Ketika Anies Kembali Mepet Prabowo

Foto: Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

 

Presiden dan wakil presiden Republik Indonesia resmi diduduki oleh Prabowo-Gibran. Agenda politik Jokowi pun berlanjut. Pada posisi itu, Anies yang pernah dijadikan anti tesa atau simbol perlawanan terhadap pasangan Prabowo-Gibran pada akhirnya luluh dengan alasan politis. Program “Desak Anies” kandas sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden ke-8 republik ini.

Dari semua rentetan dan tahapan pilpres 2024, secara tidak langsung rakyat dapat membaca karakter tokoh publiknya. Mata rakyat semakin terbuka ketik ada suatu poros yang mengusung perubahan dan hendak melepas paksa dari kekuasaan sebelumnya. Ternyata semua itu jelas suatu permaian politik yang usang di zaman ke kinian.

Diakui atau tidak, Anies kini bukan lagi sosok perubahan bagi pemimpin masa depan. Karakter boneka dan politik lompat sana-sini antar penguasa seperti telah menjadi cirinya Anies. Ia pernah merapat ke Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di masa kepemimpinan SBY, pernah merapat ke Jokowi di masa kepemimpinan Jokowi. Pernah merapat ke Surya Paloh karena menguntungkan posisinya. Artinya, politik Anies adalah politik mencari untung pribadi, sebab ia tidak memiliki partai politik.

Sepanjang karir politik Anies mepet pada beberapa penguasa yang pernah memberikan kepercayaan kepadanya, semuanya berakhir pada perlawanan dengan tidak menyebutnya mengkhinati. Buktinya, Anies pernah mengkhianati SBY. Anies pernah mengkhianati Jokowi. Anies pernah mengkhianati Prabowo. Selanjutnya, apalalah Anies akan berlanjut menambah daftar para elite yang akan dikhianatinya? Termasuk mengkhianati Surya Paloh? Akankah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi kenderaan selanjutnya dan kemudian akan dikhianatinya pula? Pada penalaran inilah karir politik Anies tamat di ruang perubahan yang didambakan rakyat jelata.

Atas alasan apapun yang dibumbui Anies saat menerima dan mengucapkan selamat kepada kemenangan Prabowo-Gibran, yang jelas Anies mungkin paham bahwa apa yang dialaminya saat ini pernah dirasakan oleh Prabowo yang gagal ataukah digagalkan pada pilpres 2019. Anies juga pasti paham bagaimana perasahaan saat para pendukungnya kembali menyerangnya ketika ia mepet dengan Prabowo-Gibran. Anies mungkin sangat paham apa konsekuensinya ketika ia mepet terhadap rivalnya. Ada sederet relawan dan partisan kecewa kepada Anies. Dalam konteks inilah sejatinya Anies mesti mengambil pelajaran dari rentang jejak politik Prabowo dalam meraih jabatan presiden Republik Indonesia.

Kini, Anies tidak memiliki partai politik meski masih dibayangi oleh Partai Nasdem, apakah kemudian Nasdem akan menendang Anies keluar atau Anies keluar sendiri mencari induk semang barunya? Semua kemungkinan bisa terjadi, terlebih Anies adalah politisi yang gesit dalam mencari kenderaan politik pelariannya sembari memakai topeng seolah-olah orang baik perwakilan umat toleran dan juga intelektual.

Apakah mepetnya Anies terhadap Prabowo berbanding lurus dengan Prabowo mepet Jokowi pada pilpres 2019? Jawabanya tentu tidak. Sebab mepetnya Anies terhadap Prabowo tidak dalam konteks demi menjaga stabilitas politik pascapemilu, melainkan Anies tidak memiliki sandaran politik apapun selain menyandarkan paksa kapalnya di pelabuhan politik Prabowo. Beda halnya dengan Prabowo yang mepet Jokowi, ia memiliki partai politik, Prabowo pemegang kendali partainya di parlemen. Sementara itu, Anies sementara ini adalah petugas partai Nasdem, ia tidak memegang kendali apapun selain untuk memikirkan bagai mana nasib dirinya sendiri ketika hedak benar-benar anti Prabowo dan anti Gibran (Jokowi).

Belum lagi misalnya kekecewaan masyarakat di daerah suara Anies-Muhaimin (pasangan Amin) menang di pilres 2024. Sebut saja misalnya daerah Sumatera Barat dan Aceh. Dua wilayah ini memenangkan Anies karena Anies dianggap sebagai anti tesis dari Jokowi dan Prabowo. Hanya dengan menjual Anies sebagai anti tesis Jokowi dan Prabowo itulah Anies dapat menang di dua wilayah tersebut. Namun pada akhirnya Anies mengulangi apa yang telah ditempuh Prabowo pada pilpres 2019. Sebab di pilpres 2019, Prabowo menang di dua wilayah tersebut.

Jika dicermati gelagat politik Anies sebagai kontestan di pilpres 2024. Sungguh kepemimpinan merdeka dan aktor perubahan untuk perbaikan pada dirinya memang tidak ada. Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat kuat tanpa ada sokongan politik yang memang dalam genggamannya. Namun demikian, Anies cukup pintar mengemas atau bersandiwara di hadapan rakyat Indonesia bahwa dirinya adalah sosok yang konsisten melawan kezaliman politik. Namun pada akhirnya ia justru mempertontonkan betapa zalimnya dirinya sendiri terhadap pendukungnya yang berharap Anies akan mengambil langkah oposisi.

Apa yang dialami Anies dalam pilpres 2024 mesti dijadikan pembelajaran bagi kontestan pilpres ke depannya. Sehingga apa yang dialami oleh Anies tidak terulangi di kemudian hari, seolah-olah para kontestan tidak pernah belajar dari sejarah pilres di Indonesia. Pada peristiwa inilah Anies tidak paham sejarah, sehingga ia mengambil langkah politik yang pernah dialami oleh Prabowo pada pilpres 2019.

Lantas bagaimana saat ini? Ketika Anies mepet Prabowo? Apakah Anies ke depan akan di-endorse oleh Prabowo layaknya Jokowi meng-endorse Prabowo? Maka jawaban terus terangnya adalah di sinilah karir politik Anies tamat dan tidak layak lagi disebut sebagai simbol revolusioner, melainkan tepat disebut sebagai simbol  omon-omon yang nyata.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi