Oleh: Syarifuddin Abe
Secara nurani, satu hal yang paling tidak disukai oleh manusia adalah kepalsuan. Siapa saja dan tidak ada pengecualian. Tukang tipu pun, kalau ditipu juga akan marah. Apalagi tukang marah, pasti tidak mau juga ditipu. Manusia memang tidak suka ditipu, tapi suka menipu. Namun, pada sisi yang lebih khusus, manusia cenderung pada kepalsuan. Ada orang paling suka mengkritik orang lain, kalau perlu semua penghuni kebun binatang dipakainya untuk orang yang dikritik. Akan tapi, ketika ia dikritik oleh orang yang dikritiknya atau dikritik oleh orang lain, wajahnya merah-murka, suara lantang dan berteriak tak henti-henti, gaya tubuh yang berapi-api, bahkan sampai lompat-lompat di podium, sampai-sampai memakai semua kata maki yang ada di kamus teumeunak, untuk membalas orang yang mengkritiknya. Betapa dunia ini penuh dengan kepalsuan. Mengkritik mau, dikritik malu.
Dalam Web: Merriam-webster.com, kata kepalsuan diartikan sebagai pernyataan tidak benar atau bohong, tidak adanya kebenaran atau keakuratan, dan praktek berbohong. Kepalsuan juga dapat diartikan sebagai kebohongan. Artinya, apapun yang kita perlihatkan dalam bentuk kepalsuan, berarti juga kita sedang menampilkan sesuatu yang bohong (kebohongan). Kalau ada seseorang, katakanlah orang yang dekat dengan kita (boleh itu orang tuamu, teman atau sahabatmu, atau guru yang kamu hormati), pasti tahu tentang kebohongan yang kita perlihat, mereka juga tahu waktu-waktu ketika kita ingin menunjukkan kebenaran dihadapannya.
Menjadi sulit memang bagi seseorang, ketika ada orang yang tahu tentang diri kita luar-dalam, itu berarti semua rahasia yang kita miliki tidak ada arti sama sekali dihadapannya. Saya selalu mengatakan; sebaiknya kita jangan menjadi orang yang mudah dikenal oleh orang. Rahasia diri kita terkadang lebih penting daripada sebuah kejujuran yang semu. Orang menjadi aneh bahkan terlalu lucu, seseorang merasa bangga ketika orang-orang tahu tentang dirinya termasuk terlalu terbuka; anak siapa dan dari keluarga mana? Menjadi bangga kalau disebut oleh seseorang, apalagi kalau berbarengan dengan keluarganya. Bangga setengah mampus? Itukan sama seperti kita bangga menempel stiker jumlah keluarga kita di kaca belakang mobil kita, padahal bagi keluarga tertentu itu bisa bahaya? Kepada maling atau kalau kita ada musuh misalnya.
Orang yang terbiasa berbohong, sama halnya orang dengan cita-citanya. Kebohongan sudah menjadi nyawa dalam hidupnya. Hidup untuk berbohong, berbohong untuk hidup. Agama sudah menjadi bingkai pajangan di dinding rumahnya. Moral dan kesusilaan menjadi kitab atau buku yang ia pajang dalam lemari kaca atau rak bukunya. Kalau kita bilang ia seorang yang kurang pemahaman tentang agamanya, kita justru menjadi objek ceramahnya. Kalau kita ingin menasehatinya, di ujungnya justru kita yang akan dinasehatinya. Ayo mau apa lagi?
Hidup dalam kepalsuan bagi orang seperti ini adalah seperti hidupnya ikan di air yang jernih. Kita-kita yang ingin menasehatinya, tak ubahnya ikan-ikan dalam air yang berlumpur atau air yang keruh. Kita bilang berdosa, justru ia lebih paham menjelaskan tentang dosa kepada kita. Kita bilang nanti masuk neraka, ia lebih lihai menjelaskannya, malah semua nama neraka plus nama-nama syurga ia hafal termasuk orang-orang yang akan ngekos di dalamnya. Lucu ya?
Orang-orang suka sekali bermain dalam kepalsuan hanya karena terlalu tidak puas terhadap dirinya. Orang-orang yang penuh dalam kepalsuan adalah orang-orang memiliki kegemaran meniru orang lain. Dalam imajinasinya, ketika ia merasa sudah seperti orang lain, seakan-akan ia sudah hebat, seperti halnya anak-anak berimajinasi menjadi manusia super semacam superman, spiderman, batman dan sebagainya. Hal-hal seperti ini biasanya dialami oleh orang-orang yang terlalu mengagumi kepada sosok seseorang. Katakanlah orang mengagumi cara berpidato KH. Zainuddin MZ, maka dalam setiap pidato dan khutbahnya selalu meniru Zainuddin MZ, walau di ujung khutbahnya ia lupa lagi meniru gaya KH. Zainuddin MZ. Orang yang mengagumi Michel Jakson misalnya, dari rambut, pakaian, bahkan sampai cara menarinya pun ditiru, tak ada yang tertinggal. Makruh hukumnya kalau ada yang sampai lupa. Demikian juga orang yang mengagumi Ariel Peterpan, Nike Ardilla, Ledy Diana, Risma Rini, Syahrini, dan lain sebagainya, maka dengan serta-merta, ada saja cara untuk meniru mereka. Sesungguhnya, orang-orang seperti ini adalah orang-orang sedang dalam kepalsuannya. Mereka lupa pada dirinya dan ingin seperti apa dan siapa yang sedang diimajinasikannya.
Hidup dalam kepalsuan memang mengasyikkan, seperti kita menikmati film percintaan yang mengharu-biru. Kita terbawa tidak hanya oleh kisahnya, juga oleh alunan musik dan suasana yang mengalun syahdu. Kepalsuan mengajak kita penuh imajinasi, bermain dengan imajinasi, berbeda jauh dengan kenyataan. Imajinasi lebih lengkap dari kenyataan. Kalau kata Plato, alam idea itu, alam yang utuh, tidak ada kecacatan, lengkap, tak berkurang sedikitpun. Sedangkan alam nyata boleh berbeda dengan dasarnya alam idea, yang penting hakikat dari alam idea itu tidak berubah. Berbeda boleh, yang penting tidak keluar dari idea dasarnya. Alam idea adalah suatu pengetahuan, proses dan hasil merupakan sebuah garis lurus di mana ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam sebuah sistem yang komprehensif. Alam idea bahkan melampaui segala-galanya bahkan melampaui alam yang obyektif.
Lebih lanjut, Bre Renada (Kompas, 14/10/2012) menjelaskan bahwa, dalam studi postmodernisme membuat analisis antara subyek dan obyek terdapat persoalan representasi. Persoalan representasi ini dijadikan alat untuk membongkar hal-hal yang menjadi kesadaran palsu. Representasi selanjutnya dikenal secara luas dengan mewujud dalam bentuk politik pencitraan. Harus kita akui memang, otak manusia tidak pernah berhenti ditawari dengan berbagai kesadaran palsu, terus meniru, tak pernah berhenti diproduksi serta direproduksi untuk kepentingan pencitraan.
Dalam dunia yang penuh dengan pencitraan itu, kehidupan manusia tak ubahnya panggung teater, panggung ketoprak. Individu diciptakan sebagai sebuah peran dan sejarah disulap menjadi mitologi. Otak manusia selalu saja dimanipulasi, manusia bahkan memiliki kesanggupan untuk memanipulasi dirinya sendiri. Pada akhirnya timbullah berbagai kepalsuan, komitmen palsu, janji palsu, cinta palsu, senyum dan tertawa palsu, bahkan termasuk kesadaran palsu, bahkan dirinya menjadi palsu semua. Yang ditampilkan malah palsu semua. Gigi dan rambutnya juga palsu. Seandainya hidup manusia lurus-lurus saja, tidak pernah kusut, hal ini akan memudahkan kita untuk membedakan mana yang palsu dan mana yang asli.
Sekali lagi, hidup dalam kepalsuan memang mengasyikkan. Mengalahkan humor yang sehat. Orang kadang suka tertawa oleh kepalsuannya. Orang bahkan sering mentertawakan orang lain hanya karena tahu, bahwa seseorang itu suka dalam kepalsuan. Berita palsu kadang lebih mudah diterima dan dipercaya daripada berita yang real lagi jujur. Dengan sumpah serapah pun kita berkata jujur, kadang sulit dipercaya, tapi begitu kita tipu, itu justru dianggap benar. Memang, orang yang suka menipu akan sulit menerima sebuah kejujuran. Kita terlalu jujur kepadanya pun malah susah dipercayai. Sekesal apapun kita menjelaskan sesuatu kepadanya, tetap tidak akan dipercaya. Tidak hanya sampai di situ, mata dan pikiran kadang lebih terbawa oleh hal-hal yang palsu. Hal-hal yang palsu seperti sebuah hipnotis di iklan-iklan, instagram, WA, dan facebooks. Kita digoda, diantar sampai ke gerbang dalamnya angan-angan kenikmatan. Kepalsuan dan pencitraan kadang susah dibedakan.
Hidup dalam kepalsuan sangat menggairahkan. Hal-hal yang tidak dapat dicapai dalam hidup yang semestinya, dengan mudah akan diraih, hanya saja itu semua hanya ada dalam angan-angan dan imajinasi yang liar. Di abad 21 ini, kalau kita tidak sadar, apalagi kalau kita tergila-gila dengan kehidupan yang tidak dengan semestinya, banyak angan-angannya, kita akan mudah tertipu oleh berbagai tawaran, terutama yang tidak ada filter ketika mengakses medsos. Abad 21 adalah abad penuh kepalsuan. Apa yang kita jumpai berbeda dengan apa yang sesungguhnya. Anda boleh saja tergiur sebuah produk di medsos, anda mungkin saja akan kecewa ketika produk yang anda pesan sampai di alamat anda. Banyak topeng dipakai manusia untuk menutupi wajah aslinya, walau dibalik topengnya itu mereka juga hidup penuh derita bahkan penuh kemunafikan.
Kepalsuan adalah buah dari ketidakjujuran dan ketidaktulusan. Yang satu dititipi pesanan pihak lain, sementara yang lain tampak sakit hati. Sebagaimana dijelaskan oleh Reza A.A. Wattimena di rumahfilsafat.com-nya, kepalsuan merupakan upaya untuk menutupi kebenaran, hal ini dikarenakan ada sesuatu yang ingin dicapai. Mengutip pernyataan Noam Chomsky, terdapat tiga tujuan dari kepalsuan itu, Pertama, kepalsuan merupakan sebagai alat untuk melakukan propaganda, yaitu untuk menyebarkan isu untuk kepentingan tertentu dan selalu mengabaikan kebenaran dan kejujuran. Kedua, kepalsuan sebagai sebuah upaya melakukan fitnah termasuk pembunuhan karakter. Orang baik selalu menjadi bahan fitnah, yang korup diupayakan semaksimal mungkin sampai mendapat kepercayaan penuh di masyarakat. Ketiga, kepalsuan sebagai alat pengalihan isu. Hal ini dilakukan untuk menggiring masyarakat percaya kepada yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu dalam mencapai suatu tujuan.
Kepalsuan adalah bagian dari kebodohan. Tanpa sadar kita mau saja dibodoh-bodohin. Kita menjadi kurang kreatif. Sampai-sampai hal-hal bodoh dilakukan tanpa ada pertimbangan apapun. Ketika kita digoda oleh sebuah jabatan, katakanlah ingin menjadi anggota legislatif atau eksekutif. Demi meraih yang diinginkan, apa saja digadaikan, tanah, rumah, kebun, sawah, harta warisan, bahkan sampai pusaka peninggalan nenek moyang, entah itu peninggalan mbah atau empu atau hantu blawu dalam bentuk apapun, kalau bisa dilelang atau digadai, pasti dilakukan. Atau ketika kita ingin menduduki sebuah jabatan, entah di pemerintahan, perguruan tinggi, organisasi, perusahaan, yang katanya basah. Banyak proyek. Apa saja dilakukannya. Kalau bisa ngutang, berapa pun akan diusahakannya. Persoalan bagaimana mengembalikannya, itu nanti. Apalagi kalau ada orang yang suka memanas-manasi, “kali ini kalau bukan bapak yang memimpin, hancur ini…”. Kita yang merasa tersanjung menjadi lupa, bahwa kita sedang dibodoh-bodohin. Ya, yang namanya jabatan itu siapa yang tidak suka? Tapi selama ada kemampuan, real, tidak membawa kepada kemudaratan, tidak sampai tinggal utang, sah-sah saja.
Hidup memang penuh godaan, kita tidak tahu, mana yang sesungguhnya, mana yang penuh dengan kepalsuan. Bahkan antara kejujuran dan kepalsuan sudah bercampur, sampai-sampai kita tidak mengenal lagi yang mana benar, yang mana palsu. Jangan-jangan, wajah kita sendiri juga sebuah kepalsuan? Sungguh, kepalsuan itu penuh godaan. Merasa nikmat dan lezat tapi ternyata semu. Biasanya, yang semu itu banyak iklan dan godaannya. Dalam kehidupan saja banyak informasi semu dan kita seperti dirong-rong, digoda, dicuci otak agar kita terpengaruh dan mencoba seperti yang diinginkan.
Yang paling banyak informasi yang seolah-olah benar padahal semu, adalah mitos tentang seksualitas, termasuk mitos tentang janda. Sehingga orang menjadi tergoda. Banyak orang menganggap janda lebih menggoda daripada seorang gadis perawan, janda dianggap lebih berpengalaman, janda dianggap lebih yahud, janda dianggap penuh gairah, janda dianggap tidak terlalu manja dan tidak banyak menuntut, janda lebih banyak melayani daripada dilayani, janda lebih puas dibandingkan gadis perawan, bahkan janda lebih mandiri dibandingkan dengan yang lain. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Bahkan janda kaya dianggap lebih menguntungkan, ini bagi laki-laki uang modalnya mok…do aja. Dari laki-laki bongkok udang, sampai yang kukunya lebar. Dari laki-laki yang kurus tinggi, sampai laki-laki yang juling Inilah yang saya maksud; kepalsuan lebih nikmat dari kenikmatan itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan Reza A.A Wattimena, bahwa orang-orang dalam kepalsuan bermulut manis tapi hatinya penuh kedengkian. Baik di depan, di belakang penuh fitnah. Terlihat cantik dan ganteng penuh pesona, tapi jahat dan penuh ambisi yang merusak. Terlihat suka menolong dan baik hati, semua demi meningkatkan pamor, sebagaimana dalam dunia politik menjelang pilkada. Ke masjid tidak pernah terlambat, membantu anak yatim tidak pernah lupa, sedakah paling gemar. Tapi berbuat maksiat, melakukan fitnah bahkan ke dukun juga tidak ketinggalan, sudah seperti terjadwal. Apa saja yang dapat dimanipulasi akan dilakukannya, termasuk mengubah anggota tubuhnya dengan berbagai macam operasi. Yang penting pasar dapat mengenalnya, walau penuh kepalsuan. Kalau dilihat di atas putih glowing, jangan lupa juga intip ke bawah.
Hidup dalam kepalsuan, sama saja kita hidup dalam dunia seperti pada masa penjajahan. Kita terlalu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang kita sendiri tidak mampu menjalaninya. Akibatnya, karena kurang matang pertimbangan akal, malah jauh dari sehat, maka kita justru lupa jatidiri kita sendiri. Karena sudah terlalu jauh perjalanannya, mau kembali ke awal mula justru malu. Maka tampilkanlah diri kita sebagaimana mestinya, tidak perlu terlalu ditutup-tutupi, jangan sampai kita kehilangan keaslian kita, justru yang lebih menonjol kepalsuan. Kita tidak akan heran kalau ada calon politisi yang banyak gula dimulutnya, akan banyak garam dan empedu kalau nanti sudah berhasil jadi politisi yang sesungguhnya. Jangan heran kalau ada oknum guru-ustaz yang awalnya lebut tapi bringas pada ujungnya. Demikian juga berbagai kepalsuan ditonjolkan pada berbagai profesi lainnya. Mungkin satu-satunya yang dapat saya sampaikan adalah jangan mudah terpesona oleh indahnya dipermukaan, tapi selami di dalamnya.
Hidup dalam kepalsuan tidak hanya mengasyikkan, tapi lebih asli dari yang asli. Hidup dalam kenyataan lebih susah dibandingkan dalam kepalsuan. Hidup dalam kepalsuan semua dapat diraih. Mau jadi raja? Mau jadi presiden? Mau jadi konglomerat? Atau mau menjadi seperti Don Juan yang dikelilingi banyak bidadari cantik? Atau mau jadi apa? Kita tinggal membuka ruang, lalu masuk dalam sebuah kepalsuan yang anda suka? Seperti kata iklan; biar menjadi hidup lebih hidup. Berbeda dengan; lebih enak makan roti tapi nyata, daripada makan pizza tapi dalam mimpi. Hidup dalam kepalsuan tidak ada yang melarang, tinggal anda sadar atau tidak sadar saja. Anda mampu atau tidak. Jangan di depan laju kencang, tapi di ujung lupa dan kembali kepada aslinya? Wallaahu’aklam.
Leave a Review