Editorial 10 Maret 2024
“Uang Semir Izin Tambang Menteri Bahlil”
Begitulah beberapa kemasan produk Majalah Tempo dalam mengemas kisruh pencabutan izin tambang oleh Menteri Bahlil Lahadalia. Sebagai seorang yang tergolong menteri kepercayaan Jokowi, Bahlil tidak diam dengan apa yang dilakukan Tempo padanya, buntutnya, Bahlil melaporkan karya jusrnalistik Tempo tersebut ke Dewan Pers.
Ada suatu keunikan melihat kasus yang menimpa Bahlil dalam kemasan khas Tempo, keunikan tersebut tidak hanya menyulut pergolakan sejarah pers di Indonesia, tetapi juga gaya berselanjar para pelenting intelektualisme publik melalui karya-karya jusrnalitik yang jernih dan bermuatan kontrol publik.
Tidak diapat dipungkiri, seiring mati dan hidupnya lembaga pers di Indonesia, mulai dari orde lama, orde baru hingga kini dapat ditarik benang merah bahwa ada kecenderungan kekuasaan tidak begitu suka dengan pers yang “nyinyir” pada kepentingan kekuasaan. Fakta inilah yang menjadikan ada lembaga pers gulung tikar keran kekuasaan, ada pers dimodali penguasa, ada pers yang menjadi alat kekuasaan.
Cermati saja misalnya sejarah terbentuknya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang tidak lepas dari hasrat politik Soeharto. Cermati juga misalnya sejarah terbentuknya Dewan Pers dan cara mainnya. Dalami juga misalnya berbagai surat kabar pentolan ideologis anti pemerintah yang kemudian lenyap dan tertanm rapi di dalam bumi.
Bagi pelaku pers hari ini, pers yang sedang melaju bersama kemegahan dunia digitalisasi, mungkin tidak semua paham bagaimana nasib surat Kabar Raya, termasuk siapa itu Moctar Lubis dan tokoh-tokoh pers bergengsi di republik ini yang karya jurnalistiknya seperti pil pahit bagi arah kekuasaan di republik ini. Pahit, namun menyembuhkan.
Dalam konteks perseteruan antara Bahli dengan Tempo, ada pembelajaran publik yang penting untuk diambil. Di antaranya adalah tidak selamanya penguasa itu lepas dari investigasi sebagai karya juralistik, apakah itu dalam hal membongkar parktik kotor penguasa maupun upaya untuk mencegah agar penyalahgunaan kekuasaan semakin meraja lela. Demikian halnya dengan tidak selamanya karya jurnalistik Tempo itu benar.
Sebagai lembaga pers yang kredibelitasnya tinggi, ditopang dengan sejarah pergerakan politik Jurnalistik Tempo yang segar dalam melihat laju kekuasaan di republik ini, Tempo pada beberapa hal juga mengalami kekeliruan, dan hal tersebut merupakan suatu kewajaran dalam aktvitas pers selama masih mengaju pada etika jurnalistik. Misalnya waktu lalu Tempo menayangkan koreksinya terhadap apa yang dikatakannya kepada Erick Thohir,sehingga Tempo mengarah pada permintaan maaf atas silang pendapat yang dibuatnya.
Lanta bagaimana dengan kasu Bahlil dengan Tempo saat ini, terkait uang semir sepatu, pungutan hingga minta saham? Permasalahan ini masih terus bergulir. Meskipun Bahlil melaporkan ke Dewan Pers, namun mencermati pers tidak terhenti pada Dewan Pers, sebab Dewan Pers cenderung berposisi sebagai wasit, bukan sebagai pemain yang mempejuangkan hak-hak rakyat dalam mendapatkan informai yang layak dan mencerahkan, terutama dalam mengontrol atau membongkar ulah penguasa yang dekat dengan praktik menyalahgunakan kekuasaan.
Pada posisi ini, Katacyber.com masih tetap berpendirian bahwa karya jurnalistik yang jernih, karya yang telah melawati kaedah kerja meja berlapis dan memprioritaskan kepentingan publik adalah tidak dapat diintervensi oleh apapun, termasuk penguasa itu sendiri. DI sinilah kita perlu memandang bagaimana cara kerja politik jurnalitik yang berjalan seimbang di antara intervensi penguasa dan kebutuhan informasi publik agar tetap sehat.
Politik Juralistik bukanlah semacam politik praktis, ia merupakan serangkaian proses justalistik agar tujuan-tujuan mulia jurnalistik mengalami kedigdayaannya. Politik jurnalistik bukan praktik kerja partisannya partai politik. Independensi menyuarakan kebenaran yang mesti disuarakan adalah spirit politik jurnalistik. Menghindari kerja-kerja jurnalistik jauh dari hal-hal politik adalah sebuah kemustahilan, terlebih soal politik modal dan kekuasaan di lingkar penguasaha pers.
Tantangan pers semakin hari semakin komplet, kemampuan adaptif dan gaya berselancarnya pun harus tetap main cantik, jika tidak, pers yang masih bernafas hari ini akan mengikuti pers yang telah terkubur dalam sejarah pesr di tanah air. Dalam konteks ini, Tempo beserta beberapa inutri pers lainnya secara tidak langsung dapat dikatakan sebagai alat juang dalam menyehatkan informasi yang dikonsumsi publik. [zulfata]
Leave a Review