Oleh: Rahmat Maulana
Ketua Komisariat STKIP HMI Cabang Blangpidie
“Na Peng Na Suara“.
Pesta demokrasi terbesar di Indonesia sudah selesai dilaksanakan. Pemilihan anggota legislatif sekaligus pemilihan presiden dan wakil presiden sudah berakhir. Pemenangnya juga sudah diketahui oleh masyarakat berdasarkan keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia. Namun belakangan pemilu 2024 meninggalkan kesan negatif bagi provinsi Aceh sebagai daerah yang dikenal dengan sebutan “Serambi Mekkah”nya. Hal yang tak lain sebab peristiwa money politik masih juga kerap terjadi di daerah ini.
Bukan rahasia umum lagi, calon legislatif banyak bertumbangan dan diklaim akibat kekurangan modal pada pemilu yang dilaksanakan bulan februari lalu. Sehingga mereka terpaksa mengambil langkah untuk menyerah di tengah jalan. Perspektif masyarakat ada uang ada suara “Na Peng Na suara” mengubah peta politik yang terjadi di Nanggroe Aceh.
Money politic atau politik uang adalah pemberian uang sebagai upaya untuk membeli suara masyarakat. Kegiatan yang sebenarnya bukan lagi hal yang biasa di Indonesia. Kejahatan ini menjadi musuh bebuyutan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Masalahnya ini masih saja terus terjadi di daerah dengan sistem aturan pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Apalagi Aceh dikenal sangat menjujung tinggi nilai-nilai agama Islam. Bahkan dalam kehidupan masyarakatnya, budaya Aceh sangat di pengaruhi oleh agama Islam. Maka dengan catatan inilah yang membuat kita bertanya kenapa money politik masih terjadi di Bumoe Syariat?
Berbicara money politic saya pernah mendengar ketika saya bertanya kepada seseorang “Bagaimana cara agar money politic ini cepat usai dan tidak lagi menjadi hal yang lumrah untuk masyarakat khusus nya aceh, padahal seperti titlle yang sudah di sandangkan bahwasanya Aceh adalah bumoe syariat..?” Jawaban dari seorang tersebut sangat menyayat hati saya bagai mana tidak beliau menjawab hanya ada satu cara untuk menghapuskan money politic di negeri ini, musnahkan semua generasi yang sudah tercemar tinggalkan generasi yang memang belum paham apa itu money politic.
Bayangkan dari jawaban tersebut bisa kita simpulkan bagaimana susahnya untuk menghapuskan money politic di negeri ini khusus nya Aceh, sungguh saya tidak sepakat dengan persepsi demikian. Sangatlah banyak jalan untuk menuju roma, mengapa harus tertuju dengan satu jalan. Terkadang kita terbiasa selalu melihat objek dari satu sisi dan menolak untuk melihat dari banyaknya sisi, begitu juga dalam mengatasi money politic.
Tidak ada yang mustahil kalau kita percaya dengan kebenaran, realita sekarang orientasi hidup adalah “money” padahal kalau kita lihat money politic tidak menjamin untuk 5 lima tahun kedepan hidup makmur. Bahkan untuk keperluan hari berikutnya saja belum tentu tercukupi, tapi inilah realita doktrin money politic yang sudah merajarela di kalangan masyarakat Aceh. Title yang tersandang untuk Aceh pun sirna lenyap, hanya dengan uang yang nominal nya tidak seberapa.
Disinilah peran agama sangat di uji, apa lagi beberapa bulan kedepan masyarakat akan kembali menghadapi kedatangan pemilihan kepala daerah (pilkada). Tentunya peran masyarakat sangat di butuhkan di sini dalam berbicara tentang daerah, suara rakyat adalah “Suara Tuhan” dan akan tiba kedua kali nya masyarakat khusus nya aceh akan di uji dengan beberapa kesadaran di antara nya kesadaran tauhid dan kesadaran berpikir.
Dikesempatan kali saya tidak bergairah untuk membahas apa itu kesadaran tauhid, karna sejati nya kita masyarakat aceh tentunya paham dan sadar akan ketauhidan kita secara individu dan itu sudah menjadi hal dasar bahkan wajib untuk kita mempelajari semestinya sebagai masyarakat Aceh yang digadang-gadang sebagai bumoe syariat.
Adanya suatu tindakan tentu ada pemikiran mengapa tindakan itu muncul, timbulnya money politic tidak luput dari pemikiran yang salah. Hingga menjadi tindakan hal yang wajar sampai saat ini dan menjadi landasan untuk menentukan siapa yang layak menjadi pemimpin.
Sungguh inilah yang di sebut dengan kemunduran berpikir, bahkan ketika kita di hadapkan dengan moment pesta demokrasi part 2 (dua) seakan-akan cakrawala berpikir kita tidak berfungsi bahkan mati dalam sekejab dan kita rela menutup kesempatan berpikir demi satu persoalan yaitu “Money” nominal yang tidak seberapa merusak value (nilai nilai) itu sendiri yang memang tidak bisa di ukur dengan apapun pada suatu surat suara yang menentukan 5 lima tahun kedepan nasib suatu daerah.
Problem besar mengapa money politic ini masih berlanjut adalah tidak lain dan tidak bukan, karna hilangnya Tuhan dalam diri kita masing masing. Tanpa kita sadari bumoe syariat ini sudah memakai sistem memisahkan paham agama dengan kehidupan (sekularisme).
Sebagai daerah yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama sudah seharus dan semestinya kita bisa menjaga ritme dan menjadi pelaku utama yang mampu berdiri di garda terdepan untuk menepis money politic yang sudah mencemari dan menjadi darah daging selama ini di bumoe syariat ini.
Leave a Review