Oleh : Inez Faiza Syafiyah
Mahasiswa Hukum UBB
Dalam era kemajuan teknologi yang serba cepat dan penuh tuntutan ini, keseimbangan antara tekanan pekerjaan dan kesehatan mental karyawan sering kali terabaikan. Masing-masing pihak berlomba dan menjatuhkan untuk menjadi yang terbaik. Sehingga menciptakan dampak jangka panjang yang merugikan baik bagi karyawan maupun perusahaan. Stres dan kecemasan di tempat kerja telah menjadi isu yang semakin kompleks dan mendesak untuk ditangani di era modern ini.
Banyak faktor yang menyebabkan stres di tempat kerja, mulai dari tekanan target yang tidak realistis, kurangnya dukungan dari atasan atau rekan kerja, hingga masalah yang lebih serius seperti senioritas yang berlebihan, kekerasan, diskriminasi, atau bullying.
Praktik-praktik semacam ini, selain merusak hubungan antar karyawan, juga bisa mempengaruhi kesehatan mental dan fisik karyawan. Bahkan dalam beberapa kasus yang lebih ekstrem, kondisi ini berujung pada keputusan tragis seperti bunuh diri. Oleh karena itu, perusahaan memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang mendukung kesejahteraan mental dan emosional karyawan, yang pada gilirannya akan meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan itu sendiri.
Di Indonesia, hukum ketenagakerjaan memberikan landasan yang kuat bagi perlindungan hak-hak pekerja, baik fisik maupun mental. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur dengan tegas hak-hak pekerja atas lingkungan kerja yang aman dan sehat, baik dari segi fisik maupun psikologis.
Dalam Pasal 86 UU Ketenagakerjaan, ditegaskan bahwa pekerja berhak atas perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini mencakup bukan hanya perlindungan terhadap cedera fisik, tetapi juga terhadap kondisi yang dapat membahayakan kesehatan mental pekerja. Kondisi kerja yang penuh tekanan, intimidasi, atau diskriminasi, apabila dibiarkan, dapat mengganggu kesehatan mental pekerja, yang pada akhirnya akan menurunkan kualitas hidup dan kinerja mereka.
Selain itu, pasal-pasal dalam UU tersebut juga memberi pemahaman bahwa hak atas perlakuan yang manusiawi di tempat kerja sangat penting. Hal ini termasuk hak untuk tidak mengalami intimidasi atau kekerasan, yang sering kali terjadi akibat budaya senioritas yang tidak sehat. Dalam praktiknya, sering kali atasan atau senior merasa berhak untuk memperlakukan bawahannya dengan cara yang tidak pantas, yang dapat menimbulkan stres dan kecemasan berlebihan. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki kebijakan yang tegas dan jelas untuk mencegah terjadinya kekerasan di tempat kerja dan memastikan bahwa semua karyawan, tanpa memandang posisi, diperlakukan dengan hormat.
Perusahaan perlu mengambil langkah-langkah konkrit dalam menciptakan tempat kerja yang bebas dari stres dan kecemasan. Salah satunya adalah dengan mengembangkan kebijakan manajemen stres yang jelas dan sistematis. Misalnya, dengan mengatur beban kerja yang realistis, memberikan ruang bagi karyawan untuk menyuarakan perasaan mereka, serta menyediakan program kesejahteraan yang menyeluruh. Ini bisa mencakup layanan konseling, program relaksasi, atau pelatihan keterampilan untuk mengelola stres dan kecemasan.
Dengan demikian, karyawan tidak hanya diperlakukan sebagai sumber daya manusia yang diharapkan menghasilkan output tinggi, tetapi juga sebagai individu yang perlu dihargai dan diperhatikan kesejahteraan fisik dan mentalnya. Dalam hal ini, peran manajer atau pimpinan perusahaan sangat vital. Mereka harus menjadi contoh dalam menerapkan prinsip-prinsip kesejahteraan mental dan menciptakan iklim kerja yang sehat. Seorang pemimpin yang bijak akan memahami pentingnya komunikasi terbuka, saling menghargai, dan memberikan dukungan kepada karyawan yang membutuhkan. Pimpinan perusahaan harus berkomitmen untuk menciptakan kebijakan yang melindungi karyawan dari stres yang berlebihan dan menciptakan atmosfer kerja yang mendukung perkembangan karyawan secara menyeluruh.
Namun, tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas pada pengelolaan stres di dalam kantor. Perusahaan juga harus memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi pekerja. Ketika karyawan mengalami masalah di luar pekerjaan, seperti masalah keuangan atau keluarga, hal ini tentu bisa mempengaruhi kinerja mereka di tempat kerja.
Oleh karena itu, perusahaan perlu menyediakan fasilitas atau program yang dapat membantu karyawan dalam mengatasi masalah pribadi, seperti tunjangan kesehatan mental, program bantuan sosial, atau fleksibilitas waktu kerja. Dengan memberikan dukungan kepada karyawan di luar aspek pekerjaan, perusahaan tidak hanya meningkatkan kesejahteraan mental mereka tetapi juga menunjukkan kepedulian yang akan meningkatkan loyalitas dan rasa bangga bekerja di perusahaan tersebut.
Perusahaan harus memahami bahwa masalah stres dan kecemasan tidak hanya mempengaruhi kesejahteraan individu, tetapi juga dapat menurunkan produktivitas dan kinerja secara keseluruhan. Karyawan yang merasa tertekan atau tidak dihargai akan cenderung merasa tidak termotivasi, yang pada akhirnya berdampak pada kinerja mereka dan atmosfer kerja yang kurang sehat. Oleh karena itu, perusahaan perlu memastikan bahwa mereka tidak hanya berfokus pada aspek fisik dan finansial pekerja, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan mental mereka.
Salah satu langkah yang dapat diambil oleh perusahaan adalah dengan menerapkan kebijakan yang melarang segala bentuk kekerasan, bullying, dan diskriminasi di tempat kerja. Ini termasuk senioritas yang tidak sehat, di mana atasan atau senior merasa berhak untuk memperlakukan karyawan yang lebih junior dengan cara yang tidak pantas. Kebijakan ini harus diikuti dengan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang terjadi dan menciptakan saluran komunikasi yang aman bagi karyawan untuk melaporkan masalah yang mereka hadapi. Dengan memastikan bahwa tidak ada karyawan yang merasa terintimidasi atau terpinggirkan, perusahaan dapat menciptakan budaya kerja yang lebih inklusif dan harmonis.
Sebagai tambahan, dalam aspek regulasi, meskipun Undang-Undang Ketenagakerjaan telah memberikan landasan hukum bagi perlindungan kesehatan mental, implementasi kebijakan ini sering kali masih terbatas. Oleh karena itu, perusahaan perlu bekerja sama dengan pemerintah dan lembaga terkait untuk memperkuat implementasi kebijakan ini dan memastikan bahwa setiap pekerja mendapatkan haknya untuk bekerja di lingkungan yang aman dan mendukung. Pemerintah juga dapat lebih proaktif dalam melakukan pengawasan terhadap praktik-praktik yang merugikan kesehatan mental pekerja di tempat kerja, sehingga hak-hak pekerja tidak hanya bersifat formal di atas kertas, tetapi juga terealisasi dengan baik.
Secara keseluruhan, peran perusahaan dalam mengurangi stres dan kecemasan di tempat kerja sangatlah penting dan tidak bisa dianggap sepele. Ini bukan hanya tentang mengurangi risiko hukum atau reputasi perusahaan, tetapi lebih kepada tanggung jawab sosial perusahaan untuk menjaga kesejahteraan karyawan, yang pada gilirannya akan membawa manfaat jangka panjang bagi produktivitas dan keberlanjutan perusahaan.
Sebagai entitas yang memiliki kekuatan dan sumber daya, perusahaan harus bertindak proaktif dalam menciptakan lingkungan kerja yang sehat dan mendukung, serta memastikan bahwa setiap karyawan merasa dihargai, didukung, dan aman di tempat kerja.
Selain kebijakan preventif, perusahaan juga harus menyediakan fasilitas yang mendukung kesehatan mental karyawan. Ini dapat berupa program konseling, sesi pelatihan manajemen stres, atau fasilitas rekreasi yang memungkinkan karyawan untuk melepaskan ketegangan dan stres.
Perusahaan yang peduli terhadap kesehatan mental karyawan akan membantu mereka untuk lebih mudah mengatasi masalah pekerjaan maupun masalah pribadi yang berpotensi menyebabkan stres. Selain itu, perusahaan juga perlu membangun komunikasi yang terbuka dan mendukung antara manajemen dan karyawan. Pemimpin perusahaan harus memiliki sikap yang empatik dan mendengarkan keluhan atau perasaan karyawan. Keberadaan kebijakan “pintu terbuka”, di mana karyawan merasa nyaman untuk menyampaikan masalah atau ketidakpuasan mereka, dapat membantu mengurangi rasa cemas dan stres yang dirasakan. Pemimpin yang memahami pentingnya kesejahteraan mental akan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung produktivitas dan loyalitas karyawan.
Leave a Review