Menyoalkan Pelayanan Publik di Pemerintah Aceh Tenggara

Aditya Fenra. Penulis Buku Novel Lelaki Berandalan, Manajer Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara. Foto (IST)

Sejak tahun 2023 hingga memasuki awal tahun 2024, banyak ditemukan kejanggalan pelayanan publik di Aceh Tengagra. Tanpa menyebut intansi yang di soalkan tersebut sejatinya tulisan ini mendapat ruang evaluasi bagi pemerintah jangan seperti gajah di pelupuk mata tak nampak semut di ujung samudra kelihatan, gelagat pejabat bagaikan kehidupan sultan kerajaan, tetapi pelayanan publik karatan. Apakah birokrat yang terkait tidak memiliki kesadaran atau tidak tau malu?
Pelayanan yang baik terhadap publik, harus menjadi prioritas birokrasi dalam menjalankan tugas dan pokok fungsinya sesuai dengan undang-undang nomor 25 tahun 2009 tentang pelayanan publik. Mengenai pelayanan intansi pemerintahan di Kabupaten Aceh Tenggara, cendrung masyarakat merasa kecewa dalam pelayanan yang diterapkan. Amburadulnya manajemen pelayanan yang hampir seluruh intansi pemerintahan di Aceh Tenggara tampak semakin bobrok jika di hadapkan dengan undang-undang yang di sebutan di atas.
Bobroknya pelayanan tersebut di intansi pemerintahan di Kabupaten Aceh Tenggara misalnya dapat di lihat ketika masyarakat ingin mengurus administrasi, untuk keperluan mengususulan bantuan, atau mengadu dalam prihal lain. Mereka mengeluh pada saat mengurus hal yang dibutuhkan di intansi yang terkait, termaksud penulis sendiri pernah mengalami lemahnya pelayanan publik tersebut ketika saya mengurus Kartu Tanda penduduk (KTP) Pada Tahun 2023.
Pengalaman penulis saat menghadapi lemahnya pelayana pubik di Aceh Tenggara ditemukan bahwa salah satu penyebab lemahnya pelayanan tersebut karena ada peraktek kesembronoan oleh pegawai di intansi yang dimaksud. Belum lagi intansi yang hanya mengandalkan tenaga honorer sementara pegawai negeri sipil seolah-olah menjadi bos birokrasi dari tenaga honorer.
Selanjutnya, waktu itu di sektor manajemen pengantrian sungguh amburadul. Tidak ada inisyatif sama sekali dalam melayani kebutuhan publik, seharusnya setiap antrian masayarakat di bekali selembar kertas yang tercantum nomor antrian bukan membiarkan masayrakat menunggu tanpa ada pengayoman dan di biarkan sebelum masayrakat tersebut menayakan secara langsung mengenai apa yang diperlukan. Bukan sebaiknya, mebiarkan masyarakat begitu saja tanpa ada kebijaksanaan dari petugas pelayanan.
Bagaimana jika yang mengurus keperluan administrasi adalah masayarakat yang awam, atau lansia yang tidak tau menau mengenai persyaratan apa saja yang akan dibutuhkan dalam melengkapi administratif yang mereka perlukan, mungkin masyarakat tersebut akan bingung untuk menanyakan terkait hal yang dibutuhkan masyarakat, persoalan ini pernah penulis angkat di media bahwa ketika sudah di viralkan lalu muncul kebijaksanaan. Saat itu pula kepala dinas terkait langsung angkat bicara, bahwa pelayanannya di pastikan akan baik-baik saja. Dalam konteks ini hahruskah masyarakat memviralkan terlebih dulu baru ada upanya melayani secara baik. Sungguh jika benar sedemikian, itu artinya kepala dinas tidak memiliki kapasitas untuk memimpin atau mengajak rebut masyarakat.
Mungkin lemahnya pelayanan publik ini, disebabkan oleh kepala dinas di intansi tersebut tidak pernah mengevaluasi bawahannya mengenai jabatan yang diemban. atau mungkin membiarkan masalah pelayanan, tanpa ada merasa bersalah, dalam menjalankan tugas sebagai Aparatur Negeri Sipil (ASN), atau lebih parahnya lagi, bawahan dari kepala dinas seperti Staf dan kepala bidang/kabid yang tidak pernah menjalankan tugas dengan baik, dan tanpa ragu melanggar apa yang disampaikan oleh kepala dinas, banyangkan ketika hampir seluruh intansi di Aceh Tenggara tanpa ragu dan merasa tidak bersalah akan lemahnya menerapkan pelayanan publik pada saat sedang menjalankan tugas.
Lemah dan acuh tak acuh dalam keluhan masyarakat dan hampir tidak peduli akan keperluan masyarakat pada saat mengurus administrasi sudah mendarah daging dibirokrasi pemerintahan Aceh Tenggara hari ini. Semestinya pelayanan suatu birokrasi yang efektif dan efesien mesti responsive dan cepat tanggap terkait apa yang diurus publik, serta menjauhi praktek bermain pimpong di saat mengurus publik. Artinya publik dilempar kesana dan kesini, seolah olah memang begitu aturan birokrasinya. Bukankah birokrasi itu dibuat untuk memudahkan pelayanan publik? Bukan sebaliknya meribetkan publik.
Dari kajian observasi yang penulis lakukan ini, mesti menjadi perkerjaan rumah bagi calon bupati Aceh Tenggara ke depan (jika pada Pj Bupati Aceh Tenggara saat ini tidak dapat diharapkan). Juka perlu pemerintah Aceh Tenggara kedepan membentuk semacam badan yang betugas sebagai penindaklanjut dari praktek kelalaian birokrasi dalam mengurus publik.
Tentunya badan yang dibentuk tersebut tidak di landasi dengan praktek jual beli jabatan dalam penempatan jabatan yang bertugas sebagai kelalaian internal pemerintah Aceh Tenggara. Sudah saatnya pemerintah Aceh Tenggara dikawal secara kritis oleh semua pihak. Semua yang bersalah harus diberikan hukumana, setiap yang berprestasi diberikan reward, yang salah tetap salah, yang benar tetap benar, tidak ada keraguan di antara dua itu. Hanya penjilat dan pecundang yang tidak berani mengkritisi pemerintah Aceh Tenggara dengan maksud untuk memperbaiki Aceh Tenggara agar lebih baik dan semakin jaya.

 

Penulis adalah Aditya Fenra. Penulis Buku Novel Lelaki Berandalan, Manajer Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Aceh Tenggara

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi