Oleh : Danu Abian Latif
Penulis buku opini nakal untuk indonesia.
Pada 26 Maret 2025, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai angka 16.580, sebuah angka yang menunjukkan pelemahan yang signifikan. Angka ini mendekati level terendah yang tercatat pada krisis moneter tahun 1998, yang memberikan kesan bahwa Indonesia tengah menghadapi masalah ekonomi yang serupa. Anjloknya nilai rupiah ini bukan hanya sekadar masalah angka, tetapi juga membawa dampak luas bagi perekonomian negara dan kehidupan masyarakat. Menariknya, jika kita menelusuri penyebab dan dampak dari fenomena ini, kita dapat melihat adanya kemiripan dengan masa pemerintahan Soeharto, terutama pada periode krisis ekonomi 1997-1998.
Anjloknya Rupiah
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada tahun 2025 disebabkan oleh berbagai faktor, baik yang bersifat eksternal maupun internal. Salah satu faktor utama adalah ketidakpastian ekonomi global. Dalam beberapa tahun terakhir, ketegangan geopolitik, terutama yang melibatkan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan China, menciptakan ketidakstabilan yang mempengaruhi pasar global, termasuk pasar valuta asing. Di sisi lain, kebijakan moneter Amerika Serikat yang lebih ketat dengan peningkatan suku bunga juga turut memperburuk posisi mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketika suku bunga AS naik, dolar AS menjadi lebih menguntungkan, sehingga investor cenderung memindahkan dananya ke aset-aset dolar yang dianggap lebih aman, meninggalkan negara-negara berkembang dengan tekanan mata uang.
Selain itu, kebijakan fiskal Indonesia yang sangat ambisius di tahun-tahun terakhir, yang mencakup berbagai program sosial dan pembangunan besar, meningkatkan kebutuhan pembiayaan melalui utang luar negeri. Ketergantungan Indonesia pada utang luar negeri yang lebih besar, ditambah dengan fluktuasi nilai tukar yang tajam, membuat perekonomian Indonesia semakin rentan terhadap guncangan eksternal. Pemerintah Indonesia juga menghadapi kesulitan dalam menjaga keseimbangan anggaran, mengingat meningkatnya pengeluaran dan defisit yang terus berkembang.
Di sisi lain, defisit transaksi berjalan Indonesia juga berkontribusi pada pelemahan rupiah. Indonesia yang masih bergantung pada impor, baik untuk bahan baku industri maupun energi, menghadapi lonjakan biaya impor akibat penguatan dolar AS. Sementara ekspor Indonesia belum mampu tumbuh signifikan untuk menyeimbangkan arus impor, ini semakin memperburuk neraca pembayaran negara.
Dampak untuk Negara
Dampak pertama yang langsung terasa akibat anjloknya nilai tukar rupiah adalah peningkatan beban utang luar negeri. Indonesia yang memiliki utang dalam dolar AS kini harus mengeluarkan lebih banyak rupiah untuk membayar kewajiban tersebut. Ini berarti, semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan semakin memperburuk defisit anggaran dan meningkatkan tekanan pada fiskal negara. Ketergantungan yang tinggi pada utang luar negeri ini, terutama yang berbentuk dolar, menciptakan beban pembayaran yang terus meningkat setiap kali rupiah melemah.
Pelemahan rupiah juga berpengaruh langsung pada inflasi. Indonesia sangat bergantung pada barang-barang impor, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun bahan baku industri. Kenaikan harga barang-barang impor akibat pelemahan rupiah akan meningkatkan biaya hidup masyarakat, khususnya pada barang-barang kebutuhan pokok seperti bahan bakar, pangan, dan barang konsumsi lainnya. Kenaikan harga barang-barang ini dapat memicu inflasi yang lebih tinggi, yang pada gilirannya akan mengurangi daya beli masyarakat.
Selain itu, ketidakpastian ekonomi yang ditimbulkan oleh pelemahan rupiah dapat menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Jika ketidakpastian ini berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan investasi yang sangat dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian. Di sisi lain, jika investor asing menarik dananya, ini akan memicu arus keluar modal yang lebih besar dan semakin menekan nilai tukar rupiah.
Dampak untuk Masyarakat
Bagi masyarakat Indonesia, dampak dari pelemahan rupiah sangat terasa, terutama bagi mereka yang bergantung pada barang-barang impor dan mereka yang memiliki pendapatan tetap. Kenaikan harga barang-barang impor, seperti bahan bakar dan bahan pangan, menyebabkan lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok. Bagi masyarakat yang pendapatannya tidak mengalami kenaikan seiring dengan inflasi, kondisi ini menjadi sangat sulit. Mereka akan menghadapi dilema dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pelemahan rupiah juga memberikan dampak besar bagi perusahaan-perusahaan yang mengandalkan bahan baku impor. Banyak perusahaan yang menggunakan bahan baku yang didapat dari luar negeri, seperti sektor manufaktur dan barang-barang konsumsi. Kenaikan biaya bahan baku ini akhirnya harus diteruskan pada konsumen dalam bentuk kenaikan harga barang. Ini akan menurunkan daya beli masyarakat yang sudah tertekan dengan inflasi. Selain itu, perusahaan yang memiliki utang luar negeri dalam bentuk dolar AS juga akan menghadapi kesulitan dalam membayar utangnya, yang berpotensi menyebabkan kebangkrutan bagi sejumlah perusahaan, terutama UMKM yang tidak memiliki cadangan likuiditas yang cukup.
Bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, yang tidak memiliki akses mudah ke sumber daya keuangan, dampak ini sangat serius. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok dapat memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi, bahkan mengorbankan kualitas hidup mereka. Hal ini juga akan meningkatkan kesenjangan sosial, di mana yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin terpuruk.
Mengkomparasikan dengan Masa Soeharto
Melihat fenomena anjloknya nilai rupiah saat ini, tak bisa tidak kita ingat pada era pemerintahan Soeharto, terutama pada krisis moneter 1997-1998. Pada masa tersebut, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat parah, di mana nilai tukar rupiah terdepresiasi tajam terhadap dolar AS. Pada masa itu, rupiah sempat mencapai nilai 16.650 per dolar, angka yang hampir sama dengan nilai tukar rupiah saat ini. Penyebab dari krisis tersebut juga sangat mirip dengan penyebab yang kita hadapi saat ini, yaitu tingginya ketergantungan pada utang luar negeri dan lemahnya daya saing ekonomi domestik.
Pada masa Soeharto, pemerintah Indonesia sangat bergantung pada utang luar negeri untuk membiayai berbagai proyek pembangunan besar yang ambisius. Namun, ketika kepercayaan investor terhadap ekonomi Indonesia mulai menurun pada tahun 1997, negara ini tidak mampu lagi membayar utang luar negeri dengan mata uang yang terdepresiasi, yang pada gilirannya menyebabkan krisis ekonomi yang lebih dalam. Pada saat yang sama, ketergantungan terhadap impor barang-barang kebutuhan pokok membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan krisis global.
Salah satu kesalahan fatal yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto adalah kebijakan ekonomi yang terlalu bergantung pada sektor luar negeri, tanpa memperkuat sektor domestik. Ketergantungan pada utang luar negeri dan pasar ekspor, sementara tidak memperhatikan penguatan sektor industri domestik, menjadikan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan kondisi global. Masalah yang sama kini kembali muncul, di mana Indonesia masih sangat bergantung pada utang luar negeri dan impor barang-barang kebutuhan.
Namun, meskipun kita melihat adanya kesamaan dengan krisis 1998, ada beberapa perbedaan. Salah satunya adalah Indonesia sekarang memiliki sistem perekonomian yang lebih terbuka, dengan sektor yang lebih diversifikasi. Pemerintah Indonesia juga lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi krisis ekonomi dan telah memperkenalkan beberapa langkah untuk mengurangi dampak buruk dari krisis seperti ini.
Anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini mengingatkan kita pada krisis ekonomi yang pernah melanda Indonesia pada tahun 1997-1998. Meskipun terdapat kemiripan dalam penyebab dan dampak, kita tidak boleh melupakan perbedaan konteks ekonomi yang ada. Pemerintah Indonesia kini harus mengambil langkah-langkah yang bijak dalam mengelola kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah ini. Langkah-langkah untuk memperkuat sektor domestik, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan meningkatkan daya saing ekspor harus menjadi prioritas agar Indonesia tidak jatuh ke dalam jurang krisis yang lebih dalam seperti yang terjadi pada masa Soeharto.
Leave a Review