Penulis menyebut per 21 November 2023 merupakan titik awal gerak deras arus penolakan Rohingya di Indonesia, terutama di wilayah Tanoh Rencong, Serambi Mekah serta julukannya sebagai “nanggroe teulebeh ateuh rong donya”, hingga “adat pemulia jamee. Jangan tanyakan lagi soal gairah semangat bersyariat Islam rakyatnya. Sebagai bangsa Aceh yang kemudian menjalankan aktivitas sebagai bangsa-bangsa yang bernegara (nation), menjadikan Indonesia gagah dan berani mengatakan kepada; kemanusiaan dan beradab.
Kini, adanya sikap acuh tak acuh terhadap pengungsi Rohingya yang menyulut berbagai provokasi secara tidak langsung kita patut mengenang kebanggaan apa yang dilakukan oleh presiden Soeharto pada masanya. Presiden Soeharto degngan gagahnya siap menampung lebih dari dua ratus lima puluh ribu pengungsi Vietnam sejak tahun 1996. Kini, per 1 januari 2024, di Aceh tercatat lebih dari seribu enam ratus-san pengungsi Rohingya.
Seiring dengan meningkatnya gelombang penolakan pengungsi Rohinya di berbagai negara, Aceh yang dulunya pernah menjadi daerah (bangsa) yang satu-satunya berani dan gagah menyatakan sikap untuk menerima pengungsi Rohingya dengan alasan kemanusiaan dan saudara seagama (Islam). Namun semua itu dapat disebut merupakan romantika atau “bulan madu” rakyat Aceh dengan pengungsi Rohingya sekitar tahun 2009.
Tampaknya, sejak Maret hingga November 2023, bangsa Aceh secara tidak langsung telah menyatakan “cerai” pada pengungsi Rohingya setelah “bulan madu” yang pernah mengatasnamakan agama dan kemanusiaan. Alasannya dipaksa masuk akal, yaitu persoalan sosial, kriminal dan hingga pengungi Rohingya susah diatur dan meciptakan keresahan publik.
Untuk itu, bangsa Aceh kini seperti mengesampingkan persoalan tauhid (Islam) dan kemanusiaan karena sebuah dampak yang disebut dalam bahasa Aceh “kaleuh dijok hate, ka dilakee jantong”. Tafsiran sosial politik dari kalimat bahasa Aceh tersebut dapat menjadi benang merah terkait jawaban sederhana mengapa rakyat (bukan warga) Aceh saat menolak (mengusir) Rohingya dari bumi Serambi Mekkah.
Bagi bangsa Aceh, mungkin ada lirik lagu yang cocok dengannya, yaitu, “kau yang dulu (Rohingya) bukanlah kau (Rohingya) yang sekarang, dulu kau (Rohingya) kusayang, kini kau (Rohingya) kutendang”. Lagu fiksi ini secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa bangsa Aceh nyaris telah menutup pintu hatinya akibat gelolak provokasi tidak menentu di tengah gelombang cara main teknologi digital masa kini.
Kedigdayaan media sosial di Aceh, bahkan Indonesia telah sukses menggeser bahwa tujuan dibentuknya negara dan kesadaran beragama juga untuk ikut terlibat dalam menciptakan ketertiban dunia dan menyelamatkan manusia. Kedigdayaan media sosial secara tidak langsung telah membuat bangsa ini sempit bagi prkasis kemanusiaan.
Demikian pula dalam pemaknaan bangsa Indonesia. Bangsa ini mungkin terlalu sempit untuk mengurus secara tegas dan terukur persoalan-persoalan kemanusiaan. Jusru Indonesia tampak seperti menjadi bangsa surga bagi koruptor, namun sempit bagi kemanusiaan. Bagi bangsa Indonesia; terkesan jangankan memikirkan pengungsi Rohingya, nasib rakyat sendiripun tidak serius diurus.
Saat ini, semua mata menyaksikan. Kekuatan yang peduli dan menerima keberadaan pengungsi Rohingya justru menjadi bahan nyinyiran di jagat maya. Sementara yang menolak Rohingya tampil seperti pejuang, seperit i-ron man dan Tor yang seolah-olah untuk kepentingan rakyat dan daerah.
Pegungsi Rohingya saat ini telah menjadi bola yang secara bergiliran dilempar ke sana dan kesini. Kekuatan suatu bangsa yang awalnya dianggap canggih dalam menyelesaikan “ketidakbecusan” sosial politik, justru kekuatan bangsa hari ini semakin ciut dengan tidak menyebutnya lumpuh seketika di hadapan manusia-manusia yang nyata-nyatanya sedang mengalami praktik kebinatangan dari negeri asalnya.
Sejatinya ada banyak kisah dan fakta yang tak terungkap di balik peristiwa maraknya pengusiran pengungsi Rohingya di Aceh, maupun di level Indonesia. Di antaranya adalah terkait tangan-tangan yang tak terlihat yangg dianggap juga turut bermain dalam mengurus agar bangsa ini semakin sempit pada praktik memanusiakan manusia.
Ada yang menyebutnya pihak yang merasa bertanggung jawab untuk mengamankan, namun justru menyulut keributan. Ada yang merasa memberi pencerahan namun sebagai alat penggiringan. Ada yang mengatasnamakan demi rakyat namun berperilaku seperti orang-orang yang akan dilaknat. Lantas, apakah jadinya bangsa ini jika terus-terusan disempitkan? Mungkin riak gelombang yang menjadi saksi bisu dari penolakan pengungsi Rohingya di sejumlah bibir pantai Indonesia dapat memberikan kisi-kisi jawabannya.
Oleh: Zulfata – Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM) dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan
Leave a Review