Fakta sosial, ekonomi dan politik keindonesiaan hari ini yang barangkali sulit dibantah adalah perihal dagang suara dalam pemilu. Suara yan dimaksud adalah hak pilih rakyat yang kemudian dapat disulap seperti komoditi pasar. Ada rantai pasok di sana yang sering kali disebut sebagai proses pemenangan politik. Meskipun secara makna bahwa tim sukses tidak identik dengan sales, yang jelas terdapat irisan yang sama terkait bagaimana kerja-kerja marketing itu dilakukan. Ada narasi, gagasan dan program yang ditawarkan. Ada sejumlah aliran anggaran yang mesti disalurkan. Ada yang memberi apa dan ada yang mendapat apa. Dalam dunia akademik, hal ini cenderung dijumpai pada kajian-kajian marketing politik.
Mencermati iklim demokrasi Indonesia masa kini, sejatinya tidak boleh sungkan mengakui bahwa maraknya politik uang dalam pemilu secara umum. Apakah itu dalam pilpres, pemilihan legislatif hingga pilkada. Keberadaan pemilih yang menjadikan hak pilih mereka nantinya akan ditukar dengan sejumlah nominal rupiah dapat disebut sebuah keniscayaan dalam praktik demokrasi yang padat modal.
Adanya kecenderungan bahwa dengan menguasai banyak suara dengan sendirinya akan membuka jalan untuk mendapatkan harga yang setimpal. Dalam bahasa keseharian rakyat, satu kepala pemilih ada harga, ada data ada harga. Mungkin inilah yang membuat data terkait pemilih itu sifatnya mahal. Dalam konteks tertentu, partisipasi rakyat dalam pemilu bukan saja untuk menekan angka golput, malainkan juga membuka jalur bagi pemilih dan yang dipilih untuk menjadi pedagang politik, baik itu dimulai saat jauh sebelum hari pencoblosan tiba maupun beberapa waktu sebelum hadir ke tempat pemilihan umum. Bahasa klasiknya, praktik seperti ini disebut dengan serangan fajar.
Secara pelan-pelan, menjual atau membeli suara telah dianggap suatu kewajaran dalam pemilu. Jika pejabat terpilih dapat mengambil keuntungan pribadi setelah pemilu. Sebaliknya pula rakyat juga dapat mengambil manfaat dalam mendagangkan hak pilihnya. Meskipun perbedaan keuntungan pejabat terpilih dengan pemilih dapat diibaratkan seperti bumi dan langit, namun tetap logika rakyat jelata masih ada yang beranggapan bahwa lebih baik menjual suara dari pada termakan harapan palsu setelah pemilu.
Situasi dan kondisi pemilu sedemikian tampak memang kejam, namun begitulah cara politik pemilu di Indonesia bekerja dalam agenda transformasi kekuasaan lima tahunan. Konsekuensinya, bukan saja praqmatisme pejabat yang mengalami peningkatan, tetapi juga pragmatisme publik juga tak terbentung. Terkadang potret kemiskinan dan tingginya kesenjangan sosial yang dialami rakyat justru membuat rakyat tak kuasa menolak praktik dagang suara dengan calon wakil rakyat.
Alasan-alasan keterbatasan ekonomi dan keseringan ditipu terus menjadi faktor dominan bagi masyarakat yang terlanjur asyik dengan praktik dagang suara. Pada posisi ini pula, setelah terjadinya pasar politik suara, yang menjadi korban politik tidak selalu rakyat, tetapi juga calon wakil rakyat yang gagal meraih kekuasaan. Tidak jarang banyak calon wakil rakyat yang berakhir di rumah sakit jiwa. Sungguh politik tidak mengenal siapa pemilih dan dipilih, namun korban politik cenderung ada.
Lantas bagaimana edukasi politik anti politik uang? Dimana pula letak kesadaran bahwa dalam pemilu adalah memilih lima menit namun menanggung lima tahun? Dalam konteks ini rakyat tentu memiliki perhitungan ekonomis tersendiri yang secara tidak langsung mengabaikan ajakan untuk menolak praktik dagang suara dalam pemilu. Sebab logika rakyat jelata juga memiliki argumentasi bahwa lebih baik dapat membeli minyak, beras dan susu anak selama sehari, dari pada tidak mendapat apa apa selama lima tahun.
Dari realitas politik keindonesiaan yang digiring di atas dapat ditarik benang merah bahwa ada kesenjangan yang besar antara pemilih dengan cita-cita berdemokrasi di negeri ini, dengan tidak menyebutnya mengalami benturan. Demokrasi yang awalnya adalah proses politik dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat justru kemudian berubah menjadi proses pasar yang kental dengan praktik perdagangan di dalamnya.
Proses politik di Indonesia terasa semakin keruh, seakan belum tampak hilal untuk arah perbaikannya. Ditambah lagi dengan tragedi politik dinasti dan personalisasi partai politik yang semakin menjadi-jadi. Belum lagi soal netralitas birokrasi serta penyelenggara pemilu yang masih terbuka lebar untuk diperdebatkan secara akal sehat.
Dengan menguatnya politik dagang dalam pemilu, secara otomatis perkembangan politik Indonesia akan terus berada dalam bingkai laba dan rugi. Peluang pengabdian dan melayani rakyat semakin menyempit tanpa menyebutnya telah tertutup rapi. Praktik adu gagasan dan program dalam pemilu justru yang sejatinya yang menjadi kunci adalah terkait seberapa besar anggaran dan logistik. Transformasi kekuasaan berat di modal, namun ringan di pembualan.
Dalam konteks dagang suara, mungkin ada gejala peningkatan kecerdasan bagi rakyat terkait tingginya rasa tidak percaya terhadap janji-janji politik yang diterima. Rasa ketidakpercayaan ini kemudian membentuk sikap kolektif pemilih untuk menempuh jalan pintas dengan menunggu amplop dari kalangan tim sukses.
Diterima atau tidak, Indonesia hari ini telah mengalami suatu kebiasaan politik dimana sikap rakyat mesti beradabtasi dengan desain perpolitikan yang kental dengan suasana berbisnis. Tepatnya, rakyat mesti didorong untuk mampu berbisnis dengan wakil rakyat atau pemimpinnya. Dalam posisi ini yang diharapkan adalah rakyat minimal berada sebagai mitra kerja wakil rakyat, jika memang rakyat tidak dapat menjadi tuan.
Oleh karena itu, kerangka pikir terkait dagang suara dalam pemilu atau mendorong rakyat untuk mampu berbisnis dengan wakil rakyatnya bukanlah sesuatu yang akan selalu membahayakan negara. Sebab, dengan terjadinya keseimbangan bisnis antara rakyat dengan wakil rakyat justru kemudian akan membuka ruang potensi pada kesejahteraan bersama. Bukan sebaliknya, justru rakyat mengalami buntung dan wakil rakyat semakin untung.
Melalui kajian ini pula senantiasa publik mampu melihat cara pandang kajian ini secara positif dan optimis berhubung sistem politik Indonesia sedang melaju deras ke arah yang namanya politik dagang. Baik itu di level pemerintahan pusat hingga level pemerintahan daerah. Jadi, yang dikhawatirkan bukanlah maraknya lingkar keluarga jadi pejabat atau penguasa, melainkan sejauhmana perpolitikan Indonesia itu dapat mengakselerasi kesejahteraan bersama. Jika penguasa berdagang dengan rakyatnya, mengapa tidak rakyat juga mesti berdagang dengan penguasanya atas nama kemaslahatan bangsa dan negara.
Penulis adalah Zulfata. Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM), dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)
Leave a Review