Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Aceh sudah babak belur. Jika divisualkan, sungguh tak layak lagi dilihat. Baik dari sisi kepemimpinan, kekhusususan, ekonomi hingga kultur. Dari sisi kepemimpinan misalnya, mulai dari gubernur yang tertangkap korupsi hingga pergantian PJ gubernur berkali-kali. Tidak hanya itu, tarik ulur kepentingan antara gubernur Aceh dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang tidak menentu juga menjadi faktor membuat Aceh semakin babak belur.
Dari sekian banyak faktor yang membuat Aceh babak belur, satu kunci utamanya adalah soal kepemimpinan. Secara kekinian, Aceh sekarang terombang-ambing ibarat kapal tanpa nahkoda yang terapung-apung saat badai dan ombak melanda. Alat kendali kapal berputar mengikuti situsi dan kondisi di luar kapal. Kemana arah angin dan hantaman gelombang, di situlah Aceh mengarah. Jadinya, melenggang di situ-situ saja tanpa arah yang jelas dengan tidak menyebutnya siap-siap menunggu waktunya karam.
Kini, pintu harapan memperbaiki Aceh dari kondisi babak belurnya tersebut kembali terbuka, Pilkada 2024 sudah di depan mata, sejumlah tokoh yang digadang-gadangkan muncul untuk menjadi calon gubernur Aceh sudah mulai menampakkan topengnya di ruang publik. Yang menjadi buah pembicaraan masyarakat Aceh saat ini terkait calon gubernur Aceh dan wakilnya adalah sosok yang beragam dari pengalaman dan corak kepemimpinan politik. Mulai dari sosok anak muda yang menjadi wakil menteri, sosok pendatang lama dari pemimpin partai lokal, angggota parlemen, birokrat, ulama, hingga pengusaha.
Proses pencarian calon gubernur yang ideal untuk Aceh tentunya tidak mudah, meski demikian, pola menemukan gubernur ideal untuk Aceh tersebut harus dibentuk, dinyalakan dan dicerahkan hingga ke semua tingkatatan masyarakat Aceh. Gubernur ideal untuk Aceh adalah gubernur yang bukan saja mengerti permasalahan yang sedang dihadapi Aceh hari ini, melainkan adalah sosok yang mampu berselancar di atas berbagai kepentingan “Aceh-Jakarta” dan kemudian dapat mengangkat Aceh dari kondisi babak belur.
Hingga saat ini, semua poros yang memperkenalkan jagoanya yang dianggap sebagai calon gubernur Aceh ideal terus dibranding di benak publik. Mulai dari mengedepankan jaringan politik nasional di belakang sosok tersebut, hingga citra program politiknya yang disulap sedemikian rupa. Derasnya cara kerja politik dalam mengemas sosok calon gubernur Aceh yang dimunculkan di ruang publik secara tidak langsung dapat memudahkan masyarakat dalam menggali informasi akuratnya.
Dengan kondisi tersebut, masyarakat dapat mencari fakta yang sebenarnya, apakah calon gubernur Aceh yang dimaksud benar sesuai dengan apa yang dikemas dan dipoles oleh tim suksesnya. Tanpa disadari, mekanisme kerja politik dalam penjaringa calon gubernur Aceh hari ini sedang berjalan. Baik dalam hal calon gubernur Aceh yang direstui pemerintah pusat maupun calon gubernur yang memang layak untuk menyelamatkan masyarakat Aceh dari keterpurukan yang akut.
Jika ditelusuri dari semua nama calon gubernur Aceh yang bermunculan saat ini, ada kesan dominasi masyarakat Aceh tidak begitu mengenalnya atau paham terhadap mereka, meski pun masyarakat sering melihat foto-foto mereka di berbagai media. Dalam konteks inilah, praktik politik dagang sapi akan rawan dalam pilkada Aceh 2024. Masyarakat Aceh mesti diberikan pemahaman dan daya picu kesadaran politik yang terukur jika tidak ingin melanjutkan ketidakjelasan pemerinthan Aceh seperti hari ini.
Gubernur Aceh yang ideal juga memiliki kepemimpinan yang kuat, tegas dan tidak bertele-tele. Intervensi DPRA terhadap pemerintah Aceh serta drama sebaliknya yang terjadi selama ini terkadang membuat publik semakin “muak” untuk membangun Aceh. Bayangkan misalnya, dengan sumber daya alam yang berlimpah serta kekhususan politik-hukum yang strategis, justru dengan itu masih saja membuat Aceh seperti daerah tanpa pemimpin. Aceh ibarat anak yatim piatu, padahal harta warisannya berlimpah. Pemimpin atau wakil rakyat berlagak seperti pahlawan padahal pencuri, penyeludup dan pengkhianat.
Atas kondisi Aceh seperti inilah Aceh mendesak untuk mendapatkan gubernur yang ideal, gubernur yang solutif dan adaptif dengan perkembangan ekonomi politik global. Bukan gubernur yang sudah menjadi rahasia umum tentang kotornya cara ia bermain. Kini, masyarakat Aceh kembali diberikan ujian, ujian untuk tidak lengah dalam menentukan pilihan. Kepribadian dan rekam jejak seorang gubernur Aceh yang akan dimenangkan sangat menentukan Aceh lima tahuan kedepan bahkan lebih.
Jangan sempat, gubernur Aceh ke depan justru menjadi gubernur boneka seperti kepemimpinan PJ gubernur hari ini. Jangan sempat pula Gubernur Aceh ke depan menjadi Singa akrobatnya DPRA yang dapat dipermainkan tanpa ada keberpihakan yang terukur dan terarah pada kemaslahatan (seluruh wilayah) masyarakat Aceh. Percaya atau tidak, coba pembaca buktikan apa prestisiusnya kinerja DPRA hari ini? Sebab mereka sejatinya mesti bertanggung jawab atas kondisi babak belurnya Aceh selama sepuluh tahun terakhir, kecuali mereka memang tidak memiliki moral dalam mewakili rakyat Aceh.
Leave a Review