Pers Bukan untuk Wartawan Gadungan

Ilustrasi: Kompasiana

Oleh: Apriadi Rama Putra

Dalam pentas sejarah bangsa ini berdiri, jurnalisme identik dengan keberanian, perlawanan demi memperjuangkan nasib orang banyak. Jurnalisme bicara tentang orang-orang yang menantang kuasa demi kebenaran. Tentang mereka yang menulis dengan tinta perjuangan, bukan angka di rekening. Tapi kini, apa yang kita saksikan? Pers bukan lagi soal idealisme, melainkan strategi dagang. Berita tak lagi sekadar informasi, tapi barang dagangan. Pers bukan lagi corong keadilan, tapi alat pemerasan.

Peringatan Hari Pers Nasional 2025, kita semestinya merayakan kebebasan pers. Tapi apa yang tersisa untuk dirayakan? Koran-koran besar tunduk pada pemilik modal, televisi nasional diatur kepentingan politik, dan media digital ramai-ramai menjual klik dengan judul bombastis. Lebih ironis lagi, muncul kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pers hanya untuk mengejut-ngejuti pejabat. Bukan mencari kebenaran, tapi mencari keuntungan pribadi.

Jadi, benarkah kita masih punya pers yang merdeka? Atau justru kita sedang menyaksikan era baru di mana pers menjadi senjata bagi mereka yang paling mampu membayar?

Pers seharusnya menjadi penjaga demokrasi. Tapi bagaimana kalau penjaga itu justru menjual keamanannya? Di banyak daerah, kita melihat fenomena unik; organisasi pers yang lebih mirip organisasi preman berkedok media. Modusnya simpel. Mereka mengumpulkan data, mencari celah pejabat, lalu menghadap dengan dua pilihan; bayar atau kami buka ke publik.

Ini bukan sekadar tuduhan kosong. Kita bisa melihatnya di banyak kasus, di mana media digunakan bukan untuk menyuarakan kebenaran, tetapi untuk menekan, menakut-nakuti, dan memeras. Wartawan gadungan bermunculan, membawa kartu pers yang lebih sering digunakan untuk menghindari razia polisi ketimbang meliput berita. Sementara itu, media yang benar-benar independen justru kesulitan bertahan karena minimnya dukungan finansial.

Kita mungkin bisa mengingat skandal Watergate di Amerika Serikat, di mana jurnalisme investigasi mengungkap aib terbesar dalam sejarah kepresidenan AS. Tapi di sini? Investigasi bukan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk mencari harga tertinggi.

Jika dibiarkan, jurnalisme kita akan kehilangan esensinya. Bukannya menjadi anjing penjaga demokrasi, ia justru berubah menjadi calo informasi yang hanya bekerja untuk mereka yang bisa membayar lebih.

Fenomena ini juga tak bisa dilepaskan dari ekosistem bisnis media yang semakin berorientasi keuntungan. Media besar hari ini bukan lagi lembaga independen, melainkan kepanjangan tangan dari pemilik modal dan kepentingan politik tertentu.

Misalnya, media televisi. Banyak dari kita merasa jengah melihat berita yang tak lebih dari propaganda terselubung. Ada media yang selalu membela penguasa, ada pula yang kerjaannya hanya mencari celah untuk menyerang oposisi. Netralitas? Itu jadi barang langka.

Tak jauh berbeda, media daring pun semakin sulit dibedakan dengan kanal gosip. Clickbait menjadi strategi utama, dan berita hoaks seringkali lebih laris daripada fakta yang membosankan. Akibatnya, informasi bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal mana yang lebih laku dijual.

Di Indonesia, kita juga pernah punya pers yang berani. Ingat bagaimana Tempo dibredel karena mengkritik rezim? Tantangannya bukan lagi pemerintah yang represif, melainkan industri media yang telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi yang lebih berorientasi laba ketimbang kebenaran.

Lalu, apakah kita hanya bisa pasrah? Tentu tidak.

Ada beberapa langkah yang bisa diambil agar pers bisa kembali ke marwahnya. Pertama, regulasi yang lebih ketat terhadap media abal-abal. Pers harus diawasi oleh lembaga independen yang bisa memastikan bahwa setiap wartawan yang bekerja benar-benar punya kompetensi, bukan sekadar pemegang kartu pers palsu.

Kedua, literasi media untuk masyarakat. Selama publik masih mudah percaya pada berita tanpa verifikasi, media tak bermoral akan terus tumbuh subur. Kita harus mulai membiasakan diri untuk mengecek kebenaran informasi, bukan sekadar menelan mentah-mentah apa yang kita baca.

Ketiga, dukungan terhadap media independen. Jika kita ingin pers yang berkualitas, kita juga harus mau mendukungnya. Membayar untuk berita berkualitas jauh lebih baik daripada terus mengonsumsi berita gratis yang penuh manipulasi.

Kita harus ingat bahwa pers yang sehat adalah pilar penting dalam demokrasi. Jika pers rusak, maka suara rakyat pun ikut teredam. Seperti yang dikatakan Soe Hok Gie, “Lebih baik diasingkan dari pada menyerah pada kemunafikan.” Begitu pula dengan pers, lebih baik kecil dan idealis dari pada besar tapi menjual prinsip.

Hari Pers Nasional seharusnya menjadi momen refleksi. Bukan hanya untuk wartawan dan media, tapi juga bagi kita semua sebagai konsumen informasi. Kita harus bertanya; apakah kita masih punya pers yang bisa dipercaya? Atau justru kita sudah terbiasa hidup dalam kebohongan yang dikemas sebagai berita?

Kita bisa belajar dari jurnalis legendaris seperti Upton Sinclair, yang bukunya The Jungle mengubah regulasi industri makanan di Amerika. Jurnalisme seharusnya punya dampak, bukan sekadar menjadi alat intimidasi. Saatnya kita menuntut pers yang lebih baik. Bukan yang hanya mencari sensasi, tapi yang benar-benar bekerja untuk kepentingan rakyat. Kepentingan agar rakyat tidak dimanipulasi oleh penguasa dengan segala krooni-kroninya yang semakin menderita.

Selamat Hari Pers Nasional. Semoga tahun depan, kita punya lebih banyak alasan untuk merayakannya.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi