Hilangnya Marwah Mahasiswa di Aceh Tenggara

Eko Widiyanto, kader HMI Cabang Kutacane

Oleh Eko Widiyanto. Kader HMI Cabang Kutacane

Dengan pesatnya perkembangan zaman saat ini menjadi sebuah tantangan besar bagi mahasiswa itu sendiri.  Kecanggihan digitalisasi sekarang mau tidak mau manusia dituntut untuk bergerak cepat tanpa terbatas ruang dan waktu. Sehingga memudahkan kita untuk mencari informasi yang kita inginkan jadi tidak ada lagi cerita kurang update dalam informasi. Ini juga berpengaruh besar terhadap dunia pendidikan terkhusus mahasiswa.

Beberapa hari terakhir dapat kita saksika ada gejolak mahasiswa yang menarik dalam “menggugat” kampusnya sendiri karena pemberlakuan pembiayaan yang dianggap menukik di beberapa perguruan tinggi di Indonesia (misalnya, UI, USU, UNRI) bahkan tidak sewajarnya dalam konteks ini seorang rektor mempolisikan mahawasiswa yang kritis terhadap jabatan publik di kampus tersebut. Gejala atau mentalitas dinamika seperti ini masih jauh panggang dari api bagi mahasiswa Aceh Tenggara. Sepertinya mahasiswa Aceh Tenggara terebak pada apa yang disebut “tahat hate” (gak enak hati) namun kemudian berakhir pada manipulasi jasa dan wibawa terhadap mahasiswa.

Gaya hidup mahasiswa Aceh Tenggara saat ini dapat disebut mengalami perubahan yang sangat drastis dibandingkan dari generasi mahasiswa sepuluh tahun yang lalu, apalagi jika kita bandingkan dari kehidupan mahasiswa pada masa Soeharto sangat tidak mungkin. Seharusnya mahasiswa Aceh Tenggara sadar terhadap sejarah keberhasilan negara republik Indonesia ini, ada peran pemuda dan mahasiswa yang sangat besar yang selalu hadir di garda terdepan di setiap perjuangan bangsa ini. Termasuk mesti juga paham bagaimana sejarah Aceh Tenggara di mana pemuda dan masyarakatnya melawan penjajah. Ingat, generasi muda Aceh Tenggara pernah melawan, menentang, bukan penakut.

Namun sayangnya mahasiswa Aceh Tenggara saat ini tidak lagi mempunyai semangat berjuang. Menganggap tidak ada lagi tantangan zaman dan melupakan fungsi dan perannya sebagai mahasiswa. Kebanyakan mahasiswa Aceh Tenggara saat ini lebih senang eksis di dunia maya dari pada aksi nyata kepada masyarakat. Padahal sejak awal menjadi mahasiswa sudah diperkenalkan tentang tridharma perguruan tinggi. Pada kemudian makna tridharma kemudia dimaknai secara kaku, baik oleh alite kampus sendiri maupun mahasiswa itu sendiri. Sungguh memalukan fakta seperti ini.

Tidak heran juga dengan sebagian mahasiswa saat ini yang masuk sebuah wadah organisasi, yang seharusnya mampu menjadi magnet untuk mahasiswa yang apatis, namun sangat perihatin sekali mahasiswa yang masuk organisasi tersebut hanyalah  untuk eksistensi saja, kalau pun bergerak taka da bedanya dengan cara main partai politik. Belum lagi dengan aktivitas-aktivitas mahasiswa yang pragmatis dan bermental sembunyi di bawah ketek penguasa korup (termasuk juga  berlindung pada pengelola kampus yang terindikasi suka korup).

Banyaknya pergerakan mahasiswa yang tidak berlandaskan kepentingan rakyat mengakibatkan pergerakan mahasiswa Aceh Tenggara saat ini mudah sekali ditunggangi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Dan pada akhirnya banyak mahasiswa yang menggadaikan idealisnya demi beberapa lembar kertas berwarna.

Sehingga mahasiswa Aceh Tenggara kehilangan kepercayaan dari masyarakatnya sendiri. Nilai tawar mahasiswa sudah tidak ada lagi karena mahasiswa tidak mampu meyakinkan masyarakat bahwasanya mereka adalah agen perubahan. Setiap keluh kesah yang di hadapi masyarakat tak lagi tersampaikan di ruang publik apalagi diperjuangkan.  Produktivitas kampus dan mahasiswa pun jauh dari apa yang diharapkan masyarakat.

Belum lagi dengan lingkungan yang tidak sehat di dalam ruang lingkup civica akademik, yang mana para oknum petinggi-petinggi yang memiliki wewenang kerap sekali dengan sengaja membodohkan mahasiswanya agar berfikir seperti katak dalam tempurung. Hal tersebutlah yang membuat para mahasiswa ini mudah sekali untuk diperdaya dan ditunggangi demi kepentingan pribadi. Demikian para dosennya juga tampak tak berdaya dihadapan praktik katak dalam tempurung tersebut. Pada akhirnya mahasiswa hanya belajar diruang kuliah saja tidak perduli dengan keadaan yang sedang terjadi,  yang penting IPK mereka tinggi.

Sudah saatnya kita memperbaiki marwah mahasiswa Aceh Tenggara dengan cara meningkatkan kepekaan kita terhadap lingkungan sekitar dan masalah maupun penderitaan masyarakat. Menjadi penyambung lidah masyarakat dan menyuarakan penderitaan masyarakat di gedung parlemen.

Menjunjung tinggi gagasan dan program strategis serta tanggung jawab sebagai mahasiswa jangan sampai sinrna, karena gagasan, program (bukan omon-omon) adalah marwah yang hanya dimiliki oleh mahasiswa di mana pun bumi berpijak. Apa jadinya ketika marwah mahasiswa diinjak-injak oleh kampus? Apa jadinya marwah mahasiswa diludahi penguasa? Apa jadinya marwah mahasiswa dimatikan sejak dini oleh dosen? Sungguh ekosistem pendidikn tinggi seperti ini adalah sistem yang membodohkan dengan tidak menyebutnya racun bagi agenda mencerdaskan kehidupan bangsa.

Untuk menghadapi berbagai tantangan bernegara-berkuasa yang semakin komplit, sebagai mahasiswa seharusnya cerdas dan visioner menghadapi tantangan (jangan jadi penakut dan takut salah). Sebab apabila mahasiswa lalai dan tidak mampu memantaskan diri dari tantangan global, maka siap-siaplah tergerus dan selalu termakan mulut para dosen yang bahagia menjalankan praktik pembodohan dan anti kemerdekaan mahasiswa. Maka dari itu, para mahasiswa di Aceh Tenggara, cepatlah sadar, sebab karir, hidup dan mati tidak ditanggung oleh mentalitas penakut, melainkan karir dan masa depan dapat tercermin dari sejauhmana kemampuan mahasiswa meng-upgrate wibawanya.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi