Di Aceh Tenggara, kini beramai-ramai di media sosial sebuah postingan dengan pesan yang tak biasa: “Mari Katakan STOP Narkoba.” Bukan hanya slogan kosong, postingan itu dihiasi dengan gambar Bupati Aceh Tenggara, H.M. Salim Fakhri, SE., MM., yang tersenyum tenang namun menantang. Sebuah telapak tangan merah darah mencolok di samping wajahnya menyampaikan pesan kuat, sebuah peringatan sekaligus ajakan untuk bersatu melawan musuh bersama yang tak kasatmata; narkotika.
Dalam iklim sosial yang semakin permisif terhadap degradasi moral, dan dalam birokrasi yang kadang ragu mengambil posisi tegas, langkah Bapak Salim Fakhri patut diapresiasi. Ia tidak hanya berdiri sebagai administrator publik, tetapi tampil sebagai pemimpin moral. Keberaniannya mempersonalisasi perang terhadap narkoba dalam bentuk komunikasi visual adalah langkah simbolik yang tidak bisa diremehkan.
Di zaman ketika politik terlalu sering dipakai sebagai kendaraan pencitraan murahan, maka upaya ini layak disebut sebagai pengecualian: sebuah komunikasi kepemimpinan yang etis dan menyentuh akar masalah.
Visual adalah bahasa universal. Dalam postingan itu, tak banyak kata digunakan. Tapi simbol-simbolnya berbicara keras. Sebuah tangan merah, simbol stop yang dalam, berdiri di depan wajah publik, seakan berkata: “Cukup sudah.” Wajah pemimpin di sampingnya tersenyum, bukan untuk memikat suara, tetapi untuk menenangkan publik bahwa negara, setidaknya pemerintah daera, tidak tinggal diam.
Konsep ini, dalam teori komunikasi massa modern, disebut sebagai persuasive visual framing, kerangka visual yang dirancang untuk mengubah opini publik secara halus tapi efektif. Menurut studi Edward Bernays dalam bukunya Propaganda (1928), simbol dan tokoh publik bila disatukan dengan pesan moral dapat membentuk opini kolektif secara permanen.
Salim Fakhri mungkin sedang melakukan hal itu. Ia tampak tidak sedang memamerkan diri, tetapi menjadi perpanjangan tangan dari suara nurani masyarakat Aceh Tenggara yang ingin bebas dari cengkeraman narkoba.
Mari kita sedikit menengok sejarah. Bung Karno melawan kebodohan dan ketidakadilan dengan retorika, semangat dan simbol perjuangan. Ia menyadari pentingnya membangun identitas kolektif dalam menghadapi ancaman kolonialisme.
Sementara di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte memilih pendekatan hard power dalam perang terhadap narkoba. Hasilnya, meski beberapa kota menjadi ‘bersih’, namun biaya sosial dan pelanggaran HAM yang terjadi tak bisa diabaikan.
Salim Fakhri tampak memilih jalan tengah; simbol dan edukasi. Jalan yang lebih demokratis dan berakar pada budaya lokal Aceh yang mengedepankan nilai Islam, adat, dan pendidikan. Strategi ini lebih sesuai diterapkan di masyarakat Indonesia yang plural, penuh nilai kekeluargaan, dan menjunjung tinggi pendekatan persuasif.
Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa hingga 2023, terdapat lebih dari 3,3 juta pengguna narkoba aktif di Indonesia. Sementara itu, Aceh, yang secara kultural sangat religius, tidak luput dari bahaya ini. Peredaran narkotika bahkan mulai menyasar anak-anak muda di pelosok desa, yang tidak memiliki akses informasi, pendidikan, maupun ruang kreatif yang memadai.
Jika kita sebagai masyarakat terus menerus bersikap apatis, maka kita sedang membiarkan satu generasi hancur dalam senyap. Maka, inisiatif seorang pemimpin daerah yang tampil dalam kampanye anti-narkoba bukan hanya layak dipuji, tapi juga perlu ditiru.
Namun pujian saja tidak cukup. Kampanye visual ini harus diiringi dengan kebijakan konkret. Pemerintah Aceh Tenggara harus memastikan bahwa ada program rehabilitasi yang manusiawi dan efektif, pendidikan anti-narkoba di sekolah-sekolah, serta penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu.
Tanpa ekosistem yang mendukung, postingan itu hanya akan menjadi bagian dari pemandangan di media sosial yang kian usang. Tapi dengan strategi yang menyeluruh,kebijakan, edukasi, pemberdayaan,gambar itu bisa menjadi tonggak sejarah bagi generasi muda Aceh Tenggara.
Mungkin apa yang dilakukan oleh Salim Fakhri harus menjadi panggilan untuk seluruh Indonesia. Bahwa perubahan tidak selalu harus lahir dari pusat kekuasaan. Ia bisa, dan harus, dimulai dari pinggiran,dari bupati, camat, kepala desa, guru sekolah, hingga orang tua di rumah.
Perlawanan terhadap narkoba adalah perjuangan moral yang harus dilawan bersama. Dan jika seorang pemimpin berani berdiri di baris terdepan, maka masyarakat harus berdiri di belakangnya, bukan malah acuh tak acuh.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati perjuangan para pahlawannya,” kata Soekarno. Namun hari ini, pahlawan bukan hanya mereka yang mengangkat senjata. Mereka juga yang melindungi anak muda dari kehancuran moral dan mental.
Martin Luther King Jr. pernah berkata, “Our lives begin to end the day we become silent about things that matter.” Dan narkoba adalah satu hal penting yang tak boleh lagi kita diamkan.
Untuk itu, apakah anda yakin Bupati Aceh Tenggara ini mampu berantas narkoba?
*Penulis adalah Apriadi Rama Putra, pemerhati sosial Aceh Tenggara
Leave a Review