Oleh : Danu Abian Latif
Founder Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa
Kondisi rakyat Indonesia sekarang ini sungguh sangat memprihatinkan, terutama dibidang pendidikan. Pasalnya praktik komersialisasi pendidikan semakin merajalela, hal ini sangat berdampak bagi masyarakat ekonomi menengah kebawah.
Ketidakmampuan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang layak karena masih banyaknya lembaga-lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan negeri yang masih mahal dalam menerapkan biaya pendidikannya. Ditambah pungutan-pungutan liar yang belakangan semakin marak di instansi-instansi pendidikan yang ada sekarang ini.
Praktik komersialisasi pendidikan dapat ditemukan pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia, mulai dari sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi. Dalam praktiknya komersialisasi sering kali dilakukan dengan niat untuk meraup keuntungan dan dinikmati oleh sekelompok orang pemegang modal ataupun untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sama sekali.
Pendidikan di Indonesia sudah kerasukan moralitas kapitalisme maka orientasi pendidikan bergeser menjadi kearah titik kenikmatan ekonomi material, akibat dari pergeseran orientasi ini mendorong penyelenggaraan pendidikan cenderung menjadi komersial.
Hal ini juga dapat dilihat pada kecenderungan dunia pendidikan sebagai komoditas yang diperjual belikan. Hal ini membuat para sekolah dan perguruan tinggi hanya fokus memaksimalkan profit atau keuntungan semata tanpa memerhatikan upaya mengembangkan potensi-potensi para murid, seperti mengabaikan pengembangan karakter, keterampilan sosial, dan etika.
Fakta yang dapat kita amati di lapangan memperlihatkan lembaga-lembaga pendidikan tinggi dengan status PTN-BH harus rela dimasuki oleh korporasi, misalnya mendirikan bangunan yang seharusnya tidak ada. Contohnya, bangunan restoran cepat saji, atau yang lain.
Komersialisasi pendidikan berbentuk mahalnya SPP (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan) namun tidak dibarengi dengan kemajuan fasilitas pendukung pendidikan, belum lagi pungutan-pungutan di luar kepentingan kebutuhan pembelajaran seperti buku yang kadang jumlahnya pun tidak sedikit.
Meskipun sudah tersedia BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk meringankan beban siswa pada sekolah dasar – menengah dan KIP yang disediakan untuk seluruh jenjang pendidikan, pada kenyataannya hal ini belum efektif dan bayang–bayang biaya mahal harus dihadapi oleh siswa dan orang tua siswa.
Ditambah pungutan-pungutan liar yang belakangan semakin marak di instansi-instansi pendidikan yang ada sekarang ini.Dengan beragam alasan uang sumbangan, uang baju, uang pembangunan musholla dan lain sebagainya hal ini yang mengakibatkan biaya pendidikan di Indonesia selalu tinggi.
Praktik komersialisasi pendidikan yang merajalela membuat biaya pendidikan menjadi tinggi, dengan tingginya biaya pendidikan masyarakat sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak, karena faktor ekonomi.
Ketidakmampuan membayar sekolah mengakibatkan banyak anak yang putus sekolah, Sepanjang tahun ajaran 2022/2023, jumlah siswa putus sekolah di tingkat SD mencapai 40.623 orang, tingkat SMP 13.716 orang, tingkat SMA 10.091 orang, dan SMK 12.404 orang.
Praktik komersialisasi ini sungguh memotong harapan masyarakat untuk bisa merasakan pendidikan dengan layak, seolah mematahkan semangat anak-anak Indonesia untuk menggapai cita-citanya, mahalnya biaya pendidikan membuat mereka harus rela putus sekolah.
Padahal seluruh rakyat Indonesia wajib mendapatkan pendidikan, hal ini jelas termaktub di dalam Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, “pemerintah Negara Indonesia berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa”. Lebih lanjut pada pasal 31 UUD 45 ayat 1 juga dicantumkan: “Tiap-tiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pengajaran”.
Negara mempunyai kewajiban untuk menyelengarakanpendidikan yang murah bermutu dan terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia. Karenanya, pemerintah harus memfasilitasi hak-hak anak miskin memperoleh pendidikan yang layak. Jangan sampai anak dari keluarga miskin tidak bisa mendapatkan hak memperoleh atau menikmati pendidikan yang berkualitas dan berbiaya murah.
Pola diskriminatif seperti ada kelas-kelas tertentu, seperti kelas ekonomi untuk orang yang tidak mampu, kemudian kelas VIP khusus bagi orang yang memiliki duit harus ditiadakan. Mengingat kebanyakan masyarakat Indonesia bukanlah kalangan mampu. Penentu kebijakan harus mampu membuat skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan pendidikan yang terjangkau atau bahkan mendirikan sekolah yang gratis.
Maka dari itu mari hapuskan praktik komersialisasi pendidikan, karena komersialisasi pendidikan terbukti telah menampilkan kesenjangan yang semakin menyengsarakan kepada rakyat miskin. Padahal sejatinya, pendidikan harusnya bisa dinikmati secara merata tanpa diskriminasi. Sebab itu, komersialisasi pendidikan harus diberantas yang dapat menumbuhkan budaya kapitalisme dan akan mendorong menurunnya mutu pendidikan nasional.
Leave a Review