Oleh Dr. Taufiq Abdul Rahim, Peneliti Senior Political and Economic Research Center/ PEARC-Aceh.
Saat ini semakin riuh-rendah suara ditengah ruang publik, partai politik nasional dan lokal, para tim sukses, beberapa lembaga survei sibuk menawarkan, mempromosikan serta menjajakan calon pemimpim ataupun elite kepala daerah, baik Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, sehingga terlihat sibuk dan ramai. Bahkan dengan berbagai embel-embel “pestasi semu” dan bakat yang dimiliki dari masing-masing calon ditonjolkan bahkan ada yang berlebihan, seolah-olah rakyat ataupun publik tidak mengetahui “track record” maupun rekam jejak orang-orang yang ditawarkan.
Kondisi hari ini ternyata Aceh sangat miris dan mengalami krisis kepemimpinan baik dieksekutif maupun legislatif, sehingga yang semestinya pemimpin lahir secara alamiah, berproses secara natural serta matang, pada kenyataannya bahwa, pemimpin saat ini di”karbit”, ditawarkan melalui berbagai media dan jaringan media sosial yang aktif ditengah komunikasi politik modern. Sehingga rakyat semakin dibingungkan dengan model tawaran bahkan tidak tanggung-tanggung menggunakan lembaga survei untuk meng”koding”, melakukan “rating” dan urutan pilihan, seolah-olah orang tertentu populer dipilih dan diasumsikan rakyat tidak paham metodologi analisis dan pendekatan survei, yang dibuat seakan-akan menggunakan menggunakan cara-cara ilmiah intelektual dan landasan ilmu pengetahuan sosial-politik modern.
Karena itu, melihat kondisi yang berkembang saat ini, ternyata ruang publik dimanfaatkan untuk mengembangkan komunikasi politik seperti “ajang pencarian bakat pemimpin”, hampir persis sama seperti ajang pencarian bakat artis untuk dipopulerkan, kemudian pada saat yang akan datang mendapatkan keuntungan dari popularitas dan banyak pesanan untuk digunakan dan dimanfaatkan penempilannya, baik untuk menghibur melalui nyanyian suara ataupun peran film, sinetron, drama berseri dan lain sebagainya. Dengan demikian, dalam konteks politik ternyata Aceh yang segera berhadapan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak, pada Rabu 27Nopember 2024 mendatang seperti tanpa arah, tanpa pemimpin yang kharismatik lahir berproses secara alamiah, akan tetapi lahir dari tawaran dan promosi dari partai politik (nasional dan lokal), orang yang diujuk-ujuk oleh kelompok/komunitas masyarakat tertentu, lembaga survei dan lain sebagainya.
Sesungguhnya dalam konteks demokrasi politik modern, pemimpin ataupun elite tersebut dapat saja lahir dari partai politik, komunitas masyarakat ataupun organisasai massa (Ormas), kelompok intelektual/akademisi kampus yang berintegritas dan banyak lagi perkumpulan dan kelompok lainnya. Jadi tidak dengan cara seperti tawaran “ajang pencarian bakat” yang sama sekali belum dapat dipastikan memiliki integritas, kompetensi, kemampuan leadership dan memiliki komitmen tinggi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. Dengan demikian, ruang publik hari ini seperti ajang pencarian bakat pemimpin dan elite Aceh untuk mengikuti Pilkada Nopember 2024 yang akan datang, tidak lagi dimanfaatkan oleh kelompok ataupun orang tertentu yang melakukan “marketing politik”, melakukan praktik yang sama seperti ajang pencarian bakat.
Dengan demikian, pemimpin itu secara politik akan melalui proses serta ujian yang sangat sensitif, terukur, terstruktur dan akan lahir dengan sendirinya seperti yang diharapkan rakyat Aceh. Jadi jika praktik penjaringan seperti ajang pencarian bakat, dapat dipastikan memerlukan modal (kapitalisasi) prolitik sejak awal. Selanjutnya setelah berproses dan menang akan memanfaatkan jabatan tersebut untuk mencari kekayaan pribadi, kelompok, partai politik, tim sukses dan lain sebagainya, jauh dari usaha untuk merubah kehidupan rakyat Aceh, dan atau mementingkan peubahan kehidupan, kemakmuran dan kesejahteraan sesungguhnya yang diharapkan rakyat Aceh.
Leave a Review