Potret Infrastruktur Masyarakat Leuser: Peran Pemda Aceh Tenggara Kemana?

Rute menuju Bun-Bun Alas penuh dengan jalanan berbatu, terjal, serta tebing curam di kiri dan kanan.

Menyusuri jalan menuju Desa Bun-Bun Alas, Bun-Bun Indah, Serakut, dan desa-desa lain di pinggiran Aceh Tenggara adalah sebuah pengalaman yang luar biasa, baik dari segi pemandangan maupun tantangan jalannya. Bagi tim pengabdian dari Sahabat Berbagi Bahagia (SBB) dan mahasiswa UINSU Medan, perjalanan ini menjadi bukti nyata bagaimana akses infrastruktur yang buruk berdampak besar pada kehidupan masyarakat setempat.

Rute menuju Bun-Bun Alas penuh dengan jalanan berbatu, terjal, serta tebing curam di kiri dan kanan. Jalur ini bukan hanya sulit dilalui kendaraan kecil, tetapi juga berbahaya bagi kendaraan besar seperti truk, atau masyarakat di Kutacane menyebutnya sebagai mobil Dam. Truk menjadi transportasi utama untuk mengangkut hasil bumi dan kebutuhan pokok desa, tetapi kondisi jalan yang buruk membuat perjalanan penuh risiko.

Ada dua alternatif utama untuk mencapai desa yaitu jalur air menggunakan perahu (Robin) dan jalur darat menggunakan kendaraan roda dua hingga roda empat. Namun, kedua jalur ini tidak benar-benar bisa diandalkan. Pada 22 Desember 2024, sebuah perahu yang mengangkut penduduk dan barang mengalami kecelakaan tenggelam, menewaskan 11 orang, termasuk seorang bayi. Hingga kini, seorang remaja berusia 13 tahun masih belum ditemukan.

Jalur darat pun tidak lebih baik. Setelah menyeberang dengan perahu, perjalanan masih harus dilanjutkan dengan berjalan kaki selama 35 menit atau menggunakan jasa “ojek gunung”, pengemudi motor yang harus melewati jalan sempit, berbatu, dan licin, tanpa perlindungan apa pun. Melihat realitas ini, mungkin, jika ada lomba motocross tahunan, para pengemudi ojek gunung di Leuser mungkin akan menjadi juara tanpa perlu motor khusus.

Buruknya infrastruktur jalan di Leuser bukan sekadar masalah kenyamanan, tetapi menyangkut hajat hidup masyarakat. Kondisi ini juga mengakibatkan banyak hal, dua diantaranya:

  1. Akses Kesehatan yang Terhambat

Bayangkan seorang ibu hamil, balita atau lansia yang membutuhkan pertolongan segera. Ketika jalur air tidak beroperasi atau penuh, sementara jalur darat begitu sulit ditempuh, berapa banyak nyawa yang harus dikorbankan? Minimnya akses ke layanan kesehatan adalah ancaman nyata bagi masyarakat di daerah terpencil seperti Bun-Bun Alas dan sekitarnya.

  1. Ekonomi Terdampak

Petani di desa ini menghadapi tantangan besar untuk menjual hasil bumi mereka. Banyak hasil panen yang rusak sebelum mencapai pasar karena perjalanan yang terlalu lama dan sulit. Selain itu, ongkos angkutan menjadi mahal karena risiko tinggi dan kerusakan kendaraan akibat jalanan yang buruk. Meski begitu, harga jual kebutuhan pokok di desa-desa ini relatif stabil, hanya selisih Rp1.000 hingga Rp5.000 dari harga di kota. Entah bagaimana para pelaku usaha kecil masih bisa menjaga harga ini, mungkin karena kemurahan hati, atau mungkin karena pengorbanan dalam berbagi?

Pertanyaan besar yang harus kita ajukan adalah: mengapa jalan di Kecamatan Leuser begitu rusak? Bukankah ini tanggung jawab pemerintah daerah (Pemda)? Mirisnya, tagar #NoViralNoAction tampaknya mencerminkan kenyataan. Sebelum kecelakaan perahu yang menewaskan 11 orang, jembatan di Payeu Babi sudah lama putus, memutus akses ke tiga desa terluar. Setelah tragedi itu, barulah jembatan diperbaiki.

Tapi perbaikan satu jembatan tidak cukup. Saat musim hujan, jalanan yang curam dan berlumpur menjadi perangkap berbahaya bagi pengemudi. Tak jarang, truk terbalik atau warga mengalami kecelakaan. Sementara itu, kehidupan terus berjalan, orang tetap harus bepergian, pangan tetap harus didistribusikan, dan kebutuhan tetap harus dipenuhi, terlepas dari cuaca atau kondisi jalan.

Solusi atas masalah ini sangat bergantung pada kebijakan pemerintah daerah. Pembangunan jalan di daerah terpencil harus menjadi prioritas, bukan hanya proyek yang muncul setelah ada tragedi. Ada banyak material ramah lingkungan dan tahan lama yang bisa digunakan untuk membangun jalan yang lebih baik.

Namun, perbaikan infrastruktur tidak hanya tanggung jawab pemerintah. Masyarakat juga harus aktif mengajukan dana desa dan bergotong royong dalam pemeliharaan jalan. Dengan kolaborasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, perubahan bukanlah hal yang mustahil.

Jalan bukan sekadar akses fisik, tetapi juga pembuka peradaban. Tidak boleh ada masyarakat yang dianaktirikan oleh pemerintah daerah. Jika kita ingin melihat Aceh Tenggara berkembang, maka pembangunan infrastruktur yang adil dan layak harus menjadi prioritas. Kita semua berharap, ke depan, setiap desa di Leuser dan sekitarnya mendapatkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah daerah. Lantas, dari sekian lama Aceh Tenggara bertambah usianya, selama itu pula masyarakat Leuser tanpa perhatian serius dari Pemda Aceh Tenggara.

Penulis adalah salah satu mahasiswa yang tergabung dalam komuitas Sahabat Berbagi Bahagia (SBB).

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi