nyatanya dapat dipelajari dari Swedia, di negara ini, hak pejabat nyaris setara dengan warganya, bahkan pejabatnya tidak diberikan kenderaan khusus, melainkan harus menggunakan fasilitas umum.
Lantas mengapa di Indonesia kelakuan pejabat hampir tak ada bedanya dengan praktik kolonial? Artinya posisi pejabat cenderung berada sebagai seseorang yang patut “disembah”. Jika hal itu tidak dilakukan, maka akan ada celah tidak mendapat perhatian dari pejabat. Lama-kelamaan pejabat dapat berubah seperti penjajah rakyatnya sendiri, rakyat dipola mesti mengikuti selera pejabat. Biaya untuk memfasilitasi operasional dan hak khusus lainnya pun tidak sedikit, sementara itu, perilaku pejabat di ruang publik cenderung mengecewakan publik.
Hari demi hari, rasionalitas publik menilai pejabat publik semakin membaik, berbagai sikap presiden, kementerian, utusan khusus presiden, kepala daerah hingga kepala desa, publik memiliki cara pengawasannya sendiri melalui praktik jurnalisme warga dengan memviralkannya. No viral no justis, no viral no action, dua prinsip ini tekadang dapat menjadi obat bagi pemerintah dalam melihat kelakuan internal mereka dalam mengabdi kepada rakyat dan negara.
Di awal tahun 2025, ada banyak pejabat yang blunder, bahkan blunder tersebut dialami oleh presiden RI. Belum lagi jika disorot perilaku pejabat di seluruh wilayah Indonesia, akan ada banyak kelucuan dan keanehan yang terlihat di kalangan pejabat. Ada yang memukul pendemo, membantu korporasi mencuri tanah rakyat/adat, hingga memberi gelar akademik tanpa melalui proses yang semestinya kepada pejabat.
Satu sisi memang pejabat di republik ini memang bukan untuk dibenci, atau sengaja dicari-cari kesalahannya. Namun demikian, tugas pokok dan fungsi pejabat mesti diikuti dan diawasi sebagai bagian dari proses demokratisasi. Rakyat punya hak untuk menilai kinerja dan perilaku pejabat karena pejabat tersebut pada dasarnya berasal dari amanah rakyat. Jika pejabat diberikan keistimewaan oleh undang-undang, bukan berarti sanksi sosial lepas dari dirinya.
Rakyat Indonesia mesti memegang teguh kekuatan apa yang disebut sebagai sanksi sosial, jika aturan/hukum yang dibuat pejabat justru akan selalu menguntungkan pejabat, keluarga atau mitranya. Dengan bermodal sanksi sosial atau hukum tak tertulis, rakyat masih memiliki harapan untuk mengontrol kinerja dan perilaku pejabat. Senantiasa kita berharap rakyat Indonesia tidak lagi merasa inferiority complex di hadapan pejabat publik. Sudah saatnya rakyat terus optimis membuat polanya sendiri dalam mengontrol berbagai kelucuan pejabat dari luar pemerintah, baik pejabat di pemerintah pusat maupun pejabat di tingkat daerah.
Tanpa kontrol dari rakyat, dapat dipastikan pejabat akan terus leluasa memainkan perannya dalam penyalahgunaan kekuasaan atas nama kepentingan rakyat dengan berbagai slogan gimiknya dan dahsyatnya citra positif yang dibanjiri oleh influenser yang diorder. [Zulfata]
Leave a Review