Ada Pistol, Ada Kuasa

Oleh : Danu Abian Latif
Founder Sekolah Kita Menulis Cabang Langsa/Penulis Buku Opini Nakal untuk Indonesia.

Banyaknya kasus penembakan dalam waktu berdekatan oleh oknum polisi menjadi tanda tanya besar di kalangan masyarakat, sebenarnya ada apa dengan polri saat ini? Keresahan masyarakat ini muncul dari beberapa kasus pembunuhan belakangan ini yang melibatkan anggota kepolisian.

Peristiwa pertama penembakan oleh oknum Brimob Polda Bangka Belitung yang menewaskan warga bernama Beni, penembakan tersebut di lakukan lantaran Beni di duga mencuri buah kelapa sawit.

Peristiwa penembakan lainya pernah di lakukan oleh AKP Dadang selalu Kabag Operasional Polres Sumatera Barat menembak rekanya sendiri AKP Ulil Ryanto selaku Kasat Reskrim, di duga hal ini dilakukan akibat ketidaksesuaian pendapat dalam penanganan tambang ilegal di Solok Selatan.

Terakhir peristiwa penembakan yang sangat membuat sakit hati masyarakat yaitu penembakan yang di lakukan Bripka R terhadap Gamma siswa SMKN 4 Semarang, pasalnya terjadi kerancuan apologi penembakan di lakukan karena dugaan Gamma melakukan tawuran, hal ini berbanding terbalik dengan hasil kesaksian orangtua Gama yang mengungkapkan bawasanya Gamma adalah anak yang baik, berprestasi dan tidak ada riwayat tawuran. Banyaknya kasus penembakan yang di lakukan oleh kepolisian sudah cukup menjadi bukti, kewenangan yang di dapat justru di salahgunakan.

Apakah extrajudicial killing (pembunuhan di luar proses hukum) coba di normalisasi di Indonesia. Jelas sudah bahwasanya Extrajudicial killing  melanggar prinsip dan hak konstitusional warga negara bahkan merupakan suatu pelanggaran HAM. Patut di pertanyakan process of lawapakah benar-benar ada, mudahnya menarik pestol dan membunuh jelas kepolisian sudah kehilangan prinsip fundamental sebagai penegak hukum.

Lunturnya Citra Polri
Banyaknya kasus yang melibatkan anggota kepolisian membuat Polisi Republik Indonesia kehilangan citranya di kalangan masyarakat, pasalnya banyaknya tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya di lakukan sebagai aparat penegak hukum malah selalu di pertontonkan di ruang lingkup publik, seperti korupsi, pembunuhan, penembakan, penganiayaan dan lainya.

Seiring dengan tindakan buruk yang di lakukan oleh oknum-oknum kepolisian masyarakat melakukan tindakanperlawanan melalui media sosial dengan membuat hastag #Awaspembunuhanak, #Percumalaporpolisi dan hastag lainya, masyarakat melabel polisi sebagai penjahat yang berseragam.

Tampaknya survey dari indikator yang menyatakan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri naik menjadi 73,3% dan survei Ipsos Global Trustworthiness Index 2024 yang dirilis pada Oktober yang menyatakan naiknya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap polri naik 28% patut di pertanyakan, pasalnya data ini berbanding terbalik dengan respon masyarakat terhadap Polri.

Kepolisian saat ini di mata masyarakat hanya orang-orang yang menyalahgunakan kuasa demi keuntungan pribadi, seperti terlibat korupsi, melakukan pungli, menjadi kaki tangan orang kaya, mengamankan tempat dan mudahnya melakukan exrajuficial killing membuat hancurnya citra polrihingga menciptakan rasa ketakutan pada masyarakat sipil, hal ini bertolak belakang pada tugas badan penegak hukum yang seharusnya memberikan rasa aman.

Padahal sudah termaktub jelas di dalam UU Kepolisian RI “Tujuan Kepolisian Republik Indonesia adalah mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.

Polri Harus Berbenah
Sudah saatnya Polri harus berbenah dan memperbaiki lembaga penegak hukum pada fitrahnya, mau bagaimanapun kata maaf tidak akan cukup untuk mengobati luka kekecewaan masyarakat terhadap Polri, upaya yang harus di lakukan Pertama  polisi di harapkan dapat berbaur dengan masyarakat dengan harmonis, dalam artian tidak ada label seragam sehingga dapat bersifat pragmatis dan arogan merasa seenaknya sendiri dengan rakyat kecil, di harapkan berubah dengan mengedepankan senyum, ramah dan transparansi sehingga label polisi buruk bisa berkurang.

Kedua, coba pihak Polri membuat sebuah kebijakan pemeriksaan psikologi anggota kepolisian sekurangnya 1 tahun sekali, hal ini di upayakan untuk mengetahui psikis anggota kepolisian tertelan atau tidak, di harapkan dengan melaksanakan pemeriksaan psikologi secara rutin dapat menghasilkan mental baik anggota kepolisian.

Kepada bapak Kapolri Jendral Listyo Sigit harus mengevalusisistem penerimaan anggota kepolisian, banyaknya stigma bahwasanya masuk polisi harus bayar dengan nominal ratusan juta agar dapat lulus, mau bagaimanapun ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi kasus suap terjadi, sehingga muncul label polisi materialis, dengan harapan sikap tegas dari bapak Jendral stigma ini dapat hilang dan di harapkan dapat memulihkan citra polisi.

Terakhir beri hukuman setegas-tegasnya pada oknum polisi yang melakukan pelanggaran, apabila hal ini dapat di lakukan presepsi masyarakat mungkin akan berubah bahwasanya tidak ada hal yang di tutupi dan pembelaan pada sesama polisi, semua akan sama derajatnya apabila berhadapan di mata hukum.

Maka dari pada itu kepada Kapolri cobalah bebernah, jangan sampai presepsi masyarakat tentang kata-kata dari mantan Presiden KH. Abdurrahman Wahid “polisi yang jujur ada tiga, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jendral Hoegengmenjadi pedoman masyarakat, mari wujudkan kembali kepercayaan masyarakat pada lembaga Polri, bahwasannyamasih ada polisi yang jujur dan Polri harus membuktikan dapat menjadi penegak hukum yang benar-benar memberikan rasa aman pada masyarakat kecil.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi