Oleh: Syarifuddin Abe
Setahu saya, oposisi itu hanya ada dalam dunia politik atau dalam sebuah organisasi. Oposisi itu biasanya lahir dikarenakan perbedaan pandangan dan perbedaan keputusan politik, sehingga pihak tertentu yang menganggap tidak sejalan dengan sebuah keputusan oleh seseorang atau kelompok, sehingga mengambil sebuah keputusan untuk menjadi oposisi. Dalam sebuah kepemimpinan oposisi itu adalah sebuah keputusan sebagai penyeimbang dalam sebuah perjalanan pemerintahan atau organisasi. Adanya oposisi merupakan sehatnya nilai-nilai demokrasi pada sebuah bangsa, pemerintahan atau organisasi.
Tertawa akan menjadi oposisi kalau berhadapan dengan orang yang sedang mengaduh sakit gigi. Anda yang mengajaknya tertawa, anda akan dituduh mengejeknya, mungkin anda akan mendapat setoran hafalan nama-nama hewan dari hutan atau dari kebun binatang. Demikian juga tertawa akan menjadi oposisi pada orang-orang yang sedang marah atau sedang mengalami sesuatu persoalan, seperti lagi mengalami stress atau lagi dalam tekanan atau lagi ada yang menagih utang. Coba saja anda mengajak orang yang sedang marah untuk tertawa misalnya, jangankan sekarung nama binatang anda terima, mungkin juga anda akan dilempar dengan apa saja yang ditemui dihadapannya. Untung-untung juga kalau anda dilembar dengan lembaran uang atau benda berharga lainnya?
Tertawa akan menjadi oposisi juga pada orang-orang yang ingin menjaga wibawa atau menjaga imej. Tertawa akan menjadi musuh terbesarnya hanya takut gara-gara dianggap akan hilang wibawa dan kharisma misalnya. Tertawa bagi orang-orang seperti ini dianggap akan membuat dirinya turun derajat. Tertawa bagi orang-orang seperti ini akan menjadikan dirinya merasa direndahkan oleh bawahannya atau oleh orang-orang disekelilingnya. Mereka akan terus berusaha untuk tidak tertawa, menutup mulutnya rapat-rapat, dipaksa sedapat mungkin untuk tidak tertawa, kalaupun ada yang membuat mereka harus tertawa, mereka akan tertawa dengan berusaha tersenyum yang tidak nampak giginya atau akan tertawa seadanya.
Tertawa juga akan menjadi oposisi pada yang merasa dirinya preman. Bagi mereka tertawa akan menjadikannya tidak disegani, tidak ditakuti atau bahkan akan takut dianggap sebagai preman kelas teri. Akan dianggap sebagai preman rendahan dan preman jadi-jadian. Biasanya mereka akan menghiasi dirinya dengan tato, rambut di gondrong, kumis dibuat tebal dan wajahnya dibikin sangar atau menakutkan.
Bagi orang yang ingin terlihat menakutkan, biasanya dia akan takut kepada tertawa, padalah tertawa tidak pernah menakut-nakutinya. Tuhanpun mungkin tidak dia takuti, satu-satunya yang ia takuti mungkin hanya tertawa, selainnya ia anggap kecil. Dia takut tertawa karena takut direndahkan atau orang menjadi tidak takut padanya.
Padahal tertawa juga tidak pernah merendahkan siapapun, tetapi tertawa tetap akan menjadi sesuatu masalah baginya. Selucu apapun seorang preman, ia akan menyakiti dirinya dengan takut tertawa. Seseram dan sesangar apapun seorang preman atau dia menjadi orang pemberani, tidak pernah takut kepada siapapun, termasuk tidak takut kepada polisi dan tentara, tapi dia tetap takut kepada tertawa. Tertawa bagi mereka akan membuat orang menjadi tidak takut padanya.
Kalau dipikir-pikir, apa hubungannya antara tertawa dengan wibawa? Menurut saya, sewibawa apapun anda, tertawa tetap akan menjadi kebutuhan. Sewibawa apapun anda, tetap tertawa sebagai kebahagiaan. Semakin anda menahan diri untuk tidak tertawa, justru akan menyiksa diri anda dan akan membuat wajah anda tegang dan semakin menua. Kalau tidak mau tertawa terbahak-bahak, ya tertawalah sekedarnya. Kalau tidak sekedarnya, ya tersenyum saja semampunya. Paling tidak, orang akan melihat anda sebagai orang yang ceria dan menyenangi lelucon, apalagi kalau lelucon itu datang dari bawahan atau anak buah anda. Padahal, Tuhan sengaja menciptakan tertawa, mungkin bagi seseorang tertawa inilah satu-satunya kesenangan yang dapat dimilikinya? Mungkin tertawa inilah jalan terakhir yang membuatnya terlihat gembira.
Tulisan ini, sebenarnya terinspirasi dari tulisan Gunawan Mohamad (GM) dalam Catatan Pinggir Nomor 15 (2023), yang berjudul Ketawa, yang secara khusus ditulis oleh GM untuk Butet Kartaredjasa. Di awal tulisannya, GM mengilustrasikan bagaimana seorang samurai dalam sejarah Jepang, khususnya sebagaimana yang digambarkan dalam film Tujuh Samurai. Seorang samurai menjadi sosok yang tidak pernah tertawa, jarang bicara, secara teguh pula mengendalikan gerak dan emosi, melatih dirinya tak mengenal waktu dan akan selalu terampil dengan samurainya. Mereka menjaga dirinya untuk tidak tertawa, hal itu juga membuat humor tidak akan menaklukkan mereka untuk tertawa.
Bagi GM, tertawa adalah sebuah disrupsi bagi sebuah ketertiban. GM sampai mencontohkan bagaimana pada sebuah parade militer Korea Utara (sebenarnya tidak hanya di parade militer Korea Utara) dengan tanpa disengaja ada seorang prajurit yang tertawa? Apa jadinya? Bagaimana kalau anda mengikuti sebuah acara yang sakral, dan tiba-tiba anda tertawa. Anda pasti akan menjadi objek perhatian, kalau tidak anda dianggap main-main, mungkin anda akan dianggap orang yang tidak serius. Anda akan dicap sebagai orang yang tidak menghormati dan menghargai pelaksanaan acara tersebut. Ekstremnya, anda akan dikeluarkan kalau tidak mau disebut diusir. Anda akan menjadi buah bibir sebagai orang yang tidak patuh dan taat pada tradisi. Mungkin juga anda sebagai orang yang tidak memiliki sopan-santun. Atau anda orang yang tidak memiliki adab dan etika.
Tertawa akan menjadi pengganggu pada sebuah kegiatan yang pada saat bersamaan diperlukan keseriusan. Anda bayangkan, apa yang terjadi dalam film berjudul Mr. Bean’s Holiday (2007), sebuah adegan di lokasi pembuatan sebuah film, dalam sebuah suasana tegang karena peperangan, seorang sutradara sedapat mungkin mengarahkan agar mendapatkan hasil yang maksimal. Tiba-tiba hadir seorang Mr. Bean yang notabenenya tersesat dalam perjalanan. Anda bayangkan apa yang terjadi, di samping mengacaukan suasana juga menjadikan lokasi syuting menjadi berantakan. Pada sebuah suasana yang menghendaki tenang dan penuh konsentrasi lalu menjadi ramai dan menyulut emosi sang sutradara. Semua yang sudah dipersiapkan dengan baik, seketika pula berantakan dan kacau. Tanpa sengaja Mr. Bean meledakkan lokasi syuting serta mencelakai sang sutradara yang terkenal sombong dan narsis itu.
Sosok Mr. Bean adalah sosok yang memiliki kebebasan pada dirinya, tidak dapat dipaksakan, terlalu dipaksanakan akan mengacaukan suasana. Film ini mengisahkan tentang Mr. Bean yang memenangkan sebuah undian pada sebuah perlombaan. Hadiahnya juga tidak main-main, yakni mendapatkan tiket berlibur ke Cannes dengan mengenderai kereta, mendapatkan kamera serta uang tunai. Tapi perjalanannya menjadi kacau hanya gara-gara ada seorang anak terpisah dari orang tuanya. Dengan berbagai cara pula, Mr. Bean berusaha untuk membantu agar si anak dapat kembali kepada orang tuanya.
Ada satu pengalaman yang saya alami, ini sangat mengagetkan saya bahkan membuat saya malu sekali. Seorang teman yang dulu saya anggap dekat, bahkan kami sering duduk-duduk sambil berhaha-hihi, tiba-tiba tanpa saya ketahui dan saya duga menjadi orang yang menganggap tertawa saya sebagai oposisi baginya. Suatu ketika, saya sangat perlu bantuan seeorang (saya tidak menyebut bantuan dalam bentuk apa di sini), dalam penuh kebingungan, secara kebetulan saya bertemu dengan sahabat saya itu, dan saya memang ada keinginan menjumpainya juga. Karena saya orang yang bertipe “malu dan takut” ketika meminta tolong pada seseorang. Saya bertemu dengan sahabat saya ini secara kebetulan di suatu tempat. Pertemuan ini juga saya pergunakan untuk meminta pertolongan kepadanya.
Dengan rasa malu dan takut, saya memberanikan diri untuk meminta pertolongan padanya. Karena malu dan rasa takut itu, saya meminta pertolongan padanya dengan cara sedikit tersenyum atau boleh juga diterjemahkan tertawa. Saya dalam keadaan tertawa itu, hanya untuk menutupi rasa malu, rasa tidak enak, bahkan rasa takut saya itu. Teman saya itu mengiyakan dan bahkan akan membantu saya. Dengan rasa senang dan bahagia saya merasa terbebas dari beban yang saya pikul selama ini.
Hari berganti, minggu juga berganti, hingga suatu hari, saya menghubunginya dengan WA, bahwa saya ingin menjumpainya untuk menyerahkan sesuatu seperti yang saya janjikan ketika ia mengiyakan pada pertemuan dulu. Dengan kaget dan membuat saya malu, ternyata senyum atau tertawa saya ketika meminta tolong itu dianggap saya meremeh dan merendahkan kerja dan perjuangannya.
Saya kaget bukan kepalang. Saya malu tak terkira. Betapa sedinya saya. Katanya, dia marah karena saya tertawa seperti merendahkannya. Ia telah berjuang dengan berdarah-darah untuk membangun dari nol kembali, tapi saya mentertawakan perjuangannya. Saya sedih bukan kepalang. Waktu untuk mendapat pertolongan sudah sangat sempit, tinggal menghitung hari. Walaupun saya sudah menjelaskan maksud tertawa saya itu, dia tetap menganggap saya merendahkan perjuangannya. Dalam pikiran saya, seandainya dulu dia mengatakan tidak mau menolong saya juga tidak masalah, saya akan mencari pada yang lain. Di sini, menurut saya bagaimana tertawa menjadi oposisi bagi seseorang. Tertawa seolah-olah merendahkan seseorang. Tertawa masih dianggap menghina perjuangannya. Betapa tertawa menajdi oposisi baginya?
Henry Bergson, sebagaimana dikutip GM, dalam sebuah renungannya tentang humor, menulis, sesuatu yang membuat perasaan geli terhadap seseorang adalah ketika ia membuat dunia menjadi tidak luwes, membuat dunia menjadi sempit. Menbuat dunia menjadi tak karuan Di mana yang seharusnya santai justru menjadi tegang tanpa alasan. Menjadi kaku tak karuan. Maka kehidupan yang sesungguhnya dibentuk menjadi penuh keajekan yang mekanistis. Ketika seseorang yang biasanya luwes dan dibumbui humor, lalu dipaksa menjadi mekanistis, yang terjadi malah sebuah kekacauan. Kadang terlalu dipaksa pada suasana yang tidak semestinya. Demikian juga, orang yang biasanya penuh senyum dan tertawa, lalu tiba-tiba tegang dan serius tanpa alasan yang jelas?
Seseorang memerlukan suasana untuk menjadikannya lebih santai. Segala sesuatu yang dapat dihadapi dengan biasa-biasa saja, tidak perlu mengulur-ulurkan waktu hanya untuk memperkukuh dirinya yang justru menjadikan dirinya simpang siur. Kita perlu keseimbangan hidup agar definisi dari hidup yang pernah kita jalani tidak bergeser, sehingga membuat orang-orang bertanya, “ada apa ini?”, “apa yang sedang berlaku dengan seseorang itu?”, “ada masalah apa yang sedang dihadapinya?”. Maka ketika seseorang mulai kehilangan keseimbangan humor secara khusus, maka seseorang itu akan berperilaku ke arah yang tidak biasanya, atau bahkan menjadi tidak sehat, tidak beres, bahkan dapat juga dianggap aneh. Dunia yang biasanya dihadapi dengan gembira dan penuh syukur, justru menjadi menegangkan.
Sebenarnya, makna tertawa tidak berhenti pada tertawa itu saja. Begitu seseorang selesai tertawa, lalu tertawa dianggap selesai, tidak demikian juga. Akan merambah ke arah yang lebih kompleks lagi, mengarah ke berbagai penjuru dan aspek, baik yang semula kita anggap baik atau sebaliknya, sangat memiliki keterkaitan dengan tertawa itu. Sebagaimana yang saya alami di atas. Tentu saja, tertawa menjadi fenomena yang paling banyak disalahtafsirkan oleh siapa saja, untung-untung juga kalau tertawa justru ditafsirkan secara tidak lengkap atau ditafsirkan secara sepihak. Yang lebih menyakitkan lagi, kalau karena tertawa itu membuat pihak yang dipersalahkan menjadi seperti sandera, akhirnya kita menyita waktu ke hal-hal yang tidak diperlukan. Kita sibuk menyanjung atau memberi pengertian atau sibuk membenarkan yang sebenarnya kenapa kita tertawa. Yang lebih menyakitkan adalah orang yang coba kita berikan pengertian, cuek bebek alias sama sekali tidak peduli? Akibat salah dalam menafsirkan, maka sering bermunculan nilai-nilai yang kurang mendukung, dipersalahkan atau memang benar-benar tidak mau memahami, sehingga menjadi fatal dalam menafsirkan terhadap apa yang bernama tertawa (Jaya Suprana, 2013).
Tertawa adalah sebuah kemerdekaan, tapi ketika tertawa menjadi salah ditafsirkan, maka tertawa pada seseorang yang tidak mau paham tentang tertawa itu, tertawa baginya akan menjadi oposisi selamanya. Tertawa jangan ditawan, karena tertawa tidak pernah punya masalah dengan siapapun. Yang menjadi masalah adalah orang terlalu angkuh menganggap tertawa sebagai hal yang mengancam atau merendahkan diri seseorang.
Leave a Review