Tempo, Dasco dan Najwa Shihab

Ilustrasi/Berbagai Sumber.

Oleh Zulfata (CEO Media Katacyber.com)

Perkembangan pers Indonesia saat ini tidak terlalu mundur dan tidak pula terlalu maju, ia berada di posisi maju kena mundur kena. Artinya, jika dibandingkan di masa orde baru, maka pers Indonesia hari ini masih mending. Kemudian, jika dibandingkan dengan indeks kebebasan pers di Indonesia skala dunia (2024), Indonesia justru mengalami tren menurun dan cenderung memburuk.

Memang tidak mudah menggambarkan, apa lagi mejelaskan secara detail terkait eksistenti pers di Indonesia saat ini, selain dipengaruhi oleh relasi pemodal, politisi dan industri pers yang semakin komplit di tengah cara kerja influenser penguasa. Paling tidak, secara sederhana situasi dan kondisi pers Indonesia hari ini dapat dicermati dari fenomena Tempo, Sufmi Dasco Ahmad dan Najwa Shihab.

Sebagai industri pers yang mentereng dengan ciri khas investigasinya, Tempo tampak tidak mengenal jera, semakin diteror, ia semakin lincah dan gesit menyajikan informasi publik. Tak heran, Tempo selalu menang mengambil perhatian publik Indonesia. Hingga kini, Tempo masih saja mendapat lebel sebagai media yang didonasi oleh pihak asing. Pertanyaan lanjutannya, apakah Indonesia tidak mendapat donasi (investasi) dari negara asing?

Lantas apa kaitannya dengan Sufmi Dasco? Politisi ulung anak buah Presiden Prabowo Subianto ini sedang dilanda oleh temuan versi Tempo yang berjudul “Investigasi Kamboja”. Terkait ini, Bang Dasco (sapaan akrabnya) tampak tidak membenarkan apa yang menjadi temuan Tempo terhadap namanya dibawa-bawa dalam kasus perjudian di Kamboja. Terkait ini, berabagai media simpatisan Dasco pun melakukan pembelakan terhadap Dasco. Dalam bagian ini, politik pers di Indonesia semakin menarik dengan berbagai paradoks yang ditampilkannya.

Potret Tempo dan Dasco yang disinggung di atas secara tidak langsung telah memberikan sinyak kepada kita terkait siapa yang benar dan jernih dalam memberikan informasi publik? Karena inilah penulis menyebut pers Indonesia tidak mudah untuk menilai kejernihan informasinya. Jika dilihat dari rekam jejak Tempo menyajikan liputan, terkadang tidak semuanya berjalan mulus, beberapa waktu Tempo juga pernah teledor dan mempublis klarifikasi “mohon maaf”. Hal ini misalnya dapat dilihat dari kasus Tempo dengan Menteri Bahlil dalam liputan “minta saham”.

Namun demikian, bukan berarti Tempo dikucilkan dengan itu. Kehadiran Tempo saat ini suka atau tidak telah menjadi simbol spirit inspiratif dari berbagai media di Indonesia karena keberaniannya. Sehingga polemik Tempo dan Dasco dapat dijadikan potret betapa masih adanya elegansi politik komunikasi antara penguasa dan industri pers.

Sampai hari ini, berbagai teror yang menimpa Tempo belum dapat dituntaskan oleh pihak kepolisian meskipun pihak Tempo telah melaporkannya kepada pihak yang berwenang (kasus teror kepala Babi dan bangkai tikus). Peristiwa ini secara tidak langsung memberi tafsiran bahwa keadilan hukum belum begitu condong terhadap cara kerja pers. Belum lagi soal keberpihakan legislasi dan kepastian hukum terhadap korban kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.

Lain halnya dengan fenomena kritisisme insan pers, ini ada kaitannya dengan liputan jurnalistik ala Najwa Shihab. Jurnalistiknya yang dikenal pedas dan tajam pada kekuasaan, namun di era Presiden Prabowo Subianto, Najwa Shihab tampak hambar dan tumpul. Dari fenomena pers seperti ini dapat kita tangkap bahwa kondisi pers di Indonesia memang rawan lunak di pangkuan kekuasaan. Sehingga pers sedemikian juga mengindikasikan lunturnya pers sebagai “anjing penggonggong pada kekuasaan”. Secara auto pula, penerapan pers sedemikian juga ikut berkontribusi merusak nilai demokrasi di Indonesia.

Dari tiga nama tersebut (Tempo, Dasco dan Najwa Shihab), dapat ditarik benang merah bahwa perkembangan pers Indonesia belum begitu mampu dan belum jitu saat berhadapan dengan kekuasaan. Demikian juga pelaku-pelaku pers masih rawan terperosok ke dalam permainan kaki tangan elite di lingkar penguasa. Fakta ini dapat dilihat misalnya insan-insan pers senior yang pernah namanya berkarir baik di dunia jurnalistik, namun kemudian saat masuk ke dalam jajaran kabinet pemerintah, tingkah laku mereka tidak jauh beda dengan para preman yang sengaja dibayar untuk menciptakan teror dan melakukan kekerasan fisik terhadap pelaku jurnalistik di Indonesia.

Akhirnya, dengan situasi seperti ini, kita patut bersyukur bahwa di tengah berbagai himpitan dan upaya mengerdilkan kerja pers oleh penguasa beserta jejaringannya yang menggurita, di saat itu pula kekuatan apa yang disebut no viral no justice masih memberi momentum positif bagi  sistem kerja pers di Indonesia masa kini.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi