Tanoh Alas Bergolak: Kandidat Sibuk Saling Serang

Oleh: Apriadi Rama Putra

Dalam setiap kontestasi politik, terutama dalam ajang pemilihan kepala daerah, atmosfer panas dan ketegangan memang kerap terjadi. Namun, ada batasan yang harus tetap dijaga, batasan yang menjunjung tinggi moral dan etika demi menjaga kedewasaan demokrasi. Melihat apa yang terjadi di Aceh Tenggara saat ini, atmosfer kampanye justru dipenuhi dengan caci maki, tuduhan, serta politik adu domba yang membuat masyarakat terpecah. Apa yang sesungguhnya terjadi di sini? Di tengah situasi ini, peran mahasiswa, aktivis, dan akademisi menjadi pertanyaan besar. Mengapa mereka memilih diam? Lalu, bagaimana dampaknya terhadap masyarakat, yang seharusnya menjadi prioritas dalam setiap langkah dan kebijakan para kandidat?

Seiring dengan meningkatnya ketegangan politik, kita menyaksikan kampanye yang jauh dari substansi. Alih-alih menyampaikan gagasan dan ide yang visioner, para kandidat serta pendukungnya justru saling menyerang dengan kata-kata kasar, tuduhan, hingga pembunuhan karakter yang tidak berdasar. Sebagai masyarakat, kita seharusnya mendapat pencerahan dari gagasan-gagasan mereka. Namun, yang kita temui adalah saling caci dan cela. Apa dampaknya bagi masyarakat? Tentunya rasa apatis dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik.

Kondisi ini bukan sekadar pertarungan politik biasa. Jika kita melihat lebih dalam, fenomena ini adalah cerminan krisis demokrasi di tingkat lokal. Di Tanoh Alas yang dikenal sebagai “Bumi Sepakat Segenep,” masyarakat harus berhadapan dengan strategi adu domba yang meresahkan. Segenap nilai kearifan lokal yang selama ini kita pegang teguh mulai tergeser oleh sikap saling menjatuhkan yang mengancam harmoni masyarakat.

Fenomena politik adu domba bukanlah sesuatu yang baru. Dalam sejarah Nusantara, kita telah menyaksikan bagaimana politik semacam ini digunakan oleh penjajah untuk melemahkan kekuatan lokal. Contohnya adalah strategi “divide et impera” atau politik pecah belah yang diterapkan oleh kolonial Belanda untuk menguasai wilayah-wilayah Nusantara. Mereka memanfaatkan konflik internal, mengadu domba antara penguasa lokal, sehingga wilayah Indonesia yang begitu kaya raya itu bisa dikuasai dengan lebih mudah. Kini, lebih dari setengah abad setelah Indonesia merdeka, kita malah menyaksikan politik adu domba justru dilakukan oleh bangsa kita sendiri, untuk kepentingan pribadi atau kelompok kecil yang ingin berkuasa.

Jika sejarah mengajarkan kita betapa berbahayanya politik adu domba, seharusnya kita bisa belajar dari masa lalu. Masyarakat Aceh Tenggara adalah masyarakat yang penuh dengan kearifan lokal dan nilai-nilai budaya yang tinggi. Namun, apabila politik adu domba terus dilanggengkan, nilai-nilai tersebut lambat laun akan terkikis. Kearifan lokal yang kita kenap seperti “Sepakat Segenep” yang menjadi semboyan bersama akan kehilangan maknanya, dan masyarakat akan terpecah dalam konflik yang sebenarnya tidak diperlukan.

Mahasiswa, aktivis, dan akademisi seharusnya menjadi suara yang kritis dalam kondisi seperti ini. Mereka adalah agen perubahan, pilar demokrasi yang seharusnya menjaga kestabilan dan menjadi penengah dalam ketegangan politik. Namun, ketidakhadiran mereka dalam dinamika politik lokal di Aceh Tenggara menimbulkan pertanyaan besar. Mengapa mereka memilih diam?

Ketika masyarakat membutuhkan panduan dan pendidikan politik, suara dari kelompok intelektual dan kaum muda justru minim terdengar. Diamnya mereka ini dapat memberikan kesan bahwa fenomena politik adu domba yang merajalela dianggap wajar dan dapat diterima. Padahal, jika mereka menyuarakan aspirasi yang positif, masyarakat dapat mendapatkan referensi baru dalam memilih calon pemimpin yang tepat. Selain itu, mahasiswa dan akademisi juga bisa mengajak masyarakat untuk fokus pada program-program dan gagasan kandidat, bukan terjebak pada isu-isu yang hanya memecah belah.

Ada asumsi yang berkembang bahwa adu domba dalam politik adalah hal yang lumrah, sebuah strategi yang sah demi meraih kemenangan. Namun, asumsi ini sangat berbahaya. Ketika sebuah kemenangan diraih dengan mengorbankan persatuan masyarakat, dampaknya justru akan berkepanjangan. Jika kemenangan diperoleh dengan memanfaatkan kelemahan atau perpecahan di antara masyarakat, maka pada akhirnya masyarakatlah yang akan menanggung konsekuensinya dalam bentuk ketidakstabilan sosial dan konflik berkepanjangan. Aceh Tenggara dapat terjebak dalam lingkaran konflik yang sulit dihentikan, bahkan setelah pemilihan selesai.

Lalu, bagaimana cara menghentikan situasi ini? Salah satu langkah yang bisa diambil adalah mengedukasi masyarakat mengenai demokrasi yang sehat dan mengingatkan mereka akan bahaya adu domba. Mahasiswa, aktivis, dan akademisi dapat berperan besar dalam menyuarakan demokrasi yang bersih dan beretika. Kampanye yang bermartabat seharusnya menjadi standar, bukan sekadar angan-angan.

Selain itu, para kandidat seharusnya menyampaikan ide, gagasan, dan program kerja yang jelas dan relevan bagi masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat menentukan pilihan berdasarkan solusi yang ditawarkan, bukan pada sekadar janji kosong atau bahkan kebencian yang ditanamkan di dalam diri mereka. Jika kandidat mampu berkompetisi dengan menunjukkan visi dan misinya secara jelas, maka masyarakat akan memilih berdasarkan pertimbangan yang lebih rasional.

Bagi masyarakat Aceh Tenggara, penting untuk menyadari bahwa mereka adalah penentu akhir dalam proses demokrasi ini. Jangan biarkan diri kita terpengaruh oleh isu-isu yang sifatnya memecah belah. Belajar dari masa lalu, masyarakat perlu tetap solid dan tidak mudah terprovokasi. Kita harus berpegang pada nilai-nilai kearifan lokal yang selama ini telah menjadi landasan hidup, serta tetap mengedepankan persatuan dalam perbedaan.

Politik seharusnya menjadi ajang untuk menyampaikan gagasan dan beradu program demi kemajuan bersama. Namun, fenomena politik adu domba yang terjadi di Aceh Tenggara menunjukkan bahwa demokrasi kita masih berada dalam kondisi darurat. Masyarakat di Tanoh Alas harus dilindungi dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh ambisi politik semacam ini.

Mahasiswa, aktivis, dan akademisi seharusnya tidak hanya menjadi saksi dalam kondisi ini, tetapi juga turut menjadi penggerak perubahan, mengingatkan masyarakat agar tidak terpecah hanya karena perbedaan pandangan politik. Harapan kita semua adalah demokrasi yang sehat, di mana pemilihan umum menjadi ajang adu gagasan, bukan saling menjatuhkan atau adu domba. Hanya dengan cara ini, kita bisa menjaga keutuhan Aceh Tenggara sebagai Tanoh Alas Metuah, tanah yang damai dan penuh persatuan.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi