Membedah Socrates dengan Humor (2)

Oleh: Syarifuddin Abe

Mencermati Socrates, apalagi membacanya dengan pendekatan humor, kita akan diajak berpikir sambil tertawa. Banyak logika terbalik yang membuat kita geleng-geleng kepala. Keunikan Socrates seperti membaca serial komik yang setiap episode kisahnya membuat kita tersenyum lalu tertawa. Tentu kita tidak hanya tertawa saja, melainkan juga kita disuguhi nilai-nilai kebijaksanaan dalam sebuah perenungan penuh pesan dan makna. Kisah perjalanan hidup Socrates penuh konyol dan humor dengan pesan-pesan yang membuat kita tercengang. Orang boleh bilang begini tentang Socrates, tapi sebenarnya Socrates begitu. Kebijaksanaan yang ditularkannya tidak pernah terputus dan tak lapuk dihantam tahun dan abad.

Sebagaimana pada artikel sebelumnya, Socrates adalah filsuf yang suka bertanya. Sampai-sampai, jika Socrates tidak menemukan orang yang mau meladeninya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya, Socrates siap membayar orang hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukannya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Socrates membuat orang yang ditanya kebingungan dan penuh keresahan karena tak mampu meladeni jawaban dari pertanyaan dari Socrates. Ironi sekali memang, namun bagaimana lagi? Namanya juga orang mencari kepastian jawaban dan jawaban itu menurut Socrates harus dihasilkan melalui pertanyaan-pertanyaan. Bagi Socrates, tidak ada jawaban tanpa pertanyaan.

Socrates tidak mau orang menduga-duga pengetahuannya. Kepastian itu harus lahir berdasarkan pertanyaan-pertanyaan. Maka suatu ketika, Socrates dicela oleh orang-orang di Athena hanya karena Socrates tidak suka (banyak) bicara, Socrates lebih banyak diam dan berpikir, bahkan Socrates lebih suka berkeliling di suatu tempat hanya untuk mencari kebijaksanaan. Merasa dicela karena tidak banyak bicara, lalu Socrates berkata, “Aku telah diberi oleh Tuhan dua telinga dan satu lidah, hal ini tak lain dan tak bukan, agar aku lebih banyak mendengar dan mendengar daripada aku bicara melulu”.

Baiklah, dalam tulisan ini, saya akan membahas tentang pertemuan Socrates dengan kaum Sofis dan pertautan hukum dengan Socrates. Kenapa Socrates sangat konsen dengan hukum? Socrates orang menginginkan hukum tegak dengan baik, tentu bukan barang yang dipermainkan. Kalau ditanyakan kepada Siocrates, mana lebih mahal antara nyawa dan hukum? Bagi Socrates, hukum lebih mahal daripada sebuah nyawa. Bagaimana kalau ada ahli hukum yang mempermainkan hukum? Socrates tidak menjawab, tapi hanya tertawa sambil meninggalkan orang yang bertanya.

Socrates dan Kaum Sofis
Hal yang harus selalu diingat adalah apapun yang kita lalukan, apakah itu benar atau salah, kita pasti akan bersinggungan dengan orang lain. Suka atau tidak suka, kita tetap akan bersinggungan dengan orang lain, titik! Maksudnya adalah sesuatu yang kita anggap baik dan benar, belum tentu baik dan benar di mata orang lain. Jangankan yang salah, yang benar saja akan bermasalah di mata orang lain. Apalagi kalau sesuatu masalah itu sudah bersinggungan dengan politik atau malah dipolitiskan oleh orang lain. Hal demikian juga dialami oleh Socrates. Kita pikir karena Socrates tidak banyak teman, ke mana saja Socrates pergi tidak pernah mempersulit dan menyusahkan orang lain. Tanpa sadar, dengan sendirinya, tiba-tiba muncul permasalahan. Apa yang dilakukan oleh Socrates, tanpa disadari ternyata bersinggungan dengan suatu kelompok, itulah kelompok Sofis.

Kaum sofis adalah sekelompok guru atau intelektual yang datang dari luar Yunani, mereka berkeliling kota Athena untuk mengajari filsafat. Mereka mengajari filsafat dengan cara mengaharapkan imbalan. Mereka tidak mengajari filsafat kepada sembarangan orang, melainkan mereka menemui orang-orang kaya dengan harapan mendapatkan imbalan. Tidak hanya menginginkan imbalan juga, mereka menghalalkan berbagai cara, yang penting dapat memuaskan orang-orang yang membayar mereka. Kalau ada yang bertanya kepada mereka, mereka akan menjawabnya dengan jawaban yang menyenangkan orang yang bertanya, yang penting dari jawaban itu dapat menguntungkan mereka. Yang dilakukan adalah mengkaburkan kebenaran itu sendiri. Sehingga yang mereka lahirkan adalah kebenaran yang relatif.

Kebenaran relatif adalah kebenaran berdasarkan sudut pandang siapa saja. Kalau menurut seseorang sesuatu itu benar, hanya demi mendapat imbalan sebanyak-banyaknya, maka sesuatu itu akan menjadi benar. Kaum Sofis ini, memiliki pandangan yang sama dengan para filsuf setelah Socrates, khususnya tentang skeptisisme terhadap mitos-mitos tradisional. Kaum Sofis sama sekali tidak tertarik menyelidiki tentang alam semesta. Menurut mereka, menyelidiki tentang alam semesta itu bikin ruwet, bagi mereka manusia tidak ada yang mampu memahami misteri alam dan jagad raya. Makanya, mereka berpegang teguh pada relativisme, benar dan salah bersifat relatif tergantung pada individu. Sebagaimana pernyataan Protagoras, “Manusia adalah ukuran segala sesuatu,” yang menekankan pada relativitas kebenaran.

Berbeda dengan kaum Sofis pada zamannya, Socrates tak henti-hentinya memberikan pembelajaran kepada masyarakat Athena yang memusatkan perhatiannya pada manusia. Perbedaan antara Socrates dengan kaum Sofis, Socrates sedikitpun tidak pernah memungut biaya terhadap pembelajarannya itu, menolak relatifisme serta yakin ada kebenaran obyektif bahkan Socrates tidak pernah memaksa orang mengikuti pemikirannya, akan tetapi hanya mendorong orang untuk mengetahui dan menyadari keberadaan dirinya sendiri sebagai manusia seutuhnya. Demikian juga metode yang digunakan Socrates cukup unik, hal itu juga mengusik ketentraman penguasa di Athena ketika itu dan itu pun hanya karena hasutan dari kaum Sofis kepadanya.

Pada hakikatnya, Socrates bukannya mengajarkan atau menjawab sesuatu hal, akan tetapi bertanya hal-hal mengenai pekerjaan dan hal-hal yang dijalani sehari-hari yang sebelumnya jarang dibahas. Secara induktif, Socrates menanyakan menyangkut definisi umum tentang sesuatu hal, seperti apakah kebahagiaan itu? Apakah keadilan itu? Apakah kedamaian itu? Apakah hukum itu? Socrates ingin masyarakat Athena paham dan tahu segala sesuatu yang dijalaninya, sambil mengantarkan mereka ke arah kebenaran. Metode ini merupakan metode kebidanan yang oleh Socrates hanya membantu membidani kelahiran gagasan murid-muridnya saja. Metode ini menggunakan gaya ironi di mana sengaja ia menanyakan hal-hal yang membingungkan sehingga jawabannya menjawab hal yang bertentangan. Inilah dialektika Socrates yang menghebohkan, bahkan dianggap aneh.

Plato dan Aristoteles, di kemudian hari menganggap kaum Sofis ini sebagai orang yang menyesatkan makna filsafat, intelektual sesat, mereka menyebarkan makna kebenaran yang keliru dengan sengaja, intelektual penipu, serta intelektual tidak jujur dan tidak bermoral. Xenophon (430-354 SM) yang merupakan murid Socrates, tentara, sejarawan serta penulis memoir, menganggap kaum Sofis sebagai pengejar keuntungan pribadi bahkan tidak mau membantu orang lain. Plato malah menganggap mereka negatif, dijuluki sebagai “penjaga toko barang spiritual.” Plato secara khusus memandang Socrates sebagai pengecualian yang telah mengembangkan pemikiran lebih jauh daripada kaum Sofis.

Sofisme bukan mazhab dalam dunia filsafat. Mereka hadir dari berbagai masyarakat di luar Yunani, mereka selalu bepergian mengunjungi dari kota ke kota yang pada abad ke-5 SM tiba di Athena, mereka adalah para guru retorika, mengembangkan seni pidato yang membujuk publik. Seni berpidato adalah salah satu kebutuhan bagi masyarakat Athena terutama bagi politisi untuk mencapai kesuksesannya. Munculnya sofisme juga dikarenakan hasil dari perkembangan demokrasi di Athena setelah Perang Parsi tahun 449 SM. Ini mendorong pemuda untuk menjalani pelatihan supaya dapat andil dalam politik dan memperoleh jabatan serta kekuasaan Kaum Sofis adalah para intelektual abad ke-5 di Athena, relativistik terhadap kebenaran, mengajar berbagai keterampilan serta memainkan peran penting dalam perkembangan politik dan masyarakat di Athena. Keberadaan mereka walau kontroversial, warisan dan dampak mereka dalam sejarah filsafat boleh dibilang memiliki peran tersendiri khususnya bagi perkembangan filsafat.

Pengadilan Socrates
Anda bayangkan tidak? Seorang yang dianggap bijaksana nomor wahid oleh orang-orang di kota Athena, ketika Socrates menghadapi pengadilan terhadap dirinya, hampir seluruh masyarakat Athena hadir pada persidangan itu, yang paling aneh adalah tidak ada seorang pun pembela yang mendampinginya. Padahal semua tahu, pemuda-pemuda Athena sangat berhutang budi padanya, pemuda-pemuda Athena telah dibukakan pikirannya dengan ajaran filsafat oleh Socrates. Pemuda-pemuda Athena telah diajarkan jalan kebijaksanaan dan kebenaran oleh Socrates. Hanya karena terprovokasi oleh hasutan kaum Sofis, pemuda-pemuda Athena merelakan Socrates sendirian mengahadapi dunia yang penuh hipokrit dan tipu muslihat.

Semua orang tidak menyangka, orang seperti Socrates yang dianggap tidak memiliki musuh, ternyata itu salah. Musuh tidak perlu disadari, ada atau tidak. Waktu akan memutar, yang namanya musuh tetap ada. Sebaik apa pun perilaku kita terhadap orang, yang namanya musuh tidak akan ke mana. Boleh saja kita menganggap seseorang yang selama ini sahabat akrab, ternyata tanpa kita sadari sedang menyusun siasat hanya untuk menjatuhkan kita. Bukan kita tidak boleh percaya kepada sahabat, tapi harus hati-hati atau kita tidak harus percaya secara berlebihan.

Kata orang Arab; musuh itu dekat. Makanya tidak perlu heran kalau ada kata-kata; musuh dalam selimut. Hal yang demikianlah yang dialami Socrates; yang menjadi musuh Socrates tak lain adalah orang-orang disekitar Socrates juga, walaupun pendatang dari luar tapi sudah tidak asing bagi masyarakat Athena. Masalah yang dihadapi hanya masalah kecil, yaitu rebutan wilayah. Bagi Socrates, wilayah itu sebagai tempat untuk menyebar filsafat tanpa memungut bayaran, sedangkan kaum Sofis menganggap wilayah itu menjanjikan hajat hidup untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan. Untuk menguasai wilayah itu, jalan satu-satunya adalah fitnah. Dengan fitnah dapat menguasai masyarakat Athena dengan alasan bahwa Socrates telah meracuni pikiran pemuda-pemuda Athena.

Terhadap itu semua, kemudian Socrates dituntut oleh tiga orang presekutor utama, ketiganya merupakan pemikir hebat dan tangguh pada masa itu, mereka adalah Anytus, Meletus dan Lykos (Fahruddin Fais, 2020). Anytus adalah seorang politisi demokrat, seorang politisi kelas menengah yang berkuasa, dianggap sebagai kekuatan pendorong dibalik penuntutan terhadap Socrates. Anytus juga dikenal sebagai jenderal dalam Perang Peloponnesia. Motivasi Anytus untuk mengadili Socrates didasarkan atas keyakinannya bahwa kritik Socrates terhadap institusi Athena sangat membahayakan terhadap demokrasi yang baru saja diperoleh kembali di Athena. Bahkan Socrates dikaitkan dengan orang-orang yang bertanggung jawab atas penggulingan demokrasi Athena tahun 404 SM. Setelah demokrasi dipulihkan, menuduh Socrates sebagai orang yang tak henti-hentinya mengejek inti demokrasi Athena seperti pemilihan pemimpin berdasarkan suara terbanyak.

Kemudian Meletus, seorang penyair, yang memprakarsai penuntutan terhadap Socrates. Meletus membuat dua tuduhan terhadap Socrates, yaitu menolak untuk mengakui dewa-dewa yang diakui oleh negara serta memperkenalkan dewa-dewa baru dan berbeda serta merusak kaum muda dengan pikiran-pikirannya. Hanya sedikit yang tahu tentang penuduh ketiga; Lycon, sebagai seorang orator, sebuah profesi yang dianggap rendah oleh Socrates. Socrates berpendapat bahwa para orator kurang peduli dengan pencarian kebenaran dibandingkan menggunakan keterampilan pidato mereka untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh. Socrates menganggapnya sebagai pengacau. Oleh karena itu, Lycon menganggap Socrates sebagai ancaman dirinya dan terhadap demokrasi yang sangat dia hargai.

Socrates menolak semua tuduhan terhadapnya. Socrates merasa tidak pernah melakukan sebagaimana yang dituduh. Namun, yang bikin membelalak mata, Socrates tidak pernah mencoba untuk melarikan diri untuk menyelamatkan dari tuduhan itu. Yang lebih aneh dan lucu adalah Socrates membela terhadap dirinya bukan ingin lepas dari jeratan hukum, melainkan ingin mempertahankan gagasan-gagasan kefilsafatan yang dikembangkannya, dan membuat semua yang hadir terkesima. Inilah mungkin yang membuat Plato sebagai salah satu muridnya yang setia, meronta-ronta menangis agar Socrates membela dirinya untuk terlepas dari jeratan hukum yang semena-mena itu.

Socrates adalah orang yang teguh dan yakin dengan apa yang diperjuangkannya. Ia ingin mengedepankan sebuah kejujuran, hal yang diyakininya sebagai sebuah nilai utama dari semua nilai yang diargumentasinya. Tidak ada sedikitpun tampak di wajah Socrates rasa takut, bahkan ia menantang para hakim. Socrates tetap tidak akan berhenti mengamalkan dan memperjuangkan filsafat, bahkan Socrates menawarkan kepada siapa saja yang hadir pada persidangan itu untuk sedapat mungkin mengamalkan filsafat, baginya filsafat adalah jalan menuju kebijaksanaan dan kebenaran. Bagi Socrates, mau dibebaskan atau tidak dari tuduhan itu, tetap akan mempertahankan filsafat walau seribu kematian melilitnya. Apapun argumentasi Socrates, tak pernah didengar oleh hakim, Socrates tetap dicerca dan dipojokkan. Pengadilan menjadi ramai antara terdakwa dan penuntut yang saling berargumen. Walaupun demikian, tuduhan tidak berkurang, para hakim tetap bersikukuh bahwa Socrates bersalah dan harus dihukum.

Putusan terhadap Socrates adalah hukuman mati dan Socrates dengan tenang mendengar keputusan itu. Persidangan menyodorkan dua opsi, Socrates dihukum mati dengan meminum racun atau bebas dari semua tuntutan dengan syarat menghentikan kegiatan filsafatnya. Socrates dengan tenang dan ikhlas memilih opsi pertama. Semua murid dan sahabatnya yang hadir bingung, mereka tetap ingin membebaskan Socrates dan Socrates dengan keteguhannya tidak pernah tergoda. Socrates bersikeras dan tetap hidup dalam penjara, bagi Socrates, “hukum harus dipatuhi bagaimana pun jelek dan rendahnya”. Entah pihak pengadilan tidak tega menghukum Socrates atau merasa menyesal setelah menghukumnya dengan hukuman meminum racun, sehingga sebelum dieksekusi masih ditawarkan agar Socrates mau meninggalkan filsafat sehingga ia dapat bebas dari hukuman itu. Namun bagi Socrates, ajaran kebenaran dan kepatuhan kepada hukum adalah prinsip-prinsip yang harus ditegakkan dengan benar juga,

Kematian Socrates adalah sebuah ironi bagi Yunani. Dikenalnya Yunani di mata dunia hanya karena hukuman kepada Socrates juga sebagai sebuah ironi. Padahal ada cara-cara lain, kalau memang Yunani ingin terkenal dengan hal yang demikian. Ini sebuah ironi juga, bukan?

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi