Pagi itu, mentari telah mulai menyinari langit, namun di balik keindahan alam, terdapat kegelapan yang menyelinap di antara lorong-lorong bangunan rumah sakit itu. Kang Ono, seorang karyawan yang setia, baru saja menyelesaikan tugasnya untuk shift pagi. Langkahnya yang biasa-biasa saja terhenti ketika sebuah panggilan tak terduga memecah keheningan pagi itu.
Seorang ajudan direktur, wajahnya penuh ketegasan, meminta Kang Ono untuk masuk ke dalam ruang direktur. Di sana, rekaman CCTV menampilkan adegan yang mengguncangkan hati Kang Ono. Sosok yang ditunjukkan oleh kamera dianggap sebagai dirinya. Dalam sekejap, suasana tenang pagi itu berubah menjadi badai amarah yang melanda ruangan.
Ajudan direktur menatapnya tajam, “Apakah ini kau?” tanyanya serius.
Kang Ono, dengan wajah pucat, buru-buru membantah, “Bukan, bukan bang.”
Namun, bingkai video itu menunjukkan sosok yang sangat mirip dengannya. Ajudan Direktur terus menekannya, mencari pembenaran atas kecurigaannya. “Postur tubuhnya seperti kau,” ucapnya tegas.
Kang Ono berusaha menjelaskan, “Bukan aku, Bang. Aku gak pernah memakai jaket ketika bekerja.”
“Dimana HP yang kau jual?
Ikuti aku!” ujar ajudan direktur dengan nada yang menggertak.
Namun, penjelasannya tidak cukup meyakinkan. Ajudan direktur memaksa Kang Ono untuk mengakui kesalahannya, meskipun dengan cara yang keras. Yang membuat situasi semakin tegang adalah ketidaksenangan bahwa salah satu ajudan direktur adalah seorang anggota polisi yang terkenal kejam. Ditambah lagi, polisi yang terlibat juga tidak segan-segan untuk mempergunakan kekerasan untuk memaksa pengakuan.
Kang Ono berusaha menjelaskan bahwa ia tidak bersalah, namun suasana ruangan telah dipenuhi dengan desakan yang membuatnya terpukul. Ia dipaksa mengikuti perintah dengan hati yang terberat. Mereka melangkah keluar menuju pusat kota, tempat dimana tuduhan tersebut menggantung di udara.
Tanpa bukti yang kuat, Kang Ono dibawa berkeliling kota dengan paksa. Dia dihadapkan pada berbagai tempat yang tidak pernah dia kunjungi sebelumnya, sementara interogasi yang keras terus berlanjut. Tetapi, Kang Ono tetap kukuh dengan kebenaran yang dia yakini.
Dalam tekanan yang menyengat, Kang Ono terus berjuang mempertahankan diri. Namun, tuduhan itu semakin melekat padanya, menjadikan situasi semakin genting. Bahkan, di depan toko elektronik, ancaman fisik hampir saja terjadi, ketika seorang tukang becak menggeram dengan penuh kemarahan.
Kang Ono kembali dituduh menjual barang curian tanpa bukti yang jelas. Meskipun polisi dan orang-orang di sekitarnya semakin keras dalam tindakan mereka, Kang Ono tidak menyerah pada desakan untuk mengakui kesalahannya. Dia hanya terdiam, dengan hatinya yang gemetar dan pikirannya yang dipenuhi oleh kebingungan dan ketakutan.
Dibawa ke tempat lain, Kang Ono terus ditekan untuk mengaku melakukan sesuatu yang tak pernah dia lakukan. Namun, dia memegang teguh kebenarannya, meskipun harus menerima perlakuan kasar yang melukai hati dan tubuhnya.
Dalam perjalanan yang penuh tekanan itu, Kang Ono tidak diperlakukan sebagai manusia. Dia dianggap sebagai pelaku tanpa bukti yang cukup, tanpa hak untuk membela diri. Bahkan ketika dia ditelanjangi oleh kekerasan fisik dan mental, dia tetap bertahan dengan keyakinan bahwa dia tidak bersalah.
Setelah berbagai interogasi yang kasar, Kang Ono akhirnya dibawa ke kantor polisi setempat. Di sana, dia masih harus berurusan dengan tuduhan yang sama, namun kebenarannya tetap tak tergoyahkan. Bahkan, saksi yang mengenalnya pun tak mampu memberikan bukti yang cukup untuk membantunya.
Dalam sel yang gelap dan dingin, Kang Ono duduk dengan kesedihan yang mendalam, memikirkan bagaimana hidupnya bisa berubah dalam sekejap. Dia bertanya-tanya, mengapa ia harus menjadi korban dari keadilan yang tak berpihak?
Saat malam menjelang, Kang Ono keluar dari sel polisi dengan tubuh lemah dan hati hancur. Namun, di tengah kegelapan, masih ada harapan. Harapan untuk keadilan yang hakiki, yang bukan hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memperbaiki sistem yang rusak.
Bahkan ketika dijemput oleh kepala desa dan anaknya, Kang Ono masih merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Perlakuan kasar dan sikap merendahkan tetap menghampirinya, meskipun beberapa orang berusaha membela dan memahaminya.
Pertanyaan-pertanyaan pun terus bergulir di benaknya. Apakah prosedur yang dilakukan oleh pihak kepolisian sudah sesuai? Apakah adil jika kasus ini dianggap selesai tanpa adanya bukti yang kuat? Dan apakah perlakuan kasar yang dia terima adalah akibat dari pandangannya yang meremehkan?
Ketika Kang Ono mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, ia merenungkan tentang adanya kemungkinan diskriminasi dalam perlakuan yang dia terima. Dia bertanya-tanya, apakah ia dihukum karena asal suku atau latar belakangnya? Dan apakah ini bisa terjadi pada siapapun?
Yang lebih menyedihkan lagi, dia mengetahui bahwa anaknya juga harus membayar mahal untuk menyelesaikan masalah ini. Baginya, itu adalah pukulan yang paling menyakitkan, mengingat kerugian besar yang telah dia tanggung.
Namun, di tengah semua penderitaan itu, Kang Ono memilih untuk tetap teguh pada kebenaran. Meskipun dia terpuruk dalam kesedihan dan keputusasaan, dia tahu bahwa hatinya bersih dan dia tidak bersalah. Dan dalam hatinya, ia tetap berharap bahwa suatu hari nanti, keadilan akan tercapai di Tanoh Alas Metuah ini.
Di balik tuduhan yang tidak terbukti, ada luka yang lebih dalam. Kehormatan, mata pencaharian, dan harga diri dirampas dengan seenaknya. Perlakuan ini bukan hanya terhadap Kang Ono, tetapi juga terhadap integritas penegak hukum itu sendiri.
Pada akhirnya, cerita Kang Ono bukan hanya sekadar kisah tentang satu individu yang menjadi korban ketidakadilan, tetapi juga sebuah cermin dari berbagai masalah dalam sistem hukum dan penegak hukum tetapi juga sistem yang korup dan tak adil yang harus diatasi.
Kritik bukan hanya tentang kesalahan individu, tetapi juga tentang sistem yang memungkinkan hal ini terjadi. Ketidakadilan tidak boleh dibiarkan merajalela di tengah masyarakat yang semestinya dijaga oleh penegak hukum.
Dan di balik semua itu, mungkin ada asumsi suku atau latar belakang tertentu yang memperkeruh situasi. Diskriminasi tidak hanya tentang ras atau agama, tetapi juga tentang kekuasaan dan priviledge.
Ini adalah cerita tentang ketidakadilan yang merajalela di tengah- tengah masyarakat, dan kebutuhan akan keadilan yang adil dan merata bagi semua orang.
Melalui kisah Kang Ono, kita diingatkan akan pentingnya memperjuangkan keadilan, dan bahwa setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau suku, harus diperlakukan dengan hormat dan adil. Karena hanya dengan itu, kita dapat membangun masyarakat yang lebih baik dan lebih manusiawi untuk semua orang.
Leave a Review