Pak Polisi, Yang Kau Bunuh Itu Anakku

Oleh: Eno Malaka

Aku terus menangis di depan gedung kepolisian, bersama ribuan bahkan puluhan ribu masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, anak-anak SMA, dan beberapa orang tua. Suamiku sejak tadi merangkul bahuku dengan meremas kuat namun lembut, dia terlihat sedih namun tangisnya masih ia tahan. Walau masih sesenggukan aku mencoba menguatkan diri, aku angkat toa yang aku pegang dan mulai berbicara. “Pak Polisi, yang kau bunuh itu anakku.” Suara teriakan ku membuat suamiku ikut menangis, kesedihan yang selama ini dia tahan sejak kabar tertembaknya putra pertama kita hingga demo sore ini pecah seketika. Beberapa mahasiswi yang berada di dekat kami juga ikut meneteskan air mata, suara tangis ibu-ibu wali murid juga terdengar lirih, ibu-ibu polisi yang ikut berjaga di depan gedung polisi sebagai brigade juga menumpahkan air mata.

Aku lanjut menangis sejadi-jadinya, tubuhku hampir roboh namun ditahan suamiku. Dia memapahku kembali keposisi semula. Mahasiswa-mahasiswi yang mengelilingi kami lantas mengusap-usap punggung kami, dengan kesedihan yang tampak jelas di wajah mereka. “Sabar Pak, Sabar Bu.” Dengan suara parau mereka bergantian mencoba menenangkan kami. Aku terus menguatkan diri, lanjut mengangkat toa dan mulai berbicara. “Dia anakku, yang aku lahirkan dengan mengorbankan nyawa.” Pecah tangisku, tapi kali ini aku terus berbicara. “Sembilan bulan Pak-Bu, Sembilan bulan aku mengandung dengan penuh kesakitan, dengan penuh kerentanan. Namun semuanya bukan penderitaan karena aku tahu ini adalah anugerah Tuhan. Aku terus menangis namun sekarang dengan posisi berdiri yang makin kokoh.

Ini benar-benar penderitaan terbesar yang pernah kurasakan, tidak akan ada lagi hal di dunia ini yang mampu membuatku sedih setelah kejadian menyesakan ini. Anak yang kujaga dan kurawat sepenuh hati, sekarang sudah hilang nyawa. 16 tahun yang lalu ketika aku melahirkan anakku, aku harus berjuang antara hidup dan mati. Aku masih ingat betul bagaimana rasa sakitnya ketika aku melahirkan, waktu itu malam hari disebuah ruangan di rumah sakit. Ayo Bu dorong. Sebentar lagi Bidan terus memberikan intruksi padaku yang sejak dua jam lalu terus-terusan kontraksi, kelahiran pertamaku ini sangatlah berat. Arghhhhh ehhh hahahhhhhh aku hanya bisa menggeram, sakitnya seperti tulang-tulang ditubuhku menyempit bahkan aku tidak tahu tulang-tulang itu masih utuh atau sudah pada patah. Suamiku menggenggam tanganku dengan kesedihan yang jelas. Ayo Mah, kamu pasti bisa. Air matanya terus menetes di tanganku. Hujan membungkus kota, aku bergumam dalam hati jika seandainya hari ini hanya ada satu takdir nyawa antara aku dan anakku, maka biarlah nyawa itu diberikan saja untuk anakku.

15 menit kemudian aku masih menggeram, suamiku semakin kencang genggamannya. Ayo Mah, yang kuat.Ucapnya sambil menangis sejadi-jadinya, wajah yang selama ini sangar berubah menjadi sangat memelas. Aku belum pernah melihatnya seemosional ini. Bu Bidan yang sabar dan telaten terus memberikan intruksi Yap aku sudah dapat kepalanya, ayo Bu tarik nafas dorong sebentar lagi. Ucapnya dengan wajah tenang penuh simpati. Aku mengikuti intruksinya, kutarik nafas panjang mengumpulkan tenaga, lalu mendorongnya kuat, tubuhku setengah duduk dan akhirnya anakku lahir. Aku terjatuh di kasur rumah sakit, lemas, ringan seolah-olah semua tulang dan organ dalamku dicabut dari tubuhku. Suamiku yang sudah menangis deras sejak tadi, sekarang menangis buncah terisak-isak dia memelukku dan menciumiku. Kau masih bernafas Mah? Ucapnya tepat ketika aku berhasil melahirkan. Proses melahirkan sudah selesai, aku dan anakku berhasil hidup, aku sangat bersyukur atas takdir ini. Anak itu diberi nama Adam Tagaroa. Adam karena anak pertama, dan Tagaroa diambil nama Tuhan yang disebut-sebut oleh masyarakat Indonesia zaman dulu.

Pak Polisi, Adam anak yang baik. Aku terus berbicara di depan barisan polisi yang sudah menggunakan atribut lengkap, perisai digenggam di tangan kiri, pentungan di tangan kanan, entahlah mereka berniat berperang dengan siapa sore ini. Adam adalah mutiara hati saya Pak-Bu, Sejak kecil Adam rajin mengaji, dia memang nakal Pak-Bu. Tapi selalu patuh sama Ibunya. Inilah yang membuatku sangat sedih, sejak kecil Adam mempunyai watak yang disiplin dan ambisius. Anakku terkadang melakukan hal nekat, selama itu menurutnya benar. Aku selalu khawatir ketika dia tidak jajan di SD, dan lebih memilih memberikan uang sakunya untuk teman kelasnya yang tidak mendapatkan uang saku. Aku juga selalu memarahinya ketika dia pulang terlambat ketika mengaji, banyak alasan yang dibuatnya. Kenapa pulang terlambat Dam? Aku bertanya ketika Anakku masuk ke rumah dalam kondisi baju kotor karena lumpur. Ahh tadi Adam nolong temen Mah. Ucapanya yang kaku. Nolong gimana? Aku memburunya. Temen tadi bolanya jatuh ke parit Mah, jadi Adam tolong. Ucapnya dengan kikuk. Nolong ko lama banget? Aku terus memburunya. Anakku menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Iya Mah tadi habis nolong terus Adam ikut main bola. Ucapnya yang semakin kikuk dan dibarengi senyum menyeringai yang sangat manis. Luntur sudah kemarahan dan kekhawatiran dalam hatiku, wajahnya benar-benar seperti malaikat. Oh jadi Adam sudah berani bohong. Ucapku dengan memperlihatkan wajah tegas. Anakku menangis dan berlari memelukku. Maafin Adam Mah, bener ko tadi nolong temen. Tapi habis itu Adam ikut main bola. Adam memeluk kakiku dan menangis sejadi-jadinya. Ya Tuhan tak kuasa aku menahan ini.

Aku masih menangis dan terus mengenggam erat toa di tanganku, aku terus berbicara. Bapak-Ibu Polisi, sejak kecil aku selalu memarahi Anakku. Itu sangat menyakitkan buat ku, aku selalu menangis setelah memarahinya. Hati seorang Ibu tidak mungkin kuat jika harus memarahi anaknya. Beberapa Ibu polisi terlihat ikut meneteskan air mata, mungkin mereka juga seorang Ibu sepertiku. Kondisi di depan gedung kepolisan sekarang riuh karena suara dengusan banyak orang. Banyak yang mengetahui kejadian ini dampaknya sangat besar, jika aparat bisa dengan mudah menembak rakyat maka tinggal menunggu waktu saja aku, kamu, siapapun di luar sana akan jadi korban berikutnya.

Aku masih menangis dan terus menggenggam erat toa di tanganku, aku terus berbicara .Bapak-Ibu Polisi, Anakku punya cita-cita menjadi tentara. Dia ingin melindungi semua Ibu di Bumi. Ini sangat mengiris hatiku, Anakku yang selalu bersemangat dalam menjalani hidupnya, tumbuh menjadi pribadi yang sangat sayang pada Ibunya. Ketika itu waktu dia masih SMP, di meja makan saat makan malam. Ibu, aku ingin jadi tentara penjaga negara. Anakku tiba-tiba berceloteh, ekspresinya sangat menjanjikan, dengan membusungkan dada dan menjulurkan kepalan tangan ke atas seperti pose superman saat terbang. Wihh keren, kenapa Adam mau jadi tentara. Aku bertanya penuh kasih sayang padanya. Karena aku ingin menjadi pelindung Ibu, juga semua Ibu yang ada di dunia ini.Adam menurunkan tangannya, tersenyum lebar dan memejamkan matanya. Oh Tuhan malaikat seperti apa yang kau turunkan untukku ini. Tapi kalo mau jadi tentara harus rajin, coba tadi pagi Adam bangun pagi sendiri atau harus dibangunkan? Ucapku menggoda. Eh hehehehehehheAnakku menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Aku masih menangis dan terus menggenggam erat toa di tanganku, aku terus berbicara Bapak-Ibu Polisi, Adam punya tekad baja, dia selalu membuktikan kata-katanya. Tangis ku mulai kencang namun tubuhku terus kokoh, suamiku semakin kuat meremas bahuku dia menangis tersedu-sedu. Semakin banyak tangan mahasiswi yang mengelus-elus punggungkku. Tangisan membuncah dimanamana, banyak yang terisak melihat seorang Ibu yang kehilangan anaknya.

Hidupku terasa hancur, hatiku berkeping-keping menerima fakta anak hebatku sekarang tiada. Aku masih ingat bagaimana semangatnya Adam ketika beranjak SMA, dia selalu bangun lebih pagi dan rajin berolahraga. Anakku benar-benar menyiapkan fisiknya untuk menjadi tentara, menjadi pelindung ibunya dan ibu-ibu di seluruh bumi. Mamah, aku lolos seleksi lomba Paskibra. Ucapnya ketika memasuki rumah saat pulang sekolah. Anakku mencium tanganku, tubuhnya yang sudah jauh lebih tinggi memelukku dengan membenamkan wajahnya di pundakku. Dia menangis di pundakku, aku mengelus kepalanya. Semangat ya Nang, kamu pasti bisa. Nanti Ibu akan menonton kamu lomba. Dia melepaskan pelukannya, menyeka air matanya dan tersenyum sumringah. Bener Bu? Tanyanya. Aku mengangguk. Yehhhh makasih Bu. Dia kegirangan, memelukku sebentar lalu melepaskannya lagi. Yaudah sana mandi dulu, habis itu makan. Ucapku dengan penuh kebanggaan.

Aku masih menangis dan terus menggenggam erat toa di tanganku, aku terus berbicara Bapak-Ibu Polisi, kalian sudah membunuh anakku. Kalian merenggut jiwaku, kalian sudah mendatangkan bencana pada hidupku. Sekarang bagaimana aku harus hidup jika tidak ada anakku. Aku menangis sejadi-jadinya. Malapetaka dalam hidupku datang ketika kabar tertembaknya Anakku sampai padaku, pada waktu itu aku dikabari tetangga. Dia orang tua salah satu murid teman anakku. Ibu Adam, Ibu Adam. Ucapnya yang panik tergesa-gesa menghampiriku. Kenapa Bu, ada apa? Ucapku yang menyambutnya dan mencoba menenangkannya. Adam Bu, Adam. Dia ketembak kepalanya sama peluru polisi. Darrrrrrrr sengatan dengan kekuatan jutaan volt menyerang dadaku, aku terperanga membeku. Aku tumbang seketika.

Aku berdiri di tengah sebuah padang bunga, aku melihat seorang anak laki-laki yang berlari mengelilingi padang itu. Dia berhenti tepat lurus di depanku, dia menoleh dan tersenyum. Anak laki-laki itu berjalan tegap menghampiriku, aku mulai mengenali wajahnya. Saat sudah di depanku, dia memberikan hormat, senyumnya sangat menawan posturnya sangat gagah.Apa kabar Ibu? Ucapnya dengan senyum merekah. Adam, ganteng banget Dam, gagah banget Dam. Aku meraba-raba wajah cerahnya. Ibu, sekarang Adam sudah jadi tentara. Aku bertemu malaikat tadi. Dia mengusap kepalaku, peluru yang ada di otakku berpindah ke tangannya, lubang ditengkorak ku juga sudah menutup. Malaikat itu tersenyum Bu, dia bilang aku anak yang hebat. Dia menceritakan semua kejadian sebelum dia menemuiku. Dan katanya Tuhan sangat sayang padaku Bu.Ucapnya dengan senyum sumringah tanpa beban.

Aku menangis sambil memegang pipinya, tangan lembutnya menimpali tanganku dan terus berbicara. Malaikat tadi juga memberikan salam pada Ibu, katanya Ibu sangat hebat bisa membersarkan anak hebat seperti aku. Dia juga memberikan pesan, agar Ibu sabar atas kepergianku. Aku bukan anak bandel Bu, aku tidak pernah jahat ke siapapun. Aku akan ke Surga. Ibu yang kuat yah, Adam akan menyaksikan Ibu dari Surga, Adam akan setia menunggu Ibu. Dia tersenyum dengan senyuman yang belum pernah aku lihat. Cahaya putih menghampiri kami, aku terbangun dengan kondisi rumah sudah penuh tetangga yang menangis dan suamiku yang memeluk tubuh yang sudah dibungkus kain batik di tengah ruang keluarga. Aku bergumam dalam hati. Tuhan Sayang. Doa-doa baik hamba tentang kehidupan dan kesejahteraan serta seluruh takdir baik, tolong Engkau batalkan saja. Hamba hanya ingin anak hamba hidup kembali, tolong kabulkan doa hamba yang satu ini Ya Tuhan Aku menangis histeris melihat pemandangan memilukan ini.

Aku masih menangis dan terus menggenggam erat toa di tanganku, aku terus berbicara Bapak-Ibu Polisi, kalian bajingan. Kalian memisahkan Ibu dari anaknya, kalian merenggut kebahagian seorang Ibu, kalian mengandaskan cita-cita mulia seorang anak perkasa, kalian mengancam seluruh Ibu di bumi dengan sikap kalian. Anakku bukan berandalan, sejak kecil dia rajin mengaji, mana mungkin tergabung gangster keji. Anakku bukan berandalan, sejak masih sekolah dia sangat dermawan, mana mungkin dia bisa terlibat tawuran. Tangisku pecah sejadi-jadinya sekarang, namun aku masih kokoh. Anakku bukan berandalan, dia punya cita-cita jadi tentara mana mungkin membuat orang lain celaka. Kalian pembohong, kalian penipu, kalian pemfitnah, kalian bukan Ibu yang baik, kalian bukan Ayah yang baik, kalian bukan orang tua yang baik.Tangisku merembet kesemua yang hadir sore ini, beberapa polisi terlihat sudah menangis.

Waktu sudah beranjak malam, kami mohon tinggalkan gedung ini sekarang. Silahkan kalian semua pulang dan akhiri demo sekarang. Ucap salah satu polisi dari dalam mobil water canon. Ucapannya yang menyela orasiku mengundang marah masa aksi, mereka menyumpah serapah ke polisi. Polisi bajingan, polisi pembunuh, adili semua polisi yang telibat.Terdengar teriakan-teriakan dari massa aksi. Beberapa sudah tersulut emosinya dengan melempar apa saja yang bisa di raihnya ke arah polisi, suasana menjadi chaos dengan cepat. Aku dan suamiku dikerubuni massa aksi yang didekatku dengan membuat lingkaran untuk menjagaku dari konfrontasi antara massa aksi dan polisi. Polisi yang pendek kesabarannya tanpa peringatan lagi, mulai menghidupkan mesin water canon. Massa aksi yang mulai marah ditembakinya dengan berutal, banyak terlempar karenanya. Namun semuanya semangat juang massa aksi lebih kokoh dari segala kode moral dan falsafah kesatuan yang dipegang polisi. Dihidupkanya lagi water canon, entahlah mungkin polisi meningkatkan daya tembaknya dan sekarang tembakan itu meluncur hebat ke arahku. Tembakan itu mengenaiku dan menghembaskan tubuh ku beberapa meter. Aku terjatuh dan tidak sadarkan diri.

TAMAT

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi