Siapa yang Bermain Api di Balik Pengusiran Rohingya di Aceh?

Pengungsi Rohingya mendarat di Aceh. Foto: (AFP/AMANDA JUFRIAN via BBC INDONESIA)

Editorial 07 Januari 2024

Telah 20 tahun warga Aceh menerima dengan baik pengugsi muslim Rohingya, lentas mengapa ada potensi atau terendus gerakan penggalangan penolakan pengungsi muslim Rohingya secara massif di berbagai daerah di Aceh? Untuk menjawab pertanyaan ini tentunya membutuhkan kerangka pikir rasional. Bukan mengedepankan emosioanal. Misalnya menggunakan pendekatan paradigma sebab dan akibat. Pihak mana yang menyulut atau berperan dalam “sebab” dan siapa yang tergiring dan menadikan “penggerak” akibat.

Memang apa yang disinggung terkait dalang atau penggalang yang mengelola hoaks dan emosi publik ini tidak bisa diterangkan secara eksplisit. ada potensi kelompok tertentu yang tampak asyik dalam memainkan framing tertentu, sehinggya mengakibatkan massa di Aceh tersulut untuk menolak Rohingya. Dalam dinamika sosial “penolakan Rohingya” tersebut menjadikan warga Aceh mengalami pembelahan sosial. Satu poros tetap berupaya menampung pengungsi Rohinggya, satu poros lagi membara menolak Rohingya dengan segala kreasinya alasannya.

Bagi poros yang menerima Rohingya di Aceh, cenderung berfikir rasional dan penuh dengan kesadaran kemanusiaan. Beda halnya degan ciri yang menolak Rohingya yang cenderung mengedepankan emosi dan berpikiran kerdil, baik itu masyarakat sipil maupun non sipil. Dalam konteks ini sebut saja ada “hantu yang diperintah” mengelola kegaduhan masyarakat Aceh, sehingga masyarkat Aceh jauh dari nilai-nilai adat istiadatnya dalam konteks memperkuat ukhuwah islamiyah di bumi Serambi Mekkah.

Misalnya, terdapat suatu lembaga yang bernama YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh) telah berusaha memberikan opsi solusi dengan bersedia memberikan tanah seluas 12 hektare untuk digunakan sebagai tempat penampungan sementara pengungsi Rohingya di Aceh Besar. Namun demikian, dalam upaya YARA tersebut tidak mendapat respons yang baik secara kemanusiaan karena pemerintah daerah setempat serta sekelompok yang megatasnamakan kepentingan masyarakat mendeklarasikan menolak rohingya dari Aceh Besar.

Sejatinya, apa yang dilakukan YARA tersebut merupakan jawaban dari apa yang menjadi alasan Pemerintah Kota Langsa yang menolak menjadi lokasi penampungan sementara bagi pengungsi Rohingya disebabkan Pemerintah Kota Langsa tidak memiliki lahan dan fasilitas yang layak. Sehingga, dalam konteks penolahan ini dapat ditarik benang merah bahwa terdapat kesimpulan awal bahwa pemerintah daerah di Aceh secara tidak langsung mengarah pada upaya tidak ingin masuk dalam upaya menerima pengungsi Rohingya sebagai tempat penampungan sementara.

Lain halnya dengan ada beberapa sosok yang dianggap ulama di daerah Aceh yang juga dengan santunnya menolak keberadaan muslim Rohingya di Aceh. Tentu apa yang dilakukan oleh beberapa yang dianggap ulama tersebut tanpa ada pembisik. Sehingga video pendek yang diaggap ulama tersebut beredar dengan substansi kontennya adalah warga mereka menolak keberadaan Rohingya di Aceh.

Jika ditelusuri dari berbagai bentuk penolakan Rohingya di Aceh, baik dalam bentuk media sosial maupun demonstrasi, memang tampak ada kejanggalan serta ada ruang peran dari “hantu yang diperintah”. Misalnya, dalam konteks demonstrasi dapat dilihat “hantu yang diperintah” tersebut juga ikut teribat dalam hal penggalangan anggaran. Sebab seperti menyewa truk dalam demonstrasi membutuhkan biaya, belum lagi biaya akomodasi seperti makan minum para aksi. Sebab dalam berdemontrasi dengan isu yang kontroversial, terlebih lagi bersikap secara sepihak dengan menjual nama “atas nama rakyat” dapat diindikasikan gerakan tersebut ada kaitannya dengan keinginan “hantu yang diperintah”.

Dari sisi lain, ada upaya rasionalitas yang dimunculkan, misalnya seperti pesan yang disampaikan oleh Kapolda Aceh sebagai berikut.

“Terkait Rohingya yang datang ke Aceh, mereka bukan pengungsi tapi bagian dari penyeludupan manusia,” kata Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko kepada wartawan saat menggelar Jumat Curhat bersama warga di kawasan Lampriet, Banda Aceh, Jumat (22/12/2023), dilansir dari (www.rri.co.id).

Simpang-siurnya titik tekan menanggapi problem Rohingya di Aceh justru terus menelurkan keresahan publik di Aceh. Mulai dengan isu penyeludupan orang hingga soal muslim Rohigya bukan pengungsi, melainkan mereka dianggap mengincar pekerjaan di Indonesia. Silang pendapat dan alasan ini tentunya teradi akibat minimnya literasi publik terkait apa yang teradi pada pengungsi Rohingya di negeri mereka. Sehingga keterbatasan literasi tersebutlah membuat kesadaran untuk menerima pengungsi muslim Rohingya secara sementara di Aceh sangatlah tipis dan rapuh, dan kemudian dapat dikelola oleh “hantu yang diperintah”.

Berangkat dari penalaran yang disampaikan melalui tulisan ini tentunya pembaca dapat menarik benang merah bahwa siapakah sejatinya yang berperan sebagai dalang di balik penolakan muslim Rohingya di Aceh ?

 

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi