Bertanya pada Leuser

Oleh: Zulfata
Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM)

LEUSER, secara birokrasi-akademik ramai menyebutnya sebagai Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sebagai kawasan yang memiliki sejarah, mulai dari dijadikan kawasan penelitian orang hutan di masa penjajahan, hingga saat ini beragam pemanfaatan Leuser yang bukan saja bagi masyarakat lokal-Ketambe (Aceh Tenggara), tetapi juga menjadi ladang riset di berbagai perguruan tinggi di dunia.

Disadari atau tidak, memahami Leuser sejatinya gampang gampang sulit, mengapa sedemikian? Di antara jawabannya adalah karena Leuser memiliki kompleksitas tanpa batas. Ia bukan saja berbentuk bentang alam terbuka dengan keanekaragaman hayatinya, flora faunanya, instansinya, penelitinya, praktisinya, hingga praksis terdampaknya. Namun demikian, kemudahan untuk memahaminya pun cukup sederhana; di antaranya “Kita jaga Leuser, Leuser Jaga Kita”. Tafsiran bebas dari kalimat tersebut memiliki makna bahwa ada keterkaitan yang erat antara kelestarian Leuser dengan nasib manusia di kawasan Leuser maupun warga dunia.

Hutan ditebang, atau dalam bahasa orang pintar disebut deforestasi yang terjadi di kawasan Leuser telah terbukti membuat beberapa titik di kawasan Leuser mengalami rawan banjir. Jembatan besi yang dibangun begitu megah tiba-tiba bisa hancur di hantam air yang tiba mengamuk sebagai akibat ketidakjelian dalam memahami “hukum alam” Leuser.

Untuk memahami Leuser sejatinya ada banyak cara dan pendekatan, di antaranya adalah pendekatan menjelajah, berswisata, riset, bekerja, bertani, proyek, komunitas, pemerintah dan seterusnya. Namun demikian penulis pada kajian ini ingin mengajak pembaca untuk memahami Leuser denga bertanya pada Leuser itu sendiri.

Pertanyaan pembukanya adalah mengapa Leuser tersebut digarap oleh elite dunia? Sementara elite lokal seperti memandang Leuser dengan sebelah mata? Adakah warga lokal memiliki anggapan bagaimana merawat kompleksitas Leuser tesebut merupakan aset “surga” yang jarang dimiliki oleh daerah lain di luar Leuser? Pada pertanyaan awal inilah sejatinya publik-generasi penerus di Aceh-Sumut perlu terus mengedukasi terkait betapa pentingnya merawat dan mengelola Leuser secara berkelanjutan demi merawat ketergantungan akut antara manusia dan alam.

Dari sisi pengembangan ilmu pengetahuan, adakah Leuser menjadi primadona dalam pengembagan produktivitas berbasis riset? Atau sebaliknya, Leuser hanya sebatas dijadikan lapak birokratis berbasis proyek tanpa benar-benar sadar dan ikhlas membangun kepedulian bersama terhadap Leuser?

Titik tumpu dari pertanyaan ini mungkin dianggap sensitif bagi praktisi lingkungan, namun demikian, jika penggarapan lingkungan masih dikelola secara tersembunyi atau bermain mata dengan para pemodal, maka sampai kapan pengelolaan Leuser dapat terbebas dari praktik kucing-kucingan? Bukankah kita merindukan pengelolaan kolektif-kerakyatan terkait Leuser ini mesti jauh dari parktik pembodohan di kolong negeri sendiri?

Selanjutnya, dapatkah kita menjawab mengapa kawasan Leuser juga tanpa henti-hentinya menceritakan bahkan merekam kisah terkait peristiwa konflik satwa degan manusia? Pemukiman yang seharus sebagai wadah dimana masyarakat dapat menjalin harmonisasi dengan satu sama lainnya. Namun demikian di kawasan Leuser justru pemukikan menjadi saksi bisu dimana pertumpahan darah antara satwa kunci yang dilindungi mengalami baku hantam dengan petani yang berusaha bergantung hidup dengan hasil alam.

Pada titik permasalan ini pula Leuser tidak bisa sekadar dianggap tempat wisata atau tempat mengagumi ciptaaan Tuhan. Melampaui itu, Leuser juga mesti dianggap sebagai formula “kutukan” yang dapat menciptakan manusia-manusia serakah, tuli, keras kepala, korup dan mengambil manfaat atas keterbatasan warga. Warga menjadi korban, alam dirusak, kelompok manusia lainnya justru asyik memanen manfaat. Apakah konsep keadilan Leuser adalah konsep tanpa pandang bulu, satu merusak; terdampak semuaya. Satu wilayah hutan ditebang, satu kabupaten terkena dampaknya, belum lagi soal kematian jiwa, lain yang membabat hutan, lain pula yang meninggal. Demikianlah alam menampakkan cara hukumnya bekerja.

Selain itu, apakah benar Leuser dapat menjadi tumpuan ekonomi Rakyat? Apakah Leuser dapat dijadikan praktik dan simulasi mencerdaskan masyarakat untuk mengembangkan ekonomi hijau? Apakah semangat ekonomi kerakyatan mengalami satu tarikan nafas dengan ekonomi hijau? Atau praksis ekonomi hijau tersebut tidak dapat menyatu dengan masyarakat sebagai akibat meningkatnya gerakan pembodohan publik di kurikulum-kurikulum sekolah dan perguruan tinggi lokal? Pada kajian ini pula Leuser mengalami dimensi yang dapat dicermati dari berbagai sisi, baik dari sisi peluang mapun ancaman.

Kepada Leuser juga kita tidak luput bertanya bahwa apakah Leuser akan selamanya menjadi pusat perhatian dunia karena karbonnya? Karena keanekaragamannya (ekosistem)? Apakah rakyat Indonesia, terutama masyarakat Aceh-Sumut dapat mampu mandiri mengelola potensi Leuser tanpa perhatian dunia? Pertanyaan ini secara tidak langsung dapat membangunkan kita dari lelapnya tidur dari ketidakfokusan dalam memerhatikan nasib keberlanjutan lingkungan kita, baik dari sisi edukasi publik maupun kebijakan publik.

Dalam konteks Aceh. Dapat kita buat silumasi kuantitas terkait seberapa persenkah masyarakat Aceh yang peduli secara praktis terhadap upaya pelestarian Leuser? Apakah di atas 40% atau jauh di bawah 1%. Jika simulasi persentasi ini benar, maka langkah perjuangan kita dalam mengedukasi masih terjal. Belum lagi jika menemukan secara faktual-empiris terkait berapakah persentasi keberpihakan para pemangku kebijakan terhadap agenda-agenda keberlanjutan pelestarian Leuser?

Adakah kita dapat hanya terpaku pada generasi muda dan masyarakat umum untuk mendorong kesadaran terkait kepedulian terhadap pelestarian lingkungan berbasis Leuser tanpa ada keseriusan para pemangku kebijakan yang mengalami peremajaan kuasa selama lima tahunan. Adakah masyarakat bergerak sadar secara kolektif tanpa sentuhan kebijakan? Sungguh upaya menggerakkan kepedulian massa terhadap Leuser bukanlah sebatas program dalam laporan kertas bertumpuk, melainkan perjuangan membangun kepedulian terhadap Leuser ini adalah bagian dari “jihad”. Jihad dalam arti bahwa perjuangan ini mesti dilandasi kekutan iman dan kesadaran serta kepedulian iklas tanpa terjebak formalitas program lembaga.

Sudahkah kita semua siap berjuang secara kolektif mejaga hutan kita? Menjaga Leuser kita? Jika pertanyaan ini tidak mampu menjawab “sudah” secara sadar melalui hati sanubari kita, maka jangan coba-coba kita berada di garda terdepan dalam mengedukasi kepedulian lingkugan. Jangan-jangan kita juga bagian dari manusia-manusia pembual yang tanpa sadar Leuser juga sedang membenci kita.

Dalam konteks teologi, alam juga memiliki jiwa dan kehendak. Demikian juga Leuser, ia juga memiliki hukum alam tersendiri yang mesti dipahami oleh masyarakat sekitarnya. Dalam cara kerja dan ketentuan alam itu pula sejatinya kita patut bersahabat dengan Leuser tanpa menebar dusta, apa lagi main kucing-kucingan dengan Leuser.

Untuk itu, ada serangkaian langkah stretegis bagi kita jika benar-benar ingin menyelamastkan Leuser kita. Menyelematkan Leuser sama artinya dengan menyelamatkan masa depan anak cuku manusia. Serangkaian langkah tersebut di antaranya adalah jangan lelah mengedukasi warga. Jangan takut bebuat benar. Jangan tunduk pada pembodohan yang mengatasnamakan kepedulian lingkungan!

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi