Perusak Demokrasi itu Bernama Peyelenggara Pemilu

Karikatur/Rambo. Dok (rakyatsulsel.fajar.co.id)

Editorial 26 Januari 2024

Tidak banyak yang menyorot praktik pembusukan demokrasi sepanjang permainan politik partisan di tubuh penyelenggara pemilu di Indoesia dari masa ke masa. Diakui atau tidak, kualitas demokrasi masa orde baru hingga era kepemimpinan jilid dua Presiden Jokowi  nyaris tak ada bedanya. Perhatikan  dari awal saja misalnya, terkait fenomena Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam konteks menjebolkan setelah “dibocorkan”, sehingga partai politik kemudian lulus jadi peserta pemilu.

Kemuadian perhatikan riak gelombang perebutan jabatan oleh sejumlah wilayah dan level jabatan penyelenggara pemilu se-Indonesia. Baik itu dari sisi pengawas, pelaksana maupun dari hirarki tertinggi di tingkat pusat hingga ke ujung tombak level desa. Telah menjadi suatu kelaziman politik pemilu di Indoesia bahwa penyelenggara pemilu rentan disusupi oleh kaki tangan partai politik yang terlebat aktif memberikan format atau arsitektur penyelenggara pemilu.

Situasi dan kondisi sedemikian secara tidak langsung masyarakat yang berpikir rasional justru tidak keliru mengatakan bahwa tidak ada netralitas oleh penyelenggara pemilu. Rentetetan dan semberautan benang merah politik rekom-merekom dapat dijadikan peta dasar dalam mencari bukti substansi terkait peyeleneggara pemilu sebagai perusak demokrasi.

Memang tidak bijaksana ketika nihilnya netralitas oleh penyelenggara pemilu disalahkan secara  totalitas pada Presiden Jokowi. Pada dasarnya, semua ini merupakan fenomena gunung es atau proses akumulasi terkait bobroknya penyelengga pemilu di tanah air. Posisi presiden Jokowi adalah pembuka kotak hitam akar permainan politik semakin terbuka. Dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa “presiden boleh mihak” hanya dapat diucap oleh presiden yang jujur dan terbuka di tengah tren buruknya demokrasi yang selama ini dikemas seolah-olah lebih buruk dari masa ini.

Jauh dari itu, penegak hukum nana yang berani mengungkapkan bahwa lebih dari 5,7 juta KPPS di seluruh kabupaten/kota (2024) terlepas dari campur tangan politik partisan politisi pada partai politik teretntu. Belum lagi soal jabatan tertentu milik atau barang politisi atau pengusaha apa? Konkretnya, ketua KPUorderan siapa? Ketua Bawaslu rekom siapa? Di tengah kondisi matinya demokrasi di Indonesia hari ini patutnya semua kekuatan perpolitikan di republik ini mesti dialihkan untuk mampu menjawab soal setiap penyelenggara pemilu tersebut adalah orderan poros politik dari mana?

Dalam konteks itulah sejatinya saat ada partai politik yang berusaha menampakkan dirinya sebagai oposisi demi demokrasi, sejatinya hal tersebut adalah mustahil secara politik. Sebab jika diperhatikan dari sisi lapangan permainan, partai-partai tersebut juga tidak dapat dilepaskan dalam permainan membajak demokrasi melalui pengaturan posisi jabatan para penyelenggara pemilu.

Sungguh kampanye pemilu yang jujur dan rahasia adalah basa-basi belaka. Alih-alih penyelenggara pemilu mengatasnamakan menjaga demokrasi dan mengawal aspirasi rakyat, sungguh semua ini merupakan praktik pembodohan secara terang-terangan di hadapan publik. Mungkin ada benarnya jika menyetujui pernyataan terkait pemilu tidak begitu penting dalam sistem politik yang diktator. Selanjutnya, mimpi perubahan dan perbaikan pemilu tidak akan pernah terjadi selama campur tangan partai politik yang bermain mata dengan penyelengara pemilu. Semua hal ini telah menjadi rahasia umum meskipun terkesan dibiarkan.

Belum lagi soal netralitas birokrasi, netralitas ASN, netralitas kepala desa hingga netralitas lainnya yang tidak bisa dipungkiri secara akal sehat publik. Sadar atau tidak, saat ada poros yang mengkampanyekan pemilu damai dan demokratis hari ini, selama itu pula ia menjadi agen pembodohan politik publik. Demikian halnya dengan memandang peyelenggara pemilu seolah-olah tidak berkompromi pada level penguasa sesuai teritorialnya. Sungguh skema kekuatan politik Indonesia hari ini masih jauh pada praktik pemilu yang benar-benar demokratis.

Apa yang diharapkan dari hasil pemilu ketika penyelenggaranya lebih condong seperti boneka kekuasaan? Apakah tidak memilih lima menit akan merusak lima tahun tidak lebih buruk dan menjijikan dengan hasil  penyelenggarakan pemilu yang diorder oleh penguasa? Sungguh tantangan untuk pemilu benar-benar bersih di Indonesia jalannya masih terjal dan menyuramkan.

Dalam konteks ini pula sejatinya pendidikan politik publik mesti terus didongkrak tumbuh agar tidak terperosok dalam sistem daur ulang penyelenggara pemilu yang pada akhirnya tidak menghasilan pemilu, pileg dan pilkada yang telah dibajak oleh serangkaian hirarki penguasa. Akhirnya, patutlah kita menjawab, benarkah perusak demokrasi itu bernama penyelenggara pemilu? (red. Zulfata)

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi