Oleh: Apriadi Rama Putra
Ketika berbicara tentang pembangunan, kita sering kali berbicara tentang visi besar, infrastruktur megah, dan perubahan yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih fundamental yang sering kali terabaikan: proses perencanaan. Di Aceh Tenggara, isu ini menjadi sangat mencolok dengan adanya dugaan bahwa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa) dan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di berbagai tingkatan pemerintahan hanya berjalan secara formalitas, tanpa esensi yang sebenarnya.
Kabar yang beredar di Aceh Tenggara bahwa proses administrasi terkait RPJM Desa dan Musrenbang tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mengingat posisi strategis dan peran vital dari RPJM Desa, kondisi ini sangat memprihatinkan. Sebagai dokumen perencanaan jangka menengah yang berfungsi untuk mengarahkan pembangunan desa selama enam tahun, RPJM Desa seharusnya menjadi pedoman utama dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Namun, kenyataan yang terjadi seolah jauh dari harapan.
Kita tentu bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang penjabat (Pj) Bupati, seperti Drs. Syakir M.Si, yang dikenal sebagai sosok yang taat administrasi, bisa membiarkan hal ini terjadi? Apakah ada faktor lain yang mempengaruhi, seperti permainan kepentingan di balik layar? Pertanyaan ini penting, mengingat kepemimpinan yang taat administrasi seharusnya tidak hanya tertulis dalam slogan, tetapi juga terlihat dalam tindakan nyata yang berdampak langsung pada masyarakat.
RPJM Desa bukanlah sekadar dokumen biasa. Ia memuat visi dan misi kepala desa serta arah kebijakan pembangunan desa. Dengan adanya RPJM Desa yang terstruktur dengan baik, desa dapat merencanakan berbagai kegiatan seperti penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, hingga pemberdayaan masyarakat. Semua ini bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan desa sesuai dengan potensi dan kebutuhan lokal di Aceh Tenggara. bukan hanya tong kosong nyaring bunyinya.
Namun, tanpa adanya implementasi yang tepat, semua rencana tersebut hanya akan menjadi sekadar wacana tanpa realisasi. Apalagi jika Musrenbang, yang seharusnya menjadi forum partisipatif untuk menyusun dan menyepakati perubahan atau penyesuaian RPJM Desa, tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh. Ketika Musrenbang hanya dijadikan sebagai formalitas, maka partisipasi masyarakat yang diharapkan dapat mendorong pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan pun hanya menjadi ilusi belaka.
Dampak dari tidak berjalannya RPJM Desa dan Musrenbang dengan baik sangatlah besar. Pertama, hal ini menunjukkan adanya ketidakseriusan (Pj) Bupati Aceh Tenggara dalam perencanaan pembangunan di tingkat desa yang akan berdampak langsung pada kualitas hidup masyarakat desa. Ketika perencanaan tidak dilakukan dengan baik, maka implementasi program-program pembangunan juga akan terganggu, yang pada akhirnya merugikan masyarakat desa yang menjadi target dari program-program siluman.
Kedua, ketidakseriusan ini juga mencerminkan adanya masalah kepemimpinan yang lebih dalam. Jika (Pj) Bupati tidak dapat memastikan bahwa proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat desa berjalan dengan baik, maka hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam tata kelola pemerintahan yang dapat menghambat upaya pembangunan secara keseluruhan. Kepemimpinan yang tidak efektif akan berdampak negatif pada berbagai aspek, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik.
Ketiga, hal ini juga bisa membuka ruang bagi praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. Ketika proses perencanaan hanya dijalankan sebagai formalitas, maka transparansi dan akuntabilitas menjadi lemah. Akibatnya, ada kemungkinan bahwa dana-dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa perencanaan yang baik harus benar-benar diimplementasikan, bukan hanya sebagai formalitas belaka.
Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya komitmen yang kuat dari semua pihak, terutama dari para pemimpin daerah dan pemerintah desa. Pertama, perlu ada pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan RPJM Desa dan Musrenbang di semua tingkatan. Pengawasan ini tidak hanya datang dari pemerintah pusat atau provinsi, tetapi juga dari (Pj) Bupati itu sendiri. Partisipasi dalam pengawasan ini akan memastikan bahwa proses perencanaan berjalan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan di Aceh Tenggara.
Kedua, peningkatan kapasitas aparat desa dalam perencanaan dan pengelolaan administrasi sangat penting. Tanpa kemampuan yang memadai, aparat desa tidak akan bisa menyusun RPJM Desa yang efektif dan implementatif. Oleh karena itu, pelatihan dan pendampingan bagi aparat desa harus menjadi prioritas, agar mereka dapat menjalankan tugas mereka dengan baik.
Ketiga, transparansi dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan harus diperkuat. Setiap tahapan perencanaan harus dipublikasikan secara terbuka kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat ikut serta dalam memantau dan memberikan masukan. Dengan demikian, proses perencanaan tidak hanya berjalan sesuai dengan aturan, tetapi juga mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Masalah yang terjadi di Aceh Tenggara terkait tidak berjalannya RPJM Desa dan Musrenbang dengan baik adalah sebuah alarm bagi kita semua terutama bagi (Pj) Bupati. Perencanaan yang baik adalah fondasi dari pembangunan yang sukses, dan ketika proses perencanaan tersebut diabaikan atau hanya dijadikan formalitas, maka yang menjadi korban adalah masyarakat desa. Oleh karena itu, semua pihak, terutama pemimpin daerah, harus mengambil langkah nyata untuk memastikan bahwa perencanaan pembangunan desa berjalan sesuai dengan aturan dan kebutuhan masyarakat. Hanya dengan demikian, kita bisa berharap bahwa desa-desa di Aceh Tenggara, dapat berkembang dan mencapai kesejahteraan yang diharapkan.
Leave a Review